Rayen membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi melewati jalan yang ramai di sore itu. Jas yang tadi ia pakai tidak lagi melekat di tubuh laki-laki itu. Ia hanya memakai kemeja. Ia sudah tidak tahan terus-terusan merasakan sesak di dadanya mengingat kalimat Fama tadi.
Lo itu pembunuh. Alya juga pasti seneng cowok yang manfaatin perasaannya, mati.
Ia membawa mobilnya ke sebuah tempat yang harus ia datangi sekarang. Rayen mengusap air matanya kasar dan menambah kecepatan mobilnya.
Sekitar dua puluh menit, akhirnya Rayen sampai di sebuah tempat. Laki-laki itu memarkirkan mobilnya di pinggir jalan dan turun dari mobil. Di tatapnya tempat yang ia datangi dengan mata yang memerah dan sedikit sembab. Perlahan, cowok itu melangkah masuk ke dalam tempat tersebut.
Ah, udah berapa bulan gue nggak kesini?
Rayen melangkah sambil menatap datar batu-batu nisan di tempat yang ia lewati. Setelah beberapa langkah cowok itu melangkahkan kaki, ia pun berhenti di sebuah batu nisan berwarna putih. Rayen menatap gundukan tanah itu, tak menunjukkan ekspresi apapun. Hingga tak terasa, satu tetes air mata turun dari mata laki-laki itu. Ia berjongkok dan menyentuh batu nisan tersebut. Nama Alya tertera jelas di batu nisan itu.
"Gue udah lama nggak kesini, ya?" ujar Rayen bermonolog.
"Al, lo...bener-bener nggak bisa bangun lagi?" tanya cowok itu mengepalkan tangan menahan air mata. "Nggak, ya?"
Bersamaan dengan kalimat Rayen yang selesai, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya.
"Tau nggak, gue ketemu sama seorang cewek beberapa minggu lalu. Dia bilang suka ke gue. Haha," tawa cowok itu hambar.
"Dia bilang suka senyum gue. Sekias, gue keinget sama lo. Tapi, ternyata kalian emang nggak sama."
Suasana disana berubah menjadi sunyi dan hanya suara hujan deras yang jatuh terdengar mendominasi.
"Kenapa...lo nyuruh gue senyum terus?" tanya cowok itu memasang senyum. Bibir laki=laki itu tampak bergetar. "Lo nyuruh gue buat tetep senyum apapun yang terjadi. Masalahnya, apa gue pantes buat tetep senyum abis lo pergi? Dunia seolah berubah menjadi kelabu. Gue senyum, tanpa alasan dan sebab yang jelas."
Sebelum pagi itu, gue tabrakan sama seseorang. Walau sekejap, gue bisa melihat warna lagi. Walau sekejap, gue bisa bernafas lega, nggak sesak lagi. Cinta pandangan pertama pukul 9 malam dulu. Akankah berakhir pada pukul 9 pagi itu?
Dadanya terasa nyeri kembali. Ia menitikkan air mata berbarengan dengan air hujan yang menetes. Entah mana air hujan dan mana air matanya. "Gue nggak mau ngakui kalau gue tertarik sama cewek itu. Tapi, apa gue pantes sama dia? Gue selalu nyakitin lo. Apa gue pantes kalau gue nemuin cewek yang nanti gantiin posisi lo dihati gue? Tapi, gue juga pengen buka hati ke dia. Gue nyoba terbuka dikit sama dia. Entah kenapa, pas dia bilang kalau dia suka, kalimatnya bener-bener tulus."
"Tapi hari ini, gue ngulang lagi. Gue udah ngomong kasar ke dia. Mungkin dia juga bakal nampar gue. Tapi, gue bener-bener ngerasa nggak pantes dicintai siapa-siapa."
"Semua orang yang deket sama lo juga benci sama gue. Gue tau mereka nggak salah. Gue emang salah." Laki-laki itu sesenggukan di tempatnya terduduk.
"Gue harus apa?"
Beberapa menit berlalu, namun hujan tak kunjung reda. Rayen menatap tulisan nama di batu nisan itu. "Gue harus pulang sekarang. Semua pasti lagi khawatir."
Cowok itu berdiri dari duduknya dan menatap kuburan tersebut. "Gue pergi."
Rayen pun berjalan keluar dari tempat pemakaman dan masuk ke dalam mobil. Terserah kursi mobilnya mau basah atau tidak.
Ia pun melajukan mobilnya perlahan meninggalkan tempat itu. Selama perjalanan, kalimat Reza dan Fama terus berdengung di telinganya. Pandangannya terhenti pada seekor anak kucing yang ada di pinggir jembatan yang dilaluinya. Ia lalu menepi ke sana. Untungnya saat itu jalan sedang sepi, walau masih ada beberapa kendaraan yang lewat.
Rayen turun dari kendaraan dan berjalan menghampiri anak kucing tersebut.
Apa abis dibuang?
Rayen menoleh ke arah lain dan mendapati sebuah kardus yang ternyata berisikan beberapa anak kucing. Cowok itu pun mengambil kucing yang dia lihat pertama atdi dan memasukkannya ke dalam kardus, lalu menaruhnya dengan kucing lain dan menaruh mereka di sisi jembatan yang teduh.
Ia menatap kucing-kucing itu sebentar dan berbalik.
Gue harus cepet pulang. Mereka pasti nyariin.
Langkanya terhenti di tengah-tengah jembatan. Cowok itu menoleh ke air sungai yang tetap tenang walau hujan deras mengguyur.
"Mereka? Mereka siapa?" gumamnya. Ia membiarkan tubuhnya yang sudah basah menjadi lebih basah karena hujan. Cowok itu menyentuh pinggiran jembatan yang ada di sana dan menatap sungai itu.
"Siapa yang nungguin gue?"
Ucapannya pada Zika tadi terlintas di otaknya. Kejadian saat ia memukul Raya juga tiba-tiba terlintas.
Lo tau? Di mata gue, lo yang bikin Alya nggak ada.
Gue mikir, apa lo pantes buat dicintai?
Lo itu yang buat Alya jadi gini. Semua hal yang dialami Alya itu salah lo.
Lo yang pantes mati, bukan sahabat gue.
Kalimat Reza dan Fama bergantian muncul di telinganya.
"Ah, kayaknya dia bener. Gue emang nggak harusnya hidup."
Beberapa menit sebelum itu, di tempat yang berbeda, seorang gadis menatap ponselnya terus dengan kening berkerut.
"NIH COWOK BIKIN GUE STRES SUMPAH," teriak gadis itu tiba-tiba.
Semua mata pengunjung yang ada disana otomatis menoleh ke arah gadis itu.
"Hei, hei Zik. Ngapain lo?" tanya Gabin menghampiri gadis itu.
"Minta ditampar nih orang." Zika tidak mengindahkan pertanyaan cowok itu dan melewatinya dengan langkah besar dan wajah sebalnya.
"Kenapa tuh anak?" gumam Gabin.
"Berantem sama pacarnya kali," jawab Gabi yang tiba-tiba muncul.
"Heh, ngagetin aja lo," kaget Gabin. "Eh apa? Si Zika punya pacar?"
Di luar, Zika melangkah dengan kesal ingin kembali ke rumah.
"Nih hujan juga kenapa deres banget?" sebalnya mendongak melihat payung yang dipegangnya. Untung saja tadi saat ia pergi ke cafe Gabi untuk mampir, ia membawa payung.
"Apaan sih tuh orang? Plin plan amat jadi orang. Padahal kemarin juga baru gitu. Eh, malah tadi bilang gitu. Nyebelin amat heran," gerutunya terus melangkah.
Ia juga melihat layar ponselnya beberapa kali untuk melihat apakah cowok itu mengirim pesan atau meneleponnya. Tapi nihil. Tidak ada satupun. Zika menggaruk belakang kepalanya sebal.
Tatapannya terhenti pada seseorang yang tengah berdiri tak memakai payung di pinggir jembatan, padahal malam itu hujan sedang turun dengan derasnya.
"Nggak kedingin...heh?"
Cewek itu menyatuhkan alisnya saat melihat sosok pria itu.
"Rayen? Ngap..." Gadis itu membulatkan matanya sempurna saat melihat Rayen menaiki pembatas jembatan itu.
Zika langsung melepas pegangannya pada payung dan berlari ke arah pintu itu. "WOY, LO NGAPAIN?"
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Part 15
KAMU SEDANG MEMBACA
Nine A.M
Teen Fiction(tamat) "Lo nyuruh gue buat tetep senyum apapun yang terjadi. Masalahnya, apa gue pantes buat tetep senyum abis lo pergi? Dunia seolah berubah menjadi kelabu. Gue senyum,tanpa alasan dan sebab yang jelas. Sebelum, pagi itu gue tabrakan sama seseoran...