Langit terang beranjak malam, Grey melamun di serambi rumahnya menatap matahari yang nyaris menghilang seutuhnya. Matanya terlihat bergetar mengingat bagaimana dia dan istrinya pindah ke Endlos City ini, bagaimana dia menyelamatkan putrinya Suck dari kejaran orang-orang yang menginginkannya. Suara kepakan sayap mengagetkan Grey saat melihat Panda berbentuk elang datang ke arahnya dan berubah wujud menjadi anjing sebelum menyentuh tanah. Tak seperti dugaan Suck, Grey tidak kaget dengan perubahan multibentuk hewan di hadapan karena dia sudah tahu tanpa Suck beritahu sebelumnya.Saat itu adalah malam ke sekian setelah Panda berbentuk anjing itu datang ke rumahnya. Grey yang meletakkan anjingnya di luar berniat ingin membawa anjing itu ke dalam rumah karena hujan lebat, tapi belum sempat Grey membuka pintu, Grey dikagetkan dengan sebuah perubahan Panda dari wujud elang menjadi anjing saat hewan itu selesai berburu ular besar. Beberapa kali Grey juga melihat Panda berubah menjadi burung pemangsa untuk melindungi kebunnya. Grey tak mempermasalahkannya, karena apapun jati diri Panda, dia tetaplah hewan kesayangan Grey karena hewan itu lah yang membantunya mengusir para mahluk yang ingin melukai Suck.
"Aku tidak tahu siapa yang memerintahkanmu, tapi aku selalu bersyukur jika kau mau menjaga Suck kami. Gadis itu membawa api di dalam nyawanya, dia bisa terbakar suatu hari nanti saat tak ada yang mengingatkannya, saat itu kau harus selalu ada di sana, Panda! Temani dia, jaga dia! Aku yakin orang yang menyuruhmu ingin kau melakukan itu," lirih Grey sambil mengelus kepala Panda yang merasa nyaman dengan sentuhan keluarga Suck. Iseng dengan sentuhannya, Grey berniat memeriksa kaki Panda hingga matanya terlihat membelalak saat menyibak bulu betis anjing itu.
"An! Andrea! Ke marilah!" teriak Grey memanggil istrinya yang langsung datang dari arah belakang rumah.
"Ada apa?" tanya Andrea dengan wajah bingung.
"Kau lihat ini! Ini sebuah tanda yang sangat kita kenal, bukan?" seru Grey bersemangat sambil menyibak bulu betis Panda. Sekarang Andrea juga ikutan membelalak melihat tanda api merah menyala itu.
"Ini sama dengan tanda lahir di punggung Suck, apa merah menyala. Panda bukan secara kebetulan mendatangi kita tapi dia benar-benar diutus untuk Suck, dia bagian dari Suck." Kedua suami istri itu saling tatap dengan tatapan tak percaya dengan fakta yang mereka ketahui.
"Ramalan itu An! Sepertinya itu benar-benar akan terjadi," desis Grey tak percaya.
"Ramalan bahwa akan ada perang besar di tanah Ewigkeit jika 5 api telah bersatu, begitu?" Grey mengangguk mengiyakan ucapan Andrea.
"Suck, Panda ... sudah dua api yang bertemu. Aku tidak tahu ada berapa api yang saat ini berada di sekitar Suck tapi kita harus menjemputnya agar tidak menyebabkan kehancuran seperti ramalan itu!" tekad Grey.
"Bagaimana jika ... jika kehancuran yang dimaksud adalah kehancuran kekejaman bangsa Elf? Bukankah itu bagus, Grey?" pikir Andrea.
"Kehancuran bangsa Elf atau bangsa apapun itu, aku tidak ingin itu disebabkan Suck, Andrea! Aku tidak ingin anakku membaluri tangannya dengan darah bangsa terkutuk itu. Aku ingin mereka hancur tapi bukan dengan tangan Suck karena putriku kuselamatkan bukan untuk jadi pembunuh!"
"Lalu bagaimana jika itu takdirnya, Grey! Jika Suck tercipta dan selamat dengan kita karena untuk itu?! Bukankah kita harus membantunya?"
"Tidak akan! Suck tidak akan membunuh siapapun selama aku hidup, tidak akan!" Grey meninggalkan rumah dengan kegundahannya. Andrea mengelus Panda dengan hati yang tak tenang juga, mencintai Suck adalah hal yang sudah pasti dia rasakan, tapi jika kehancuran memang bagian dari takdir Suck, Andrea akan mendukungnya dengan sepenuh hati.
"Panda, pergilah temui Suck! Jaga dia dan tuntun dia menuju takdirnya menemukan 3 api lain dan membasmi bangsa Elf dari muka bumi ini!" perintah Andrea dan Panda berubah menjadi Elang lalu terbang dan menghilang di langit malam yang kian pekat.
****
Pintu kaca terang benderang itu terbuka dengan lebar dan beberapa orang dengan seragam putih dan jubah putih dengan rajutan anggrek putih biru memasuki ruangan berbau pekat dan serba putih disambut beberapa orang yang menunduk dalam. Itu Nansen Orlondo, kepala pengawas keseluruhan dari Schutz dengan kepercayaan penuh dari pihak Istana Elves.
