Bab 23

2 1 0
                                    

"Emang gue tadi salah apa sampai dia tiba-tiba pergi gitu aja?" tanya Rayen pada diri sendiri dengan menatap pantulan dirinya di cermin. 

"Haah. Nggak tahu, deh." Rayen pun berjalan menuju ranjangnya dan merebahkan dirinya. Belum ada semenit, ia bangun lagi dan mengambil plastik yang tadi diberikan Zika. Ia mengeluarkan bantal yang ada disana dan menatap benda berwarna abu-abu itu. "Keknya gue besok harus ketemu sama dia, deh."

Drrrt Drrrt

Rayen menoleh ke arah ponselnya yang berbunyi itu. "Hanif? Ngapain dia?"

"Halo," ucapnya pada Hanif di telepon.

"Oi, Ray. Ini penting banget."

"Kenapa, sih? Gue udah mau tidur."

"Gue denger, Zika mau pindah besok. Katanya ikut orang tua kandungnya gitu."

Rayen membulatkan mata mendengar ucapan Hanif itu. "Maksud lo? Zika tadi nggak bilang apa-apa ke gue, tuh."

"Nggak tahu. Orang gue kata dia."

Cowok itu berdecak lalu mematikan telepon sepihak. Ia langsung mencari kontak Zika dan meneleponnya.

Nomor yang anda tuju tid...

Rayen kembali menelepon.

"Kemana, sih?"

Nomor yang ada tuju tidak dapat dihubungi...

Rayen terus mencoba menghubungi gadis itu. Sudah sekitar lima belas panggilan, tapi gadis itu tidak juga mengangkat teleponnya. Ia menurunkan ponselnya.

"Hah, serius? Dia aja nggak pamit sama gue. Ditelepon aja nggak diangkat. Dia malah lebih dulu kasih kabar ke Hanif. Padahal dia bilang sukanya ke gue. Oke kalo lo mau gitu. Terserah lo," gumam Rayen meletakkan ponselnya.

Ia menoleh pada bantal yang tadi dipegangnya dan memasukkannya kembali ke kantong plastik. Cowok itu berbaring dan memejamkan matanya.

"Terserah aja," gumamya.

***
Rayen membuka matanya dan menatap ke seliling. Ia langsung berdiri saat melihat hamparan luas berwarna putih di sekitarnya.

"Ini apa? Gue dimana? Gue lagi mimpi?" bingungnya menatap sekeliling.

"Akhirnya bisa juga."

Rayen menoleh ke belakang saat mendengar suara barusan. Seorang gadis dengan wajah tersenyum dan pakaian putih persis berdiri tepat di depannya. Rayen tak bisa berkata-kata melihat gadis yang kini di depannya itu.

"Al...ya?"

Alya mengangguk dan melangkah ke depan. 

Tanpa sadar, air mata Rayen turun melihat gadis itu. 

"Hei, kenapa nangis?" tanya Alya.

Rayen menggeleng. "Ini beneran lo...kan?"

"Iya, gue Alya."

Tangan Rayen terulur memegang tangan gadis itu, tapi tangannya justru hanya melewati tangan Alya.

"Tahu nggak, Ray? Susah banget buat nemuin lo. Gue udah nyoba berkali-kali tapi mesti kehalang sama mimpi buruk lo."

Rayen memandang tangannya sendiri yang tidak bisa menggenggam tangan Alya barusan.

"Apa gue cuma ninggalin rasa bersalah buat lo, Ray?" tanya Alya yang membuat Rayen mengangkat kepalanya.

"Apa kenangan pas sama gue, cuma nyakitin lo? Kalo gitu mending kita nggak ketem..."

"Bukan. Bukan gitu. Gue sama sekali nggak mikir gitu," potong Rayen.

"Terus...kenapa lo mesti nyalahin diri sendiri?"

"Kenapa lagi? Karena gue emang salah. Gue nggak pernah ngertiin lo. Gue cuma bikin cinta lo sama gue sia-si..."

"Kenapa jadi lo yang ngehakimin gue gitu, hah?" bentak Alya. 

Rayen membeku melihat gadis itu menangis.

"Gue...gue emang suka lo. Suka banget. Lo tahu kenapa gue sampe mau bantuin lo buat bikin kak Cia suka sama lo dulu? Karena gue suka sama lo. Lo nggak pernah ngerti gue, karena gue emang nggak mau bilang ke lo. Gue nggak mau ngebebanin lo kalo tahu perasaan gue. Tapi, abis gue nggak ada lo malah kayak gitu. Lo udah ngebuktiin kalo suka gue ke lo emang beban."

"Nggak, buk..."

"Apa? Gue dulu...disaat terakhir gue pernah bilang buat nggak nyalahin diri sendiri. Kenapa lo nggak paham? Gue minta lo senyum, bukan berarti lo nggak boleh nangis atau ngeluh kalo lo sedih. Kenapa lo ngartiin suka gue kayak gitu, hah?"

Air mata Rayen turun semakin banyak.

"Gue...kalo gue bisa milih, gue juga nggak mau pergi, Ray. Gue juga mau sama lo terus. Lulus barengan sama yang lain. Kencan sama lo." Alya mengusap air matanya. "Tapi, lo udah lihat kan? Kita sekarang pegangan tangan aja nggak bisa. Gue udah nggak ada di kehidupan lo."

"Gue...tahu itu," isak Rayen menundukkan kepala. 

"Rayen. Lo percaya sama gue, kan? Gue sekalipun nggak pernah nyalahin lo, dari gue masih hidup atau disaat terakhir gue, gue nggak pernah nyalahin lo. Gue nggak pernah ngerasa nyesel karena suka sama lo. Itu keputusan gue buat nyukain lo pake cara gue sendiri. Gue nggak ada, itu karena udah takdirnya gitu. Gue sekarang mau lo...lo nerusin hidup. Kalo lo emang ngehargain suka gue, gue mau lo nerusin hidup tanpa ngerasa bersalah ke gue."

"Hiks." Rayen berjongkok di tempatnya dan menutupi wajahnya.

"Gue udah banyak ngerepotin banyak orang, termasuk lo. Kalo lo emang ngehargain perasaan gue, jaga diri lo sendiri buat gue, Rayen."

Alya ikut berjongkok menghadap cowok itu.

"Omong-omong, ada cewek yang ngejar-ngejar lo, kan? Gue tahu, kali. Gue juga tahu, lo tertarik sama dia."

Rayen mengangkat kepalanya. "Nggak. gue ng..." 

Cowok itu menghentikan ucapannya saat teringat ucapan Zika yang bilang bahwa menyukainya. 

Alya tersenyum dan ikut berjongkok. "Iya, kan? 

"Maaf."

"Apa lo bakal buang cinta lo, gegara rasa bersalah lo ke gue? Rayen, gue bahagia kalo lo bahagia. Lo nggak perlu ngerasa bersalah soal kematian gue dan lanjutin hidup lo. Karena sekarang, ada yang butuh senyuman lo selain gue. Berdiri!"

Rayen menatap gadis yang bangkit dan tetap menatapnya itu. 

"Gue bilang berdiri!"

Perlahan, Rayen mengikuti kemauan Alya dan ikut berdiri.

"Dengerin gue! Ini...terakhir kali gue bisa ngomong sama lo," ucap Alya.

"Al..."

"Kedepannya lo nggak perlu dengerin apapun kata orang tentang gue! Termasuk Reza, lo nggak perlu respon kalo dia sampe berani bilang. Gue...gue pengen lo sama cewek itu, kalo lo emang suka. Lanjutin hidup lo baik-baik! Makasih lo udah balik suka sama gue." Alya melangkah maju, sampai jarak mereka berdua tinggal beberapa senti. "Hidup bahagia, oke. Gue bersyukur pernah suka ke lo. Sampe sekarang pun..."

Rayen membelalakkan mata saat Alya merentangkan tangan dan memeluknya.

"Gue suka sama lo. Selamat tinggal."

Saat menoleh ke belakang, Rayen melihat samar-samar gadis itu terseyum ke arahnya dan sekejap, ia langsung terbangun di kamarnya.

"Alya."

Rayen sadar bahwa ia sudah ada di kamarnya dengan cahaya matahari yang masuk melalui kaca jendelanya. 

"Zika..."

Dengan cepat, ia bangkit dan menyambar kunci mobil serta jaketnya. Saat menyalakan mobil, sialnya bensinnya habis. Rayen langsung keluar dan berlari begitu saja.

"Oh? Akhirnya kita ketemu juga."

Bruk

. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .

Part 23

Nine A.MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang