Namaku Laila Anindya, seorang guru sekolah dasar yang dahulu dibesarkan di panti asuhan karena kedua orang tuaku meninggal dalam bencana tanah longsor. Saat ini usiaku sudah menginjak 25 tahun dan sekarang aku bekerja di sekolah dasar yang juga satu yayasan tempat panti asuhanku dulu.
Bunda Eriyana, ibu dari mas Langit menungguku di luar kelas ketika aku masih mengajar. Beliau duduk anteng di kursi panjang yang berada di lorong sekolah menungguku selesai mengajar murid-murid kelas 2 SD.
"Duduk yang rapi anak-anakku. Sekarang ibu guru kasih pertanyaan. Yang bisa menjawab boleh pulang duluan ya. Yang bisa jawab langsung tunjuk jari" Seruku mengajar anak-anak yang berjumlah 25 siswa-siswi. Aku sering memberi pertanyaan kepada murid-muridku ketika menjelang jam pulang sekolah. Hal ini aku lakukan untuk mengulang materi yang telah aku ajarkan sebelumnya.
"Apa nama ibu kota negara kita?" Tanyaku. Serentak 10 siswa mengangkat telunjuk mereka. Aku memberi pertanyaan demi pertanyaan, sampai murid terakhir bersalaman pamit untuk pulang.
Setelah selesai dengan kegiatan belajar mengajar, segera aku merapikan meja dan kursi guru lalu bergegas keluar kelas untuk menemui Bunda Eriyana.
"Maaf bunda pasti menunggu lama" Ucapku sambil mencium punggung tangan wanita berusia 55 tahun itu.
Bunda memelukku hangat. "Ga papa sayang. Harusnya bunda yang minta maaf karena mengganggu Laila mengajar."
"Laila sudah selesai mengajar bunda, jadi tidak mengganggu." Terangku pada wanita yang memakai abaya berwarna coklat.
Bunda lalu mengajakku ke rumahnya untuk membicarakan sesuatu. Pikiranku belum bisa menebak apa yang ingin dibicarakan bunda kepadaku. Selama di dalam mobil, bunda mengajakku mengobrol ringan untuk membuatku lebih akrab dengan beliau.
Setelah menempuh 30 menit perjalanan, kami sudah sampai di rumah yang memiliki halaman yang cukup luas. Halaman rumah ini didominasi rumput jepang dan diantara rumput itu tumbuh beberapa pohon rindang yang tinggi menjulang.
Aku pernah beberapa kali ke rumah ini, setiap kali panti asuhan tempatku tinggal diundang diacara syukuran di rumah Bunda Eriyana. Sehingga tidak membuatku asing dengan rumah bergaya kolonial ini. Dua pilar besar berdiri kokoh di teras rumah yang berwarna putih gading.
Bunda mengajakku masuk lalu kami duduk di ruang tamu. Si Mbok yang bekerja dirumah bunda menyuguhkan teh dan beberapa cemilan untuk kami. "Trimakasih" Ucapku sopan saat Si Mbok menyodorkan teh hangat ke arahku.
"Laila, ada yang ingin bunda tanyakan sama kamu. Boleh bunda bertanya sesuatu yang cukup pribadi?" Bunda menatap netra mataku dengan raut wajah yang menunjukkan kesungguhan.
"Iya bunda, boleh" Secara otomatis kepalaku mengangguk mengiyakan permintaan bunda. Tidak enak menolak permintaan seseorang yang sudah aku anggap sebagai pengganti kedua orang tuaku. Bunda merupakan salah satu orang yang cukup berjasa bagi hidupku. Keluarga beliau-lah yang menyokong dana di panti asuhan tempatku tinggal. Sehingga aku dan teman-temanku dapat hidup yang layak serta mendapatkan pendidikan sampai sarjana.
"Maaf, apa Laila sudah punya calon suami atau pacar?" tanya bunda Eriyana masih memandang ke kedua mataku dengan mata teduhnya.
Aku sedikit bisa menebak arah pembicaraan bunda. Mengingat obrolan ringan yang bunda dan aku bahas selama perjalan tadi seputar kehidupan setelah berumah tangga. Apakah bunda bertanya seperti itu karena akan menjodohkanku dengan seseorang? Apakah keponakannya? Anak dari temannya? Atau mungkinkah beliau akan menjodohkanku dengan putra semata wayangnya? 'Gema Langit Ramadhan' Laki-laki yang selama ini aku kagumi. Laki-laki yang selama 10 tahun ini wajahnya selalu aku bayangkan sebelum tidur. Lelaki yang hanya berani aku impikan tetapi tidak berani aku sebut namanya di dalam doaku. Aku merasa lancang dan rendah diri jika mengharap bisa menjadi pendamping hidupnya. Seseorang yang terlalu sempurna sehingga membuatku kerdil bahkan untuk memimpikannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Pilihan Bunda (End)
Roman d'amourGema Langit Ramadhan, nama laki-laki yang telah sah menjadi suamiku setelah selesai mengucapkan ijab qobul. Aku berdoa kepada Allah semoga pernikahan ini bisa menghadirkan cinta diantara kami. Sejak awal aku sudah tahu, bahwa hatinya bukan milikku...