Bab 20

4 1 0
                                    

"Heh, Zik. Gue mau keluar dulu. Lo sekalian jaga rumah oke?" ujar Sesil menyisir rambutnya di depan cermin.

"Hmm," jawab Zika bergumam. "Aduh pala gue napa jadi sakit gini, sih?"

"Ada obat di kotak. Lo minum aja kalau butuh!"

"Ya, ya makasih. Lo emang sahabat terbaik gue."

"Awas aja lo berantakin rumah! Gue tinggal dulu."

"Iya. Hati-hati!"

"Ye."

Sesil pun keluar dari rumah. Zika turun dari ranjang dengan malas dan berjalan menuju kotak P3K milik Sesil sambil memegangi kepalanya.

"Mana obat sakit kepala nih?" gumamnya berjinjit untuk melihat isi kotak tersebut. Sekitar tiga menit ia berjinjit mencari obat itu.

"Terserah. Nggak nemu," kesalnya kembali ke kasur dan merebahkan dirinya.

"Ah, nih kepala." Ia menempelkan telapak tangannya ke dahi. "Tidur, deh."

Zika mulai memejamkan matanya seiring dengan matanya yang bertambah panas.

***
Matahari mulai terlihat. Rayen tengah bersiap pergi menuju kantornya. Ia sarapan dengan makanan yang telah ditinggalkan Zika kemarin. 

Cowok itu melirik ke arah ponsel yang ia letakkan di atas meja.  

Dia kok belum ngasih kabar gue, ya?

Rayen segera menyudahi kegiatan sarapannya dan meletakkan piringnya di tempat cuci piring. Baru saja mau beranjak pergi, ia mengurungkan niatnya itu dan menyalakan keran air dan mencuci piring.

"Sip," ujarnya mengeringkan tangan dan mengambil tas kerjanya yang tergeletak di sofa lalu keluar.

Rayen masuk ke dalam mobil dan langsung pergi menuju kantornya. Tangannya mengambil hape miliknya dan menelepon nomor Zika.

Suara nada menyambung terus berbunyi. "Dia kemana? Udah seharian padahal."

Cowok itu kembali menelepon Zika. Tapi hasilnya tetap sama saja. 

"Raya tau nggak ya?"

Rayen ganti menelepon kakaknya itu.

"Halo, b..."

"TUMBEN ADEK GUE YANG JELEK INI NELEPON GUE DULU."

Rayen menjauhkan ponselnya dari telinga. Bisa tuli dia mendengar suara keras Raya.

"Gue cuma mau nanya. Lo tau Zika dimana nggak?"

"Zika? Mana gue tau. Gue bukan pengawalnya kan?"

"Hmm. Yaudah, deh. Gue tutup kal... "

"Hm, apa di tempat kerjanya yang dulu ya? Secara kan dia udah nggak kerja sama lo."

"Tempat kerja? Dimana?"

"Ada cafe deket kantor lo juga. Pokoknya yang catnya warna putih. Seinget gue gitu."

"Oke. Makasih."

"Upah gue ap..."

Tut

Rayen mematikan sambungan telepon sepihak dan membawa mobilnya melaju ke cafe yang disebutkan Raya tadi.

Tak butuh waktu lama baginya untuk sampai disana. Rayen keluar dari mobil dan melangkah masuk ke dalam cafe.

"Selamat datang," ujar seorang laki-laki.

Rayen celingak-celinguk melihat seisi cafe. 

"Ee, ada yang bisa dibantu?" tanya laki-laki tadi pada cowok itu.

Nine A.MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang