Bagian 09

2.4K 250 16
                                    

Jangan lupa votement ya, gratis kok gak pake biaya.














Juna bergegas pulang, barang kali Tena sudah pulang duluan. Tetapi nihil, istrinya tidak pulang ke rumah. Juna bingung harus mencarinya ke mana lagi. Teman-teman terdekat Tena bahkan tidak ada yang tahu ke mana ia pergi.

"Ten, makan dulu," ajak Lucas, Tena sedang menonton series BL di komputer Lucas.

"Iya," jawabnya lalu mengekor di belakang Lucas.

"Sini, Sayang ... makan dulu," ujar Kayla.

Tena mengangguk dan tersenyum, "Iya, Tante."

Kayla menyendok makanan ke piring Lucas, lalu Tena. "Jangan panggil tante, panggil mami aja."

"Iya ... Mami," cicit Tena.

Mereka pun  makan siang bertiga dengan tenang. Pikiran Tena bercabang, ia memikirkan Juna, sedang apa pria itu? Mencarinya atau masih bersama Jannah? Entahlah, menyebut nama itu dalam hati saja sudah membuat Tena kesal.

Usai makan siang, Tena pamit pulang. Lucas mengantarnya sampai terminal saja karena Tena menolak diantar sampai rumah, bisa-bisa Juna salah paham.

Setelah satu jam lebih naik angkot, Tena akhirnya sampai di rumah. Ia melihat mobil suaminya sudah terparkir di depan rumah, menandakan bahwa Juna sudah pulang. Tena langsung masuk ke kamar, Juna sedang berada di kamar mandi.

Saat keluar, Juna kaget melihat istrinya sudah berada di kamar dan membuka abaya yang dikenakannya. Juna yang hanya memakai handuk itu langsung memeluknya, pipi Tena menempel di dada Juna yang tidak memakai baju.

"Kenapa, sih, suka banget bikin panik?" tanyanya sembari mengelus rambut sang istri.

"Kamu gak nyariin?"

"Nyariin lah, teman-teman kamu gak ada yang tahu kamu di mana, hape kamu juga gak bisa dilacak dan dihubungin, tadinya aku mau lanjut nyari abis salat ... ternyata kamu udah pulang."

"Oh," ujar Tena singkat dan mendorong Juna agar pelukan terlepas.

"Kamu ke mana aja seharian? Kata beberapa santri, kamu ninggalin pesantren sambil nangis. Itu bisa menggiring opini yang nggak-nggak tentang hubungan kita."

"Habisnya kamu bentak-bentak aku!" ujar Tena kesal.

"Aku gak ngebenta--"

"Suara kamu nyaring, nadanya kayak ngebentak!" sela Tena tak mau kalah.

"Tapi aku gak niat bentak kamu."

"Terserah ... aku capek! Kayaknya aku gak bisa ngikutin gaya hidup Ustadz yang agamis, mending Ustadz nikah aja sama Jannah. Dia, kan, lulusan pondok, gak kaya aku yang cuma tamatan SMA, suka nonton homo pula. Tapi kalau mau nikah sama dia, Ustadz ceraiin aku dulu, aku gak mau dimadu dan jadi istri pertama yang tersakiti kaya di sinetron!"

"Astaghfirullahalazhiim ...." Juna mendengkus kasar dan menarik Tena ke pelukannya lagi. "Udah, aku gak mau debat lagi. Aku minta maaf banget atas kesalahanku yang udah bikin kamu sakit hati. Dua kali kita berantem dan kamu selalu minta cerai ... apa aku segagal itu jadi suami? Apa kamu segitu gak bahagianya sama aku? Aku gak bisa lepasin kamu, Tena. Aku udah janji sama diri sendiri, kamu itu Istriku satu-satunya. Gak ada kedua, ketiga, atau yang lainnya," tutur Juna panjang lebar.

"Justru karena Ustadz terlalu perfect dan aku yang cuma pendosa akut ini, kita gak cocok, beda level."

"Semua manusia itu pendosa dan gak pernah luput dari yang namanya khilaf, aku--"

"Nah, berarti gak menutup kemungkinan kamu bakal poligami, kan?" sela Tena.

"Nggaaak, Sayang ... aku gak mau poligami," gerutu Juna.

Ustadz for Fujoshi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang