•••••
JANU berkata maaf karena tidak menyediakan helm untuk Fiona, lalu berjanji kepada Fiona kalau mulai besok ia akan membawakan helm untuknya.
“Makasih ya udah anterin aku pulang, kamu masuk dulu yuk. Kita minum dulu.” Ajak Fiona bukan sekedar basa-basi.
Janu belum siap, mentalnya belum matang untuk bertemu keluarga Fiona. Janu menolak dengan halus sambil memasang wajah yang sungkan. Janu salah tingkah jadinya, telinganya pun memerah.
“Makasih kak, kapan-kapan ya aku mampirnya. Sekarang kakak temuin dulu Papanya yang baru pulang gih. Pasti kangen ya?” kata Janu sambil tersenyum sampai menyisakan matanya hanya segaris. Janu tersenyum sampai mata dan itu nampak sangat tulus sekali.
Fiona pura-pura cemberut karena Janu tidak mampir ke dalam juga ia mencubit lengan Janu sambil mengomelinya. Janu sih senang-senang saja kalau Fiona yang melakukannya walaupun lumayan juga cubitannya.🦁🦁🦁🦁🦁
Leo tengah merapikan kamarnya yang akhir-akhir ini lumayan berantakan dan tidak tertata. Dengan kemoceng dan sapu yang sudah ia bawa, ia pun mulai merapikan juga membersihkan kamarnya. Baru beberapa menit beres-beres, ia membuka-buka buku catatan dengan cover warna hijau dan mulai membacanya satu per satu.
Leo menghela napas kasar, lembar demi lembarnya yang tertulis disana selalu berceritakan tentang hari-harinya dengan Fiona. Mulai dari halaman pertama yang mengungkapkan bahwa buku ini adalah pemberian dari Fiona.
Kutipan-kutipan novel dari penulis yang Leo dan Fiona sama-sama sukai. Semuanya berisi tentang dirinya juga Fiona. Leo mengusap kasar wajahnya kemudian menjambak rambutnya sembari berteriak.
“Bego lo anjing!” umpatnya sambil menatap pantulan dirinya pada cermin yang tepat dihadapan Leo.🦁🦁🦁🦁🦁
“Jadi anaknya tante Jinan gak mau dirawat di New York, pa? Padahal di New York lebih lengkap gak sih? Aku mau jenguk boleh?” tanya Fiona pada sang papa.
Johnny mengangguk dan mengusap puncak kepala Fiona sambil tersenyum teduh.
“Maafin papa ya sayang waktu kamu ke New York papa gak temuin temen kamu. Sekarang papa udah disini nih... Kenalin dong temen kamu yang baik itu.” Ujar Johnny mengingat kembali akan apa yang telah ia janjikan kepada Fiona dan itu benar-benar membuatnya merasa sangat bersalah.
Fiona hanya diam tanpa suara dan tak tersenyum sedikit pun. Lantas Johnny memegang kedua bahu Fiona dan menatap putrinya dapat ia lihat Fiona tengah menahan tangis.
“Kamu kenapa nak?”
“Dia udah gak baik lagi pa. Dia nakal sekarang. Dia jadi gitu pergaulannya. Dia juga udah hancurin harapan aku. Bersyukur banget aku sama Tuhan yang gak kasih izin mempertemukan papa sama dia. Tapi bukan berarti aku mensyukuri anak tante Jinan kecelakaan karena hal itu papa jadi semakin repot urusin ini itu. Daripada mikirin temen aku yang itu, aku mau jenguk anaknya tante Jinan sama mau ketemu tante Jinannya juga.” Fiona berpura-pura tegar walau sejujurnya sudah tidak tahan ingin menangis.
Tanpa dinanti-nanti lagi, Johnny dan Fiona berangkat ke rumah sakit dimana anak Jinan dirawat, sementara di rumah ada Septiani yang menjaga Farel tengah tertidur sedari tadi.
Selama perjalanan dalam mobil, Johnny ingin bertanya namun enggan takut melukai perasaan anaknya. Ia tahu pasti yang hendak Fiona kenalkan kala itu adalah teman yang bukan sekedar teman ditambah melihat respon dan raut wajah Fiona saat ditanya mengenai temannya tersebut. Johnny tahu itu pasti gebetannya Fiona.
“Papa tuh pernah muda loh nak, jadi apa masalahmu? Tolong bilang sama papa, siapa tau papa bisa kasih kamu pencerahan dan kasih tau apa gituuu yang bikin kamu plong atau bahkan itu bisa sangat membantu.” Kata Johnny tanpa mengalihkan fokusnya dari setir dan jalanan.
Fiona menghela napas, sudah gatal dan tak kuasa ingin mengeluarkan apa yang ia rasakan sebenarnya tapi masih ragu karena ini pertama kalinya Fiona bercerita tentang hal yang tidak biasa atau bisa dibilang sangat baru untuk dibahas antara dirinya dengan sang Papa. Percintaan masa remaja.
“Aku sama dia saling suka.” Fiona membuka suara.
Johnny melirik sekilas dan tersenyum kemudian mengacak-acak rambut Fiona.
“Anak papa udah puber.” Ujar Johnny. “Tapi?” Johnny memberi kode kepada Fiona untuk menceritakan apa yang menjadi kendala antara dirinya dengan masalah percintaan yang tengah ia hadapi.
“Tapi dia berubah pa, mulai dari yang udah gak tertarik lagi ke organisasi..” Fiona menggantungkan kalimatnya.
“Terus ngerembet juga jadi gak tertarik ke kamu?” tebak Johnny.
Kesal sih sebenarnya sama tebakan papanya sendiri, tapi itu benar jadi Fiona tidak bisa menyangkal kalau memang faktanya memang benar begitu adanya.
“Ya gitu, pa.” Fiona lesu sejadinya.
Johnny menarik tangan Fiona dan menggenggamnya dengan sebelah tangan yang tetap memegang kendali pada setir mobil.
“Dia cinta pertama kamu?” tanya Johnny.
Fiona menggeleng sambil cemberut.
“Lah? Terus?” Johnny kaget.
“Cinta pertama aku kan papa.” Jawab Fiona sambil tersenyum dan itu membuat Johnny gemas pada anak tengahnya yang bisa-bisanya sudah mampu menggombal.
“Dasar kamu.” Johnny terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
REDAMANCY
Ficción General••••• Aku tidak menginginkan luka, namun ... rasa ini terlanjur membara. Rasa yang tak pernah surut dan harapku tak pernah hanyut. Tak pernah bisa aku hempas, padahal sudah jelas mendera harap dan cemas. ••••• ©️®️ Cover Credits : Desaign from Can...