Bagian 16

2.3K 249 65
                                    

Jangan lupa votement lagiiii!!









Tena mondar-mandir di pekarangan rumah, enam orang bodyguard berjaga di depan rumah dan kiri-kanan gerbang. Mereka memperhatikan gerak-gerik sang nyonya besar yang terlihat gelisah, takut-takut kalau Tena tiba-tiba ingin melahirkan karena usia kandungannya sudah sembilan bulan lebih delapan hari.

Melihat bodyguard yang begitu serius dengan wajah kaku, Tena mengajak mereka semua masuk dan beristirahat. Kebetulan ada bi Sumi dan bi Nuri yang sedang beres-beres rumah. Kalau hanya dia sendiri, Tena tidak berani mengajak para bodyguard itu masuk.

Bel rumah berbunyi, Tena terlalu malas untuk membuka pintu. Ia menyuruh salah satu bodyguard untuk melihat siapa yang datang.

"Katanya keluarga Nyonya," kata salah satu bodyguard, Nasya kembali datang dan kali ini ia bersama Rama.

Tena menghela napas kasar. "Suruh pulang aja," ujarnya lalu beranjak hendak ke kamar.

"Tapi, Nya ... katanya ada hal penting yang mau dibicarakan."

Tena berdecak kesal, ia melangkah malas ke pintu utama. Mama dan papa tirinya berdiri di depan gerbang karena bodyguard tidak mengizinkan mereka masuk sebelum Tena memberi izin.

"Mau apa lagi?" tanya Tena begitu sampai di depan kedua orang tuanya.

"Mama sama Papa mau bicara sama kamu," ujar Nasya.

"Ngomong aja," balas Tena ketus.

"Ini masalah penting, kita harus bicara di dalam," ujar Rama.

Tena tersenyum tipis sambil me-rolling matanya malas. "Suamiku gak ada di rumah, orang lain dilarang masuk tanpa seizin dia."

"Orang lain? Kami ini orang tua kamu, Tena!" geram Nasya.

"Laki-laki di sebelah Mama itu gak pernah nganggap aku anaknya, so, kalian orang asing."

"Ya, sudah." Rama memegang sebuah map hijau dan memberikannya pada Tena. "Tanda tangani ini," lanjutnya.

Tena mengambil map tersebut dan membaca isinya. Di sana terdapat sertifikat rumah atas nama Tena, yakni rumah yang sekarang Nasya dan Rama tinggali. Rumah tersebut awalnya milik Jibran, ayah kandung Tena. Ia memindah nama sertifikat tersebut menjadi atas nama Tena sebelum dia meninggal. Di atas sertifikat tersebut, terdapat surat pengalihan kepemilikan. Rumah tersebut akan dipindah nama atas nama Nasya jika Tena setuju.

"Saya gak mau tanda tangan, enak aja," ujar Tena.

"Jangan serakah, Tena. Kamu sudah punya kehidupan mewah dari suami kamu, apa susahnya ngasih rumah itu buat Mama?!"

"Nggak! Rumah itu pemberian Papa buat saya dan sampai kapanpun gak akan saya kasih ke orang lain. Terima kasih udah ngantar sertifikatnya ke sini, tadinya mau ngambil sendiri. Dan surat ini ...." Tena mengambil surat pengalihan kepemilikan tersebut dan meremasnya. "Gak penting."

"Tena!!" bentak Rama.

"Rumah itu milik saya, kalian gak ada hak. Karena saya berbaik hati, saya masih ngizinin kalian tinggal di sana. Kalau kalian macam-macam, saya gak akan segan-segan ngusir kalian." Tena berbalik dan bergegas masuk ke dalam rumah.

"Anak kurang ajar!!" pekik Nasya, namun Tena tidak hirau.

---+++---

Waktu kelahiran sudah semakin dekat, Juna mengosongkan semua jadwal beberapa hari terakhir. Sejak pagi, Tena sudah merasa gerakan janinnya sangat aktif dan perutnya mulai sakit. Siangnya, Juna membawanya ke rumah sakit. Tena mondar-mandir dalam ruang bersalin, memang masih jauh waktunya, tapi Juna sudah mengantarnya ke rumah sakit karena khawatir.

Ustadz for Fujoshi ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang