Bab 10

4 2 0
                                    

Kini, dua orang pria tengah duduk berhadapan di sebuah ruangan. Hanya terdengar suara samar-samar AC dan kicauan burung.

"J-jadi, m-mau apa kesini?" tanya Raya memulai pembicaraan. 

Rayen langsung ke rumah Raya setelah keluar bersama Zika tadi. Dia memang harus minta maaf kepada kakaknya itu. Ini kali pertamanya ia memukul Raya, itu pun karena keegoisannya sendiri. 

Rayen menggaruk belakang kepalanya dan menatap arah lain. "I-itu, kak. Gue..."

Hening kembali. Raya menatap Rayen yang tak kunjung melanjutkan kalimatnya. 

"Gue minta maaf soal kemarin. Nggak harusnya gue mukul lo," ucap Rayen melihat Raya. Matanya melihat wajah bawah cowok itu. Tampak ujung bibir kakaknya itu memang terluka karena pukulannya kemarin.

Ah, gue kebangetan kemarin.

Rayen kembali menatap Raya. Matanya membulat saat kakaknya itu melihatnya dengan mata berkaca-kaca. "Lah, hah? Kenapa? Emang gue mukulnya kenceng banget, ya? Masa sampe gigi lo patah? Kenapa mau nangis gitu?"

"Rayen, lo kok jahat banget sama gue? Padahal gue sering manggil gue adekku tersayang. Tapi lo malah mukul gue. Gue kan sayang sama lo. Bukannya gue ini kakak yang baik? Bukannya lo juga harusnya baik sama gue? Padahal lo pas kecil sering megang tangan gue buat nuntun jalan. Tapi lo malah mukul gue."

'H-hei, kak ken..."

"Gue kan cuma lo nggak nyalahin diri sendiri terus. Gue nggak minta lo buat ngelupain masa lalu, gitu juga tentang Alya. Kita emang nggak bakal bisa lupain dia. Lo pikir, gue, Hanif, Hana apalagi Reza, bisa lupain dia? Nggak. Tapi, gue cuma mau lo ngelangkah maju dan nggak kejebak di masa lalu. Itu bukan salah lo, dek. Gue cuma mau lo tau itu. Kalo lo mau nyalahin orang, salahin aja gue! Gue yang nelepon Alya malem itu dan tanya apa dia tau dimana lo. Andai pas itu gue nggak nelepon dia, dia pasti juga nggak bakal keluar. Salahin gue kalo lo butuh orang buat disalahin. Tapi jangan nyalahin diri sendiri terus. Jangan ngurung lo disangkar yang berduri buat nyalahin diri lo terus!" ucap Raya.

Rayen menatap kakaknya itu. Baru kali ini laki-laki itu berbicara serius seperti itu padanya. Bahkan sebelumnya, saat ia mengurung diri di kamar setelah kepergian Alya, Raya terus-terusan bicara ngawur dan kocak seperti biasanya. Mungkin kali ini, ia memang membuat kakaknya itu khawatir.

"Apa lo khawatir sama gue?" tanya Rayen.

"Iya, lah. Jelas, kan? Lo itu adek gue. Gue udah nahan buat nggak pidato. Setelah Alya pergi, lo juga terus-terusan ngurung diri di kamar. Gue juga tau lo terus liatin jam yang Alya kasih ke lo. Lo bo'ong kalau lo malem tidur. Lo nangis. Ya, kan? Gue liat, Ray. Gue terus liat lo dari pintu. Mama papa juga pas itu khawatir. Pas itu, tujuan utama gue ngehibur lo. Tapi, sekarang lo terus-terusan masang senyum padahal lo harusnya nggak senyum. Lo inget pas Reza sama lo nggak sengaja ketemu di jalan dulu? Dia ngatain lo, tapi lo malah senyum. Gue tau apa yang lo pikirin pas itu. 'Gue salah, gue yang salah. Jadi gue nggak boleh bantah' gitu, kan?"

"Haha. Apa? Gue yang bikin situasinya gini. Gue yang nerima tawaran Dipta dulu. Gue yang jadian sama Alya. Gue yang..."

Raya berdiri dari tempatnya dan duduk di sofa samping adiknya itu.

"Udah!" Raya memeluk adiknya itu.

"Gue yang bikin Alya pergi, kak." Rayen meneteskan air matanya. 

Raya menepuk punggung Rayen. "Gue udah bilang, kan? Butuh berapa kali lagi? Jangan nyalahin diri sendiri terus!"

"A-andai gue dulu lebih peduli ke dia. Mung..." Rayen menumpahkan tangisnya di baju kakaknya itu. Sudah berapa lama ia tidak menangis? Ah, dia juga tidak tahu. Tapi, rasanya kali ini dadanya kembali sesak mengingat Alya yang jatuh dari tangga dan mengucapkan kalimat terakhir padanya.

Nine A.MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang