Hana meletakkan kepalanya di meja, menatap pak Yanto yang sedang menerangkan pelajaran matematika di depan papan tulis. Sesekali gadis itu menguap sambil menyenggol lengan Afin yang malah sibuk mabar dengan Darel.
"Fin, gue mual liat angka di papan tulis"
Afin menoleh sekilas, mengetuk kening Hana dengan bolpoin. Kemudian kembali fokus pada ponselnya.
"Bapak sudahi pelajaran hari ini. Kalian belajar bener bener, seminggu lagi sudah mulai ujian"
"Yang nilainya paling tinggi dapet hadiah kan, pak?"
Pak Yanto menoleh pada Darel, "Khusus kamu, iya. Soalnya saya yakin kamu nggak bakal dapet nilai paling tinggi"
Darel mendelik kesal, "Mau gue hujat, tapi guru sendiri" Gerutunya pelan.
"Ya sudah, kalian boleh istirahat. Selamat siang"
"Siang paakkkkk"
Hana membuka matanya yang sempat terpejam, merenggangkan otot ototnya yang terasa kaku. Mendadak matanya kembali segar.
"Rel, Fin. Ke kantin bareng nggak?"
Darel menoleh ke belakang, "Sama cowok lo?"
Hana menggeleng, "Kalo kalian mau temenin ya gue sama kalian"
Darel mengangguk, "Kuy lah" Ujarnya kemudian, "Lo nggak ikut?"
Vio menoleh, "Duluan aja" Jawabnya, membuat Hana diam diam mengucap syukur dalam hati. Jujur saja gadis itu masih malas meladeni teman temannya.
Sepanjang perjalanan Hana tak henti hentinya mengomel terang terangan karna dipandang sinis oleh siswi siswi di koridor. Ya jelas saja, tadi pagi berangkat bersama Raffa sekarang sudah jalan ke kantin bareng dua cowok sekaligus. Hana tau mereka semua iri.
"Lo pesen apa? Hari ini biar Afin yang bayar"
Hana terkekeh pelan, Darel emang kayaknya nggak bakal bisa di pisahin dari Afin.
"Gue bakso, minumnya es jeruk"
"Gue samain" Sahut Afin, membuat Darel mengangguk sambil berlalu setelah menyerobot dompet dari saku Afin. Darel emang nggak tau diri.
"Gue nggak bisa bayangin jadi lo yang setiap hari bareng Darel" Hana menghembuskan napas sambil menggeleng.
"Biasa aja" Balas Afin. Emang titisan batu keramat, nggak bisa lembut dikit.
"Hai, boleh gabung, kan?"
Hana menoleh, menatap dengan sebelah alis terangkat Vio dan teman temannya yang mulai mendudukkan diri di kursi yang sama dengannya.
"Ngapain lo semua? Nggak jijik duduk bareng gue?"
Alana menggeleng, "Enggak lah, Han. Jangan ngomong gitu" Ujarnya.
"Ya ya ya, anggep aja gue nggak sadar kalo kalian udah diemin gue seminggu gara gara gue pacaran sama badboy sekolah" Ujar Hana, berniat menyindir.
"Ya lo kan tau kita semua peduli sama lo, Han" Zania memelas.
Hana mendecak, "Peduli lo salah cara"
"Han"
Hana menoleh, menatap Afin sambil mendecak, "Kenapa, Fin? Gue salah? Oh iya, kan gue selalu salah. Sori, deh" Gadis itu bangkit, berjalan dengan perasaan kesal keluar dari kantin. Tidak menghiraukan teman temannya yang memanggilnya.
"Kak Hana"
Hana menoleh, tersenyum menatap Zia yang berlari ke arahnya.
"Kenapa? Asem amat mukanya"
Hana menggeleng, "Biasa, lah" Ujarnya, tidak berniat menjelaskan, "Oh iya, gue belum sempet minta maaf sama lo"
"Soal kak Raffa?" Zia tertawa, membuat Hana semakin malu, "Aku maafin, tapi kak Hana harus makan malam di rumah ya, besok"
Hana menaikkan alisnya, "Besok?" Tanyanya, dibalas anggukan antusias oleh Zia, "Pasti gue dateng" Jawab Hana, membuat senyum Zia mengembang.
"Ngapain?"
Keduanya menoleh, menatap Raffa yang tiba tiba muncul di belakang mereka.
"Aku ajak kak Hana makan malam di rumah. Besok kan mamah keluar, jadi aku mau masak masak sama kak Hana" Ujar Zia semangat, sepertinya keinginannya memiliki kakak perempuan akan terwujud dengan adanya Hana.
"Ya udah sana"
Zia mencebik, berlalu setelah melambaikan tangannya pada Hana.
"Ngusir"
Raffa mengedikkan bahunya acuh, "Biarin, enak aja ngobrol sama pacar aku"
Hana terkekeh, "Dia adek kamu"
"Nggak peduli. Selama ada aku, kamu nggak perlu ngobrol sama orang lain"
"Posesif" Sindir Hana pelan, membuat Raffa menggeleng tidak terima.
"Bukan posesif, ini bayaran buat perjuangan aku selama dua tahun"
"Jadi pengagum rahasia?" Tanya Hana sambil tertawa, berjalan meninggalkan Raffa yang menggerutu di tempatnya. Huft, Raffa pengen peluk tubuh kecil Hana dari belakang kalo liat Hana jalan.
"Kamu tadi berantem sama temen temen kamu?" Tanya Raffa, mulai ikut berjalan disamping Hana.
"Enggak" Jawab Hana, "Cuma pemanasan buat baku hantam" Lanjutnya kemudian.
Raffa mendecak, mengacak rambut Hana gemas, "Kurang kurangin marahnya"
"Kenapa? Biar nggak gampang tua?"
Raffa mengangguk, membuat Hana menghentikan langkahnya. Menatap Raffa sambil berkacak pinggang, "Emang kenapa kalo aku tua? Kamu nggak suka? Nggak mau sama aku yang udah tua gara gara suka marah marah?"
Raffa menghela napasnya, membasahi bibirnya sambil berpikir, "Kamu pms?"
Hana melongo, "Kenapa? Karna aku marah marah kamu pikir aku pms? Capek kamu dengerin aku marah? Kenapa? Kamu mau beliin obat pms biar aku nggak marah marah?"
Raffa memijat keningnya, menatap siswa siswi yang memandang mereka di koridor. Masalahnya suara Hana itu kenceng kayak toa masjid, jadi semua orang denger.
"Kenapa? Kamu pusing dengerin aku? Ya udah nggak usah dengerin aku ngomong lagi!" Gadis itu berlalu, menghentak hentakkan kakinya. Kesal sendiri dengan semua orang.
"Yahh jangan marah, dong"
"Biarin"
"Gimana caranya biar kamu nggak marah lagi?"
Hana menghentikan langkahnya, tampak berpikir. Kemudian menjentikkan jarinya, memandang Raffa dengan senyum smirknya.
"Post foto di ig pake baju pink"
"Hah?! Nggak!"
Hana tersentak, "Ya udah" Ujarnya sambil berlalu.
Raffa melongo, menatap punggung Hana dengan tatapan nanar, "Bunuh aja aku, Han"
Kasian.
KAMU SEDANG MEMBACA
MY ICE BOY
Teen Fiction"Kehidupan setahun terakhir SMA gue terkontaminasi dengan obsesi gue sama seorang cowok dingin bernama Raffa Algaro Putra" _Hana Meirania _______________________________________ Ini bukan cuma tentang obsesi Hana. Ini juga tentang kenyataan kenyataa...