Tion baru saja mengistirahatkan tubuhnya di sofa biliknya setelah membaca buku tebal kesukaannya, saat suara derap kaki mendekati tempat kurungannya."Orlondo!" desis Tion segera bangkit dan mengemasi seluruh buku-bukunya dan menyembunyikan semuanya ke bawah sofa tanpa tersisa satu lembar pun dan menarik buku-buku tentang sejarah Schutz yang segera dia serak di meja seakan-akan baru saja dibaca dan kembali berbaring di sofa dengan wajah tenang.
"Wah, lihatlah teman kita ini, sangat nyaman berada di sini, bukan? Kulihat tak ada kecemasan ataupun kegelisahan sedikitpun dari wajahmu!" ucap Nansen begitu berhasil memasuki ruangan Tion dengan ditemani Hakkien. Keduanya menelusuri setiap detail ruangan dengan mata mereka, Tion bangkit dengan wajah tenangnya.
"Apa yang membuat kalian menyempatkan diri mampir ke rumahku ini? Apa spesies percobaan kalian masih kurang? Atau malah mengalami kehancuran?!" sindir Tion membuat Nansen tertawa mengejek, Hakkien sendiri hanya diam di tempatnya.
"Tampaknya dikurung selama 5 tahun tak juga mengobati kekonyolan otakmu itu ya! Berapa lama kau berniat di sini agar kembali normal?" Nansen membolak-balik buku yang terbuka di meja belajar Tion.
"Aku selalu normal dan akan selalu begitu, mungkin kalian pikir dengan mengurungku semua kejahatan kalian akan tersembunyi selamanya, tapi sepertinya kalian salah. Bukan aku orangnya, bukan aku yang akan menghancurkan kalian, dia orang lain!" jelas Tion yakin. Nansen menangkup wajah Tion dengan cengkeraman yang kuat seakan ingin mematahkan wajah tampan itu.
"Jangan mengujiku Tion! Kau masih selamat karena aku tidak mengajukan petisi kematianmu pada pihak istana, jaga ucapan dan tingkahmu! Jika kau menyembunyikan sesuatu dan aku menemukannya, maka itu akan menjadi akhir dari pria berwajah tampan ini!" ancam Nansen dengan senyum miringnya, lalu melepas cengkeramannya dan berniat pergi tapi tiba-tiba tubuhnya tersentak dan terjatuh ke sofa dengan posisi leher terkunci lengan kiri Tion dan tubuh terhimpit tubuh tegap Tion yang menempelkan pisau cukur di leher Nansen yang menarik salivanya, cemas.
"A-aapa yang kau lakukan?" lirih Nansen gugup.
"Aku ingin mengingatkanmu jika kau lupa, Nansen Orlondo, kau itu hanya pesuruh Istana Elves! Kau lupa namaku adalah Villetion Yngve, aku berbeda denganmu! Sangat berbeda! Kau faham! Jangan karena Frederik memberimu dukungan kau melupakan statusmu! Jika kau bosan menghadapiku, biarkan saja, abaikan! Jangan terlalu ikut campur denganku karena aku takut kau terluka! Faham!" berang Tion dijawab anggukan gugup dari Nansen yang terbatuk saat Tion membebaskannya.
"Cukup kau sudah mengurungku, urus saja urusanmu dan jangan berani-berani datang ke sini terlalu sering, aku tidak suka! Kau faham Nansen Orlondo?! Kau harus merasa bersyukur dengan jabatan sebagai anjing Frederik, jangan terlalu serakah!" Nansen hanya diam dengan kepala tertunduk.
"Aku ingin istirahat, pergilah dan pastikan untuk mengunciku dengan mantra itu, agar aku tidak bisa keluar dan tiba-tiba membunuhmu saat tidur!" perintah Tion sambil kembali menjatuhkan tubuhnya ke sofa dan menutup matanya. Setelah membungkuk hormat, Nansen dan Hakkien berjalan meninggalkan ruangan Tion yang tetap dengan posisinya.
"Aku takkan melupakan penghinaan ini, Pangeran! Aku akan membuatmu jatuh sejatuh jatuhnya dan takkan bisa bangkit lagi!" tekad Nansen di dalam hatinya sambil menjauhi ruang kurungan Tion sang putra kedua dari kerajaan Elves dengan dendam membaranya.
****
Suck duduk menyepi di sudut lapangan walau malam sudah semakin larut. Nyamuk dan angin malam yang menusuk menyerangnya tak digubris sedikitpun, mata gadis Endlos itu menatap kegelapan dengan tatapan kosong. Kepergian Livi adalah pukulan yang berdampak untuknya, sedari sore Suck hanya berdiam di sudut lapangan tempat dia bermain bersama Livi beberapa hari ini. Itu dia lakukan setelah mengantar kepergian Livi saat dipulangkan ke keluarganya. Panggilan untuk latihan malam tak sedikitpun digubrisnya.
"Apa kau pikir menyepi dan melamun seperti orang gila begini bisa membuat Livi kembali? Bisa memberimu jawaban akan kematian Ulfa? Yang ada kau terlihat seperti orang gila yang menyedihkan!" seru Stigra tiba-tiba sudah ada di sebelah Suck.
"Quen menyukai Stigra, Suck."
Suck menatap Stigra dengan tatapan berbeda, sangat tajam dan menusuk dengan netra yang berubah menjadi merah.
"Ada apa?!" ucap Stigra setengah berbisik karena kaget dengan tatapan Suck yang kini tiba-tiba bangun dan langsung menyerang Stigra yang terlempar ke rerumputan dengan Suck menindihnya juga mencekiknya.
"Kau ... karena kau Livi dan Quen harus bertengkar! Karena kau Livi harus mati! Kau yang harusnya mati bukan Livi!" teriak Suck sambil mencekik Stigra kuat. Dengan susah payah Stigra ingin melepaskan cekikan Suck tapi itu terlalu kuat bahkan saat Stigra mengeluarkan kekuatannya.
"Aku bersalah pada Livi tapi aku tidak ada hubungannya dengan pertengkaran mereka. Apa menjadi orang yang disukai harus selalu disalahkan Suck?! Walau kenyataannya aku tidak tahu apa-apa," tanya Stigra dengan suara tercekik dan wajahnya mulai memucat kekurangan oksigen.
"Suck," panggil Stigra lirih, perlahan tangan gadis itu mengendur dan Stigra menggunakannya untuk menangkap kedua tangan Suck dan membawa gadis itu ke pelukannya.
"Maafkan aku Suck, harusnya aku menghentikan perkelahian mereka, tapi aku takut ... aku takut semua semakin salah dengan peraturan Schutz yang akan menghukum berat siapapun yang merusak sebuah pertarungan tanpa izin salah satu dari petarungnya. Maafkan aku," bisik Stigra masih memeluk Suck.
"Lalu siapa yang harus aku salahkan Stigra? Siapa yang pantas aku marahkan?" lirih Suck terisak. Stigra melepas pelukannya dan menatap Suck dengan serius.
"Schutz, sekolah ini yang pantas disalahkan! Terkhusus pada penguasa kerajaan Elves, bangsa Elf! Mereka yang membuat peraturan gila ini, kita harus menghukum mereka Suck!" tegas Stigra memberi saran. Suck tampak terdiam mendengar saran itu.
"Tapi yang paling utama, kau harus mengikuti seluruh kelas di Schutz dan cari tahu kelemahan mereka dengan menjadi murid pilihan. Aku yakin kita bisa membalas kematian Livi juga menemukan kebenaran dari kematian Ulfa dan hilangnya sahabatmu, Malena." Suck menatap kaget ke arah Stigra.
"Kau tahu masalah Malena?" tanya Suck kaget dan Stigra mengangguk mengiyakan.
"Aku dengar pembicaraanmu dengan Livi juga Tekla beberapa hari sebelumnya, dan aku ingat pernah melihat arsip siswi baru dengan nama Sammalena Silka, itu dia kan?" Suck mengangguk.
"Dan di hari penjemputan, aku melihat seseorang dengan jubah hijau memasuki ruang arsip dan data Malena menghilang digantikan datamu, aku yakin semua ini berawal dari perempuan berjubah hijau itu!" tutur Stigra yakin.
"Siapa sebenarnya wanita berjubah hijau itu?" gumam Suck penasaran dengan beberapa ingatan yang dia baca di pikiran Livi dan Ulfa.
"Aku tidak tahu, tapi kejadian kematian seperti Ulfa sering terjadi di sini dan kasus hilangnya siswa-siswi pilihan dari sekolah ini juga kerap terjadi, dan Ulfa adalah korban kesekian kalinya," jelas Stigra.
"Kita harus mencari tahu apa kebenarannya, tapi pada siapa?"
"Aku tidak tahu tapi kita harus bertindak wajar Suck! Dan satu lagi, jika wanita berjubah hijau itu hanya menghampiri orang-orang terbaik, maka kau dan aku harus menjadi yang terbaik, agar kita bertemu dengan mereka!" jelas Stigra disambut anggukan dari Suck.
"Dan cara menjadi yang terbaik adalah dengan memenangkan setiap pertarungan dan menjadi nomor satu, kau harus bisa Suck!" bujuk Stigra sambil mengulurkan tangannya mengajak Suck untuk pergi menghadiri pertandingan.
"Stig!" panggil Suck mengingat sesuatu. Stigra berhenti dan menatap heran ke arah Suck.
"Apa kau percaya pada Kloning?" Stigra mengerutkan dahinya pertanda bingung dengan ucapan Suck.
"Kloning? Apa itu?"
"Penggandaan mahluk hidup menjadi sangat mirip dengan induknya, apa kau percaya bahwa itu bisa terjadi pada manusia?"
"Mungkin iya, kenapa memangnya?"
"Karena aku melihatnya Stig, aku melihatnya di sini, di bawah tanah Schutz!"
( .... )

KAMU SEDANG MEMBACA
VALET✔
Fantasía(Fantasy) Suck yang dibesarkan di keluarga sederhana tak menginginkan hal lain selain bisa hidup tenang dengan keluarga kecilnya. Membantu ayahnya bertani, merawat kebun di pekarangan rumahnya dengan Sang ibu adalah satu-satunya impiannya. Suck tak...