"Apa kabar yang kudengar itu benar? Bahwa ada seorang siswi Schutz yang berhasil menyusup dan melihat tempat ini?" tanya Nansen sambil menatap satu-satu dari wajah pekerja laboratorium Valetium yang tampak sangat gugup.
"Ya, itu benar. Staf yang bekerja siang tadi mendapati seorang siswi tengah mengintip dari pintu dan melihat kegiatan wajib kita dengan siswa pilihan yang baru tiba. Namun saat staf keamanan ingin menangkapnya, dia tidak ditemukan di manapun, bahkan jejak kakinya tidak terdeteksi dengan lampu infrared," jelas Hakkien kepala laboratorium.
"Siswa? Pasti dia lebih muda dari kalian, bagaimana mungkin kalian tidak bisa menangkapnya?! Apa guna kalian hidup kalau menangkap satu bocah saja tidak bisa!" bentak Nansen marah. 11 orang pekerja yang mendapat sip siang tadi pun bersimpuh ketakutan.
"Maafkan kami Tuan, maafkan kami," jerit mereka ketakutan. Nansen menendang satu persatu dari mereka tanpa kasihan.
"Apa kalian pikir minta maaf dapat menyelesaikan masalah yang akan anak itu timbulkan jika dia buka mulut dan mengoceh dengan orang-orang?! Apa kalian tidak memikirkan itu, hah?!" Nansen benar-benar berang saat ini, kulit wajahnya memerah juga telinganya yang memang berkulit putih, amarahnya sudah mencapai ubun-ubun.
"Takkan ada yang percaya padanya Tuan, karena dia bicara tanpa bukti." Nansen dengan cepat menginjak tubuh pria yang mengatakan itu dan itu berkali-kali hingga kepala pria itu pecah saat dengan tega Nansen menginjaknya menggunakan sepatu kulitnya yang bertapak keras.
"Siapa lagi yang mau mengatakan kata-kata bodoh itu?! Siapa! Akan kubuat kalian menjadi bakso malam ini!" ancam Nansen dengan wajah geram.
"Tak percaya karena tak ada bukti? Betapa bodoh pemikiran itu. Di dunia ini, orang-orang memang tidak langsung percaya jika tidak ada bukti, tapi mereka akan mudah percaya jika rumor itu semakin berkembang dan ketika itu terjadi, Schutz hanya tinggal nama, orang-orang itu akan menarik putra-putrinya dari sekolah ini! Apa kalian mau hah? Apa kalian pernah memikirkan konsekuensi itu?" Tak ada yang menjawab karena ucapan Nansen benar adanya. Mereka hanya menunduk dengan rasa bersalah.
"Kau Hakkien! Bawa semua pekerja tak bertanggung jawab ini ke kandang Lorik, sepertinya dia tidak makan beberapa minggu. Balurkan tubuh mereka dengan darah sapi yang ada agar Lorik dengan mudah mengendus mereka!" perintah Nansen disanggupi Hakkien yang memberi kode pada anggotanya untuk menarik 11 orang pekerja yang menjerit-jerit memohon pengampunan tapi Nansen hanya berbalik dan menutup telinganya dengan tatapan puas.
11 orang itu ditarik ke arah sebuah ruangan yang tertutup dan cukup gelap. Sebelum masuk, para pekerja yang tak dihukum menyiram mereka dengan satu gayung darah sapi setiap orangnya dan mendorong semua orang itu ke dalam kandang lalu menutupnya. Lolongan harimau dan jeritan kepiluan terdengar dari dalam ruangan mengiringi langkah kaki pekerja meninggalkan ruangan Lorik.
"Kau harus menemukan siswi itu tanpa alasan apapun! Keselamatanmu ada padanya, jika nama Schutz diucapkan sebagai pembunuhan, maka kau akan menjadi mayat pertama yang akan kami gantung di depan aula! Apa kau mengerti!" Hakkien mengangguk menyanggupi. Nansen ingin beranjak, namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat otaknya mengingat sesuatu.
"Apa kau bilang gadis itu hilang tanpa ada jejak kaki menaiki tangga?" tanya Nansen, Hakkien mengangguk lagi.
"Jika dia tidak naik saat itu juga, berarti dia belum ke atas saat kalian mengejarnya. Ada kemungkinan dia bersembunyi di bawah sini dan keluar saat kalian sudah melupakannya." Nansen berspekulasi.
"Lalu di mana dia sembunyi saat kami sudah mengecek semua ruangan di bawah sini!'
"Ada ... ada satu tempat lagi yang harus kita kunjungi dan jika dia benar-benar di sana, maka sekali tepuk kita menyingkirkan 2 dan itu pasti sangat memuaskan.
( .... )
KAMU SEDANG MEMBACA
VALET✔
Fantasy(Fantasy) Suck yang dibesarkan di keluarga sederhana tak menginginkan hal lain selain bisa hidup tenang dengan keluarga kecilnya. Membantu ayahnya bertani, merawat kebun di pekarangan rumahnya dengan Sang ibu adalah satu-satunya impiannya. Suck tak...