ALVINA 61 : BAYI BULAN

59 20 3
                                    

Seorang Ibu memang akan selalu menjadi wanita terhebat dalam perjalanan hidup anaknya.

-Alvina Kusuma Saputra

61. BAYI BULAN

“Dengan keluarga pasien,” ucapan Dokter itu membuat mereka langsung menghampiri sang Dokter.

“Bagaimana, dok?” tanya Vina dengan khawatir.

“Bayi telah lahir dengan keadaan sehat, dan berjenis kelamin laki-laki.” ucap Dokter itu membuat mereka merasa lega.

“Dan Ibunya?” tanya Varo.

“Seperti yang sudah saya katakan, Ibunya tidak bisa di selamatkan.” jawab Dokter itu.

Semua orang terdiam dan menahan kesedihan disana. Sedangkan Vina sudah meneteskan air matanya. Varo merangkul Vina untuk memberikan kekuatan.

“Boleh saya masuk?” tanya Vina di angguki Dokter itu.

Vina langsung masuk ke dalam ruangan di ikuti Varo.

Vina mengambil Bayi Bulan dari tangan Suster yang memegang Bayi Bulan.

Vina menatap jasad Bulan yang masih ada di brankar. “Gue bakal jaga anak ini, lo yang tenang ya...” ucapnya dengan lirih.

“Sus, apa Bayi ini boleh di bawa keluar?” tanya Varo.

Suster mengangguk. “Silahkan, mas. Tapi tidak lama ya, karena Bayi akan saya bawa ke ruangan Bayi.”

Varo mengangguk mengerti dan langsung menuntun Vina untuk di bawa keluar.

Vina memberikan Bayi itu kepada Rama, tapi Rama malah diam seakan-akan tidak mau menerima Bayi itu.

Vina mengerutkan dahinya bingung. “Lo nggak mau nerima Bayi ini?”

“Bukan anak gue.” jawab Rama acuh.

Vina menatap Rama heran. “Oke, gue yang ambil Bayi ini.”

“Nggak, vin. Tante bakal rawat dia.” kata Rara mencegah Vina.

Vina menggelengkan kepalanya. “Bayi ini nggak akan hidup satu atap sama orang yang nggak pernah menganggap dia hidup.” Vina menatap sinis ke arah Rama.

Vina maju beberapa langkah menghampiri Kavin. “Om, tolong urus pemakaman Bulan ya.”

Kavin hanya mengangguk.

Setelah itu Vina pergi begitu saja dari sana untuk mengantarkan Bayi Bulan ke ruangan Bayi.

Devi menghampiri Varo. “Kamu tau semua tentang Vina, kan?”

Varo terdiam sebentar. “Kalau iya kenapa?”

Devi mencengkram kedua bahu Varo. “Kenapa kamu nggak bilang?!!!”

“Kalau bilang artinya aku ngebela Vina. Saat pernihakan Rama aku sempet bela Vina, tapi Mamah tau kan apa yang Papah lakuin?” Varo menatap sebentar ke arah Gana. “Papah ngusir aku dari rumah. Lalu, kalau aku ngebela Vina lagi apa yang bakal Papah lakuin? Coret aku dari kartu keluarga?”

“Udahlah, mah. Nggak usah seakan-akan menyesali semuanya. Kalian yang mulai.” Varo berdecih.

Gana langsung menghampiri Varo dan hendak menampar Varo tapi Devi menahan tangan itu.

“Nggak usah di halangin, mah. Tamparan Papah udah nggak ada artinya.” jawab Varo acuh.

“Varo!!!” geram Gana yang masih di tahan oleh Devi.

Devi menangis disana. “Cukup! Keluarga kita udah pecah kayak gini, kamu masih mau melakukan semua ini?!” tanya Devi kepada Gana.

Gana terdiam melihat Devi yang seperti ini. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa Devi bisa seperti ini.

“Mamah benar. Keluarga kita emang udah pecah. Makanya, cukup anggap Varo dan Vina udah mati.” tegas Varo.

Devi menatap Varo sendu, dia tidak menyangka bahwa anak laki-lakinya ini bisa berbicara seperti itu. “Nggak ada seorang Ibu yang bisa menganggap anaknya sudah mati di saat mereka masih bernyawa.”

“Nggak ada seorang Ibu yang berdiam diri ketika melihat anak-anaknya di usir dari rumah mereka.” jawab Varo tidak mau kalah.

“Varo. Dia Mamah kamu.” tegas Kavin memperingatkan Varo.

Varo berdecih. “Nggak ada yang bilang dia orang lain, om.”

Varo memutar bola matanya malas. “Udah ya, mah. Nggak usah banyak drama. Varo sama Vina nggak butuh itu semua. Kita berdua udah berhasil kasih bukti kalau kita mampu hidup tanpa kalian.”

“Varo...” panggil Devi lirih dengan air mata yang tak berhenti menetes.

“Maaf, mah. Varo udah kelewatan batas. Tapi, kalian harus sadar. Kalau Varo kayak gini juga karena kalian.” ucap Varo dan langsung pergi dari sana.

Devi langsung terjatuh dan menangis dalam dia. Rara langsung memeluk Devi. “Perbaiki semuanya, dev...”

“Gue pernah ngerasain gimana hancurnya diri gue sama perlakuan orang tua gue sendiri. Apa sekarang anak-anak gue ngerasain itu juga karena perlakuan gue?” tanyanya dengan suara lirih. Dia sudah menangis sesenggukan di pelukan Rara.

“Perbaiki semuanya, gue yakin mereka masih bisa nerima kalian...” ucap Rara meyakinkan.

***

Vina menatap Bayi Bulan dari balik kaca ruangan itu. Vina tersenyum ketika melihat Bayi itu, Bayi itu terlihat sangat lucu.

Tiba-tiba Varo datang dan merangkul dirinya. “Lo nggak mau pulang? Nggak mau mampir ke kontrakan gue?”

“Rasanya gue gamau jauh sama Bayi itu, var.” jawab Vina yang pandangannya tak lepas dari Bayi Bulan.

“Nanti juga lo bakal sama dia terus, nggak usah lebay.” jawab Varo.

Vina mengangguk. “Iya juga ya, gue udah nitip dia ke Suster sih.”

“Aman, kan, berarti?” tanya Varo diangguki Vina.

“Oh iya, lo mau rawat Bayi itu emang udah ijin sama Tantenya Karan?” tanya Varo memastikan.

Vina langsung menepuk dahinya. “Gue lupa sumpah!”

Varo memutar bola matanya malas. “Penyakit,”

“Besok deh, gue pulang pagi-pagi buat obrolin ini semua.” kata Vina.

“Kalau nggak di ijinin gimana?” tanya Varo khawatir.

“Nggak mungkin sih kalau nggak di ijinin.” jawab Vina percaya diri.

“Anjing.”

***

Hai readers, part ini segini dulu yaa

Vote, komen & share yaaa

Kritik saran?

Next?

Ig : @annd.pw

ALVINA [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang