26. Tentang Hana dan Raffa

22 2 0
                                    

Hari ini Hana sangat senang, gadis itu menghabiskan waktunya bersama Raffa dari pagi hingga sore. Bahkan saat ini mereka masih ada di mall, menemani Hana belanja untuk keperluan rumahnya.

"Lebih wangi yang mana, sih?"

Raffa mendekat, mengambil dua bungkus sabun cuci piring dari tangan Hana, "Sama aja" Ujarnya kemudian.

Hana mendelik, "Baunya beda, Raf" Ucapnya kesal. Kalau Hana belanja dengan Vio, Keisha, Zania, Naya ataupun Alana pasti mereka bisa membedakan bau sabun cuci piring. Tapi kenyataannya, ah sudahlah. Hana tidak mau memikirkan hal itu.

"Ini aja deh" Hana meletakkan sabun cuci piring pilihannya ke keranjang yang dibawa Raffa. Senang sekali Hana, serasa belanja bareng suami.

"Beli apa lagi ya?"

"Snack"

Hana menjentikkan jarinya, "Bener banget! Aku butuh banyak buat nonton di rumah" Ujarnya semangat, berlari kecil menuju tempat makanan ringan. Mengambil beberapa untuk memenuhi keranjang.

Setelah selesai berbelanja mereka memutuskan untuk langsung menuju rumah. Untung saja hari ini Raffa membawa mobil, jadi mereka tidak perlu ribet ribet membawa barang belanjaan Hana.

"Kenapa?" Raffa melirik ke arah Hana, melihat gadis itu tengah menyandarkan kepalanya dan melihat keluar kaca.

Hana menggeleng, "Aku kecewa sama temen temen" Ujar gadis itu pelan, "Kenapa mereka nggak bisa hargain keputusan aku, padahal aku nggak pernah ikut campur sama urusan mereka kalo itu bikin mereka seneng" Lanjutnya.

Raffa terdiam, tidak tahu harus merespon apa. Ini kali pertama dia mendengarkan keluh kesah orang lain seperti ini, Raffa tidak pernah juga menceritakan perasaannya pada orang lain. Dirinya dan Hana sangat bersebrangan.

"Padahal aku maunya kita semua temenan, sebelum nantinya kita lulus dan pisah" Gadis itu mendecak, nada bicaranya sudah tidak sesedih tadi.

Kadang kadang Raffa dibuat bingung dengan mood Hana yang suka berubah ubah. Meskipun mereka baru saja jadian, tapi Raffa dari dulu sering stalking Hana. Eh.

"Nggak mau turun?"

Hana tersentak kecil, "Cepet banget" Ujarnya sambil membuka pintu, turun dan membuka gerbang supaya mobil Rafa bisa masuk ke halaman rumahnya.

"Bunda belum pulang?"

Hana melirik jam di pergelangan tangannya, "Bentar lagi" Jawabnya sambil menata bahan bahan makanan di kulkas, sementara Raffa duduk di ruang tamu sambil mengecek pesan pesan di ponselnya.

"Capek" Hana meletakkan dua gelas minuman dingin di meja, mendudukkan dirinya disamping Raffa.

"Capek banget?" Tanya Raffa.

Hana mengangguk, "Tapi seneng" Ujarnya sambil tersenyum, "Minggu depan kita jalan jalan lagi, ya"

Raffa berdehem, "Jalan jalan terakhir sebelum ujian, aku mau ajak kamu ke pantai"

Mata Hana berbinar, "Seriusan?" Tanyanya senang, membuat Raffa mengangguk sambil tersenyum.

"Han, boleh tanya sesuatu?"

Hana mengangguk, menghadapkan dirinya pada Raffa setelah meneguk minumannya.

"Ayah kamu mana?"

Hana terdiam, menegakkan tubuhnya. Mencoba tersenyum, "Mau tau?"

Raffa mengangguk, "Kalau boleh"

Hana menghembuskan napasnya pelan, "Aku juga nggak tau"

Raffa menaikkan sebelah alisnya, penasaran tapi enggan bertanya lagi.

"Aku nggak pernah ngerasain punya ayah sejak kecil. Aku cuma tau nama ayahku dari berkas berkas keluarga, tapi bunda nggak pernah kasih tau ayah dimana dan apa yang terjadi dulu, kenapa aku nggak punya ayah" Gadis itu tersenyum simpul, terlihat dari matanya bahwa ada banyak kesedihan yang ia sembunyikan. Tapi hari ini sepertinya gagal, air matanya membuktikan rasa sakit itu.

"Aku pernah coba cari petunjuk, cari foto ayah di rumah ini. Tapi nggak ada, dan bunda marah waktu tau aku cari tau tentang ayahku. Itu bikin aku nggak mau cari tau lagi, Raf. Aku nggak mau bunda marah. Aku emang pengen punya ayah, aku iri sama temen temen. Tapi bunda udah cukup buat jadi sosok bunda dan ayah buat aku"

Raffa memalingkan wajahnya, tidak tahan melihat wajah sedih gadisnya.

Hening beberapa saat, Hana mengusap kasar air matanya, "Tapi, Raf. Nama ayahku sama kayak nama ayah Afin. Itu pasti bikin aku susah nemuin ayah karna namanya pasaran" Gadis itu terkekeh, seakan akan yang dibicarakan adalah hal lucu.

"Nama ayahku Galih"

Raffa menaikkan alisnya, "Temenku juga banyak yang nama ayahnya Galih"

Hana melongo, "Oh ya?" Tanyanya heran.

Raffa mengangguk, "Ada tiga, termasuk ayahnya Zion"

"Ya ampun, bisa gitu ya" Gadis itu tergelak kecil, "Dua orang yang aku kenal aja nama ayahnya sama kayak aku, belom lagi yang aku nggak kenal"

Raffa tersenyum sambil mengangguk, "Han" Panggilnya pelan, "Papaku ada dua, kita bisa berbagi kalau kamu mau"

Hana tersenyum, menahan air matanya untuk tidak keluar, "Mau" Jawabnya, kemudian tertawa, "Kita kayak anak kecil, Raf" Ujarnya kemudian, dibalas anggukan setuju oleh Raffa.

"Kenapa kamu bisa sodaraan sama Aldi?"

Raffa mengedikkan bahunya, "Papa sama mama cerai, papa nikah lagi di luar negeri. Dan mama milih nikah sama papanya Aldi dua tahun lalu, mereka dulunya sahabatan"

"Mamanya Aldi?" Tanya Hana heran.

"Kamu nggak tau?" Tanya Raffa.

Hana menggeleng.

"Mamanya Aldi meninggal dua tahun lalu juga"

Hana kaget, mendadak rasa bersalahnya kembali muncul. Bagaimana perasaan Aldi selama ini, menyimpan bebannya sendirian.

"Kamu nggak perlu khawatir, mama sayang kok sama Aldi. Zia juga malah lebih deket sama Aldi, karna Aldi lebih dewasa mungkin"

"Kita emang nggak boleh egois kan, Raf?" Tanya Hana pelan, mengingat bundanya selama ini bekerja keras untuk membiayai hidup mereka berdua. Hana harus menghargai keputusan bundanya untuk tidak lagi mengungkit tentang ayahnya.

Raffa mengangguk, "Iya. Aku juga nggak mau papa sama mama pisah. Tapi kalau itu yang bikin mereka bahagia, aku juga nggak mau ngelarang"

Hana tersenyum, menyandarkan kepalanya di pundak Raffa. Mencari kenyamanan untuk menghilangkan pusingnya akibat terlalu lelah dan menangis.

"Makasih ya, Raf. Udah jadi pundak terbaik buat aku"

"Makasih, Han. Karna udah lahir di dunia"

MY ICE BOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang