25. Kemarahan

45K 5.1K 646
                                    

️⚠️VOTE JANGAN LUPA⚠️


===

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

===

"Ikut aku!"

Afifah menggeleng, tak mau dan mampu lagi ia tuk berhadapan dengan orang, kasarnya, majnun seperti pria di depannya. Ia sungguh muak dengan segala yang Gus Amar lakukan setelah menikahinya. Padahal dulu sebelum ijab kabul dikatakan, Gus Amar sendiri sangat terlihat tak peduli padanya walau ia mati sekalipun.

Sangat-sangat menjengkelkan hanya untuk mengingat-ingat kejadian lampau antara ia dan Gus itu.

"Gak mau dan jangan paksa!" tolaknya mentah-mentah sambil berjalan mundur beberapa langkah.

Ibrahim yang tak mau ambil pusing dengan masalah orang lain akan beranjak pergi, namun mendadak saja Ning itu terlebih dahulu menghadang sampai membuatnya langsung memundurkan kaki karena kaget.

Mau protes, jatuhnya malah seperti tak pernah mengaji dan mencontoh akhlak-akhlak santri dan kyai terdahulu yang tak mau ambil pusing dengan kelakuan bocah labil.

Namun andai saja Ibrahim tahu, yang lebih labil diantara Afifah dan Gus Amar aslinya malah pria itu. Suaminya Afifah itu tak lah pernah jelas dipikir-pikir, selalu bertindak sesuka hati tiap kali bertemu dirinya. Kadang nafsuan, kadang biasa saja walau jarang, kadang ngajak musuhan seperti sekarang. Ahhh, melelahkan.

"Jangan membantah!"

"Dih, Fifah gak suka, jijik, dan geli sama Gus Amar! Fifah suka dia, Fifah mau jadi istri dia. Bukan Gus Amar! Pisah aja kita!" teriaknya sambil menunjuk Ibrahim yang mulai bingung karena dilibatkan dengan hal yang tak ia pahami.

Tapi tunggu-tunggu! Suka? Ningnya suka dengannya? Ah, tentu siapa pun juga pasti langsung bisa menebak jika ini hanyalah kebohongan buruk yang tak seharusnya dikatakan, pikir Ibrahim sambil menundukkan kepala.

Gus Amar menggeser bola matanya ke arah Ibrahim dengan pandangan menajam sebelum kembali ke istrinya. Ia menggertak kan gigi dengan tangan yang sudah mengepal geram. Lancang sekali gadis itu sampai berani membangunkan amarahnya lagi.

"Jangan tak tahu malu dan terus-menerus berkata bodoh, Afifah!" desisnya dengan suara tertahan.

Afifah menyunggingkan bibirnya walau matanya sudah berkaca-kaca. "Demi Allah! Demi Allah dengan langit dan bumi saksinya, Fifah katakan dengan jelas jika Fifah suka Kang Ibrahim!"

DUAR!

Spontan Afifah terlonjak kaget saat mendengar keras suara petir di langit sana sampai membuat bumi bergetar sekejap dalam waktu bersamaan. Ia lantas menelan salivanya kasar sebab mengkhawatirkan besarnya dosa telah mengungkapkan perasaan tercela ini.

"Jangan katakan hal yang bumi langit pun enggan mendengarnya, Afifah! Jangan membawa-bawa nama Allah jika suamimu saja tak ridha akan ucapan itu! Pahala surga yang kau harapkan pun turut lenyap saat hormat tak lagi kau berikan pada imam dua kehidupanmu, sekarang-esok, dunia dan akhirat!"

Ning Kecilku √ (Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang