"Wah, buset. Mama gue nelepon banyak banget," gumam Zika melihat ponselnya sambil melangkahkan kakinya. Gadis itu pulang dari rumah Rayen sekitar dua puluh menit yang lalu menaiki taxi.
Sebenarnya, Rayen mau mengantarkannya sampai rumah. Tapi, gadis itu terus-terusan menolak dan memilih untuk naik taxi pada akhirnya.
"Kena omel nggak ya?" Ia memasukkan benda pipih tadi ke dalam saku. Payung yang ia bawa semalam juga dipegangnya di tangan kirinya.
Berjarak beberapa meter, pintu rumah gadis itu sudah tampak di mata. Zika terus melangkah sampai di depan pintunya.
"Mama, Zika pulang," ucap gadis itu menaikkan sudut bibirnya dan masuk ke dalam rumah.
"Hm?" Gadis itu melirik seorang laki-laki paruh baya yang tengah duduk di depan.
Temennya mama ya?
"Om," sapa gadis itu menundukkan kepalanya sedikit.
"I-ini, Zika?" tanya laki-laki itu pada mamanya.
Wanita itu tampak mengangguk ragu.
Zika dibuat mengerutkan kening saat laki-laki tadi berdiri dan berjalan ke arahnya.
"Em, ma ini siapa?" tanya gadis itu bingung.
Mamanya tampak menunduk dan mengalihkan pandangannya.
"Ini papa kamu, Zik. Saya papa kamu," jawab pria tadi memegang tangan Zika.
"Apa?" Zika melepas tangan pria itu dari tangannya dan menatap sinis. "Tolong jangan bercanda! Saya tidak kenal siap..."
"Saya papa kamu."
Zika menghampiri mamanya. "Ma, itu siapa sih? Kok ng..."
"Dia papa kamu."
Gadis itu membulatkan matanya dan menatap pria yang melihatnya itu. Ia tertawa hambar. "K-kalian bercanda kan? Aku kan nggak punya papa."
"Dia papa kandung kamu, Zik," kata mamanya menatap Zika.
"Saya bener-bener papa kamu. Pas kamu masih bayi, mama kamu ninggalin kamu di panti. Dulu, dia ngelahirin kamu di luar nikah. Mama kamu nggak bisa nerima kalau dia hamil. Pas itu juga, papa lagi berantem sama mama kamu. Papa nggak tau kalau dia mau ngelahirin dan papa juga nggak tau kamu dititipin di panti mana. Mama kamu hilang abis itu. Papa udah nyari kamu bertahun-tahun, sampai akhirnya papa tau kalau mama kamu ninggalin kamu di panti asuhan mana dan diadopsi siapa. Papa tau kamu benci papa."
"Benci?" sela Zika. "Saya aja nggak pernah tau kalau punya papa. Kenapa saya harus benci anda? Selama dua puluh satu tahun saya hidup, saya nggak pernah nanya atau pengin tau apa dan gimana itu papa. Di hidup saya, anda dan wanita yang udah ngelahirin saya itu, kalian cuma orang asing. Dan apa? Hamil di luar nikah. Haha, ternyata selain anak yang ditinggal orang tuanya, saya juga anak hina yang lah..."
Plak
Zika menoleh dan menatap mamanya tidak percaya. Wanita itu baru saja menamparnya?
"Kamu, kapan mama ngajarin kamu buat ngomong kasar gitu?" bentak mamanya.
"Kenapa Zika harus sopan ke dia?" bentak Zika ganti, menurunkan tangannya dari pipinya yang memerah. "Apa Zika salah? Kemana aja dia selama ini sampe baru dateng? Kemana hati wanita yang ninggalin Zika di panti asuhan pas masih bayi? Cuma mama orang tua Zika. Zika nggak butuh yang lain. Dia juga udah hidup selama ini tanpa Zika. Masih hidup, kan? Bisa bernafas kan? Kenapa sekarang nyari Zika? Umurnya juga nggak bakal nambah walau sama Zika lagi."
Gadis itu melirik tajam dengan mata berkaca pada pria yang melihatnya dalam diam itu. Ia melangkah pergi dari sana, kembali keluar dari rumah dengan berlari kecil.
"Zika," panggil mamanya. Wanita itu menoleh ke arah pria yang berdiri saja itu. "Pak, mungkin Zika masih sedikit marah gar..."
"Semua ini memang salah saya. Dia sampai nganggep saya gitu. Saya bisa maklumi itu," ucap laki-laki itu tersenyum pahit.
Sedangkan di luar, Zika berlari kecil ke jalan raya.
"Halo," ucapnya menelepon seseorang di telepon.
"Hoy, kenapa?"
"Lo dirumah? Gue mau kesana."
"Kesini aja! Gue lagi rebahan."
"Oke."
***
Tok Tok"Oh, masuk aja!" ujar Sesil dari dalam rumah tetap selonjoran karena tahu siapa yang datang.
Pintu terbuka
"Dar..."
"HUWAAAA."
"Eh buset?!"
Sekitar tiga belas menit kemudian, akhirnya Zika menghentikan tangisnya.
"Tamat udah guling gue penuh ingus lo," ujar Sesil menyodorkan kotak tisu pada gadis itu.
Zika mengeluarkan ingusnya di tisu yang dipegangnya dan duduk dengan memeluk lututnya. "Gimana dong?"
"Ye lo salah lah, Zik. Mau gimana juga, itu kan papa lo. Eh, lo malah ngomong gitu. Jelas mama lo marah, lah," jawab Sesil.
"Heh, gue aja nggak pernah tau orang tua gue ada dimana. Kenapa mereka dulu ninggalin gue di panti? Orang tua gue cuma mama. Yang gue tau itu. Terus, kenapa tuh orang pake muncul?" ujar Zika mengacak rambutnya.
"Dia orang tua kandung lo, hei. Ya, gue tau kenapa lo gitu. Lo pasti marah, gue pun jelas gitu kalau di posisi lo. Tapi, lo bilang dia nyariin lo terus. Kalo bener yang tadi dia ceritain, bukannya dia sayang sama lo? Kali aja dia balik buat nebus salahnya dulu."
Gadis itu terdiam saja sambil memandangi kotak tisu di depannya.
"Gue boleh disini kan?" tanyanya.
"Iye, terserah lo aja. Tapi ntar sore gue mau kerja, lo nggak papa kan sendiri disini?"
"No problem. Thanks. Ah, punyeng kepala gue."
"Disini aja kal...OHIYA ANJIR. LO...."
Sesil menunjuk Zika denga telunjuknya. "LO SEMALEM TIDUR DI RUMAH COWOK YA NJIR?!"
"H-hah?"
"Berani boong lo sama gue?" ucap Sesil menunjukkan kepalan tangannya.
"C-cuma nginep doang, njir."
"WATDEF...Heh? Sejak kapan lo suka cowok?"
"Lah? Lo kira gue lesbi?"
"Gue sempat mikir lu naksir gue, sih."
Zika menjauhkan tubuhnya. "Amit-amit hi, otak lo."
"Bentar, jangan ngalihin topik lo! Cowok mana? Siapa? Kok bisa njir?"
"Panjang, lah."
"Ceritain! Mau sepanjang Sabang sampai Merauke, ceritain!"
Zika menatap malas sahabatnya itu. "Gue nggak aneh-aneh, woy. Namanya Rayen. Semalem lagian dia demam. Gue yang jagain. Udah, nggak aneh-aneh."
"Ceritain!"
"Mal..."
"Lengkap."
"Gue mal..."
"Panjang kayak apapun. Ceritain!"
"Ye," jawab Zika ogah-ogahan.
Dan gadis itu pun mulai menceritakan kejadian kemarin kepada Sesil.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Part 19
KAMU SEDANG MEMBACA
Nine A.M
Teen Fiction(tamat) "Lo nyuruh gue buat tetep senyum apapun yang terjadi. Masalahnya, apa gue pantes buat tetep senyum abis lo pergi? Dunia seolah berubah menjadi kelabu. Gue senyum,tanpa alasan dan sebab yang jelas. Sebelum, pagi itu gue tabrakan sama seseoran...