VALET : Cp 17

115 24 0
                                    

Pagi hampir tiba, tapi Suck belum juga tertidur. Gadis Endlos itu masih berkutat di meja belajarnya dengan tangan menyusun satu persatu rencana yang akan dia lakukan di Istana Elves. Diamond Escape, begitulah Suck menamai rencananya itu.

Pintu berderak dan Quen terlihat baru tiba di kamarnya dan kaget melihat Suck masih bangun. Padahal jika boleh jujur, Quen pulang sangat larut begini karena ingin menghindari Suck. Ntah kenapa gadis itu merasa bersalah bila mengingat bagaimana dia membunuh Livi dengan kemarahannya.

"Kau belum tidur ternyata," sapa Quen berusaha ramah. Tak ada jawaban dari Suck.

"Hei, setidaknya jawab sapaanku! Terlebih karena aku paling senior di tempat ini!" gusar Quen dan gadis itu sedikit goyah saat Suck menatapnya dengan mata memerah.

"Apa?" tanya Quen gugup.

"Pembunuh!" Satu kata dari Suck yang menendang perasaan Quen. Bukan baru ini Quen melakukannya, sudah banyak orang yang dia bunuh di gelanggang pertandingan tapi Livi sangat membuatnya merasa bersalah karena dia membunuhnya atas dasar rasa suka pada Stigra.

"Kenapa? Kau merasa terpukul dengan tudingan itu! Tidak mungkin itu terlalu kasar untuk orang yang haus darah sepertimu, kan? Aku dengar bukan hanya Livi yang kau akhiri di gelanggang, beberapa siswa dari berbagai kelas yang sudah kau akhiri dengan tanganmu itu! Jadi kau takkan marah kan dengan kata-kata itu!" sindir Suck, tak ada respon dari Quen dan Suck berniat meninggalkan kamar.

"Untuk Livi-" Suck menghentikan langkahnya.

"Aku minta maaf untuk kematian Livi, aku benar-benar tak pernah berniat membunuhnya. Dia gadis baik dan aku-" Quen sangat kaget saat Suck berbalik dan mencekiknya kuat.

"Jika dia baik, jika dia selalu menjadi orang yang melayanimu, kenapa?! Kenapa kau harus membunuhnya! Kenapa kau membuat dia mati dengan cara sekeji itu?! Mengapa Quen?!" bentak Suck. Quen tiba-tiba menangis karena bayangan bagaimana Livi selalu menuruti apapun keinginannya dan gadis bermata polos itu tak pernah sekalipun berniat memberontak walau Quen sadar Livi memiliki kemampuan yang tak jauh berbeda dari dirinya sendiri tapi gadis itu selalu rendah hati dan terlalu pasrah. Itu yang membuat Quen marah, karena dia terlihat jahat di mata Stigra.

"Aku juga tidak tahu Suck, aku dibutakan rasa iriku melihat bagaimana Stigra melindunginya, hal yang tidak pernah Stigra lakukan untukku selama kami berteman, maafkan aku," lirih Quen tercekik. Suck tak berniat melepaskan cengkeramannya, Quen merasakan Suck semakin kuat mencekiknya.

"Suck!" panggil Quen berharap Suck sadar, tapi tenaga gadis itu kian kuat seiring matanya yang memancarkan warna merah yang kian terang. Hingga tiba-tiba pintu terbuka dan Linnea dan Hema masuk dan cepat-cepat melepaskan Suck yang walau sulit awalnya tapi berhasil juga akhirnya. Quen terbatuk begitu berhasil meraih oksigen sebanyak-banyaknya.

"Kau gila!" cerca Linnea ke arah Suck yang menatap garang.

"Jika kau merasa bersalah pada Livi, maka kau harus memenangkan pertarungan dengan staf istana besok agar kau dan aku bisa menjadi lawak di gelanggang pertandingan selanjutnya dengan sportif!" ucap Suck penuh penekanan dan melangkah meninggalkan kamar.

"Kenapa dia sangat marah? Apa karena kematian Livi?" Quen mengangguk mengiyakan pertanyaan Linnea.

"Aku salah dan aku harus menang besok," tekad Quen.

"Gadis Endlos itu sangat sombong, dia berkata seakan-akan dia pasti menang dengan staf istana besok," ejek Hema.

"Dia bisa, dia pasti bisa mengalahkan mereka karena di bukanlah gadis yang seperti orang-orang bayangkan. Suck, gadis Endlos itu bukanlah orang sembarangan. Ada banyak kejutan dalam dirinya yang sepertinya mulai dia rasakan. Sebuah kejutan yang siap membunuh siapapun tak terkecuali aku," lirih Quen membatin.

VALET✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang