Prolog

64 7 10
                                    

Dua ribu seratus sembilan puluh hari, tujuh puluh dua bulan, dan enam tahun sejak sosok Alya pergi. Seorang laki-laki yang memakai setelan jas kantor berwarna hitam rapi berjalan dengan memegang dua buah gelas kopi di tangannya.

Banyak orang yang berjalan melewati zebra cross menyeberangi jalan dengan kesibukan dan urusan masing-masing. Beberapa kendaraan yang hendak lewat juga berhenti mengikuti lampu lalu lintas. Udara di pagi hari dan asap kendaraan mengisi atmosfer di bumi saat ini.

"Duh, gawat. Tinggal dua menit lagi jam sembilan. Mana rapatnya mau mulai."

Rayen menatap lurus ke depan dan mempercepat langkahnya. 

Ah, hari ini juga. Dunia masih tetap jalan kek biasanya. Kelabu. Aku nggak bisa lihat hal menarik atau nemuin apapun yang menarik. Dada ini juga masih terasa sesak. Lo tau, Al? Kadang gue merinding liat orang-orang yang jalan biasa dan beraktivitas biasa abis lo pergi. 

"Aduh!"

Bahu Rayen tak sengaja menabrak seseorang yang lewat hingga orang itu sedikit terhuyung.

"Maap. Aku nggak sengaja." Rayen membantu mengambilkan topi berwarna hitam yang terjatuh dari kepala si pemakai dan menyodorkannya.

"Ah, saya juga salah. Maap." Gadis itu mengambil topinya kembali.

Rayen menatap rambut berwarna hitam legam gadis di depannya itu. Gadis itu menoleh ke arah Rayen. 

Laki-laki itu menarik nafas. Suara hirupan yang hanya terdengar oleh Rayen seorang.

"Zika, cepet! Sebelum lampunya jadi merah," teriak seorang gadis yang sudah ada di seberang jalan.

Drrrt Drrrt

"Oh ya, halo?" ucap Rayen mengangkat telepon mengalihkan pandangan.

Gadis tadi menggeleng pelan melihat temannya. "Iya. Gue kesana nih. Berisik lo."

"Ah, iya. Saya segera kesana."

Kedua orang itu berjalan berlawanan arah. 

"Ah, udah jam sembilan tepat," ujar Azika melihat jam tangannya.

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Prolog

Nine A.MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang