Dalapanbelas

410 70 0
                                    

Kalau menurut cerita nenek yang saat itu membacakan sebuah dongeng untukku, peperangan salah satu ungkapan cinta. - Ratna
***

Tubuh Ratna melemah, mau sekuat apa Ratna tetap perempuan.

"Merepotkan sekali!"

"Akhh!" jerit Ratna saat rambut panjangnya di tarik oleh pimpinan penjahat itu.

"Menyerah saja," ejeknya kini kedua tangan Ratna telah di tahan.

"Bahkan dalam mimpimu tidak akan ada ceritanya aku menyerah!" bentak Ratna.

Sebuah tamparan keras mendarat pada pipinya yang memang sudah terdapat lebam dari pukulan mereka sebelumnya.

Ratna terkekeh kecil, sudah benar-benar buangankah dirinya kali ini.

"Raja mana yang menyuruhmu, raja yang pengecut karena takut kalah atau raja yang tertolak cintanya karena Putri mahkota?" sarkas Ratna.

"Bawa dia ke atas batu!" titah si pemimpin, rahangnya mengeras. Jadi, benar dugaannya, terlihat sepele sekali masalah di jaman ini.

Ratna dipaksa untuk berjalan ke atas, tangannya terus-menerus ditarik. Mau berusaha menahan bagaimanapun tubuhnya yang kecil dibanding mereka, langsung terseret.

Saat tiba di batu yang lebih besar dan begitu tinggi, bisa Ratna lihat jika jatuhnya air di sana sangat dalam. Berbeda jauh dengan yang ada di masa depan yang penuh dengan bebatuan, pemandangan kali ini seperti sumur saja.

"Bagaimana? Kau masih mau bersombong nyai!" ucapan si pemimpin yang berada tak jauh dari batu besar itu.

Sekali lagi mata Ratna melirik ke bawah, apa dia harus merasakan mati dia kali? Tidak-tidak, Ratna tidak boleh mati.

"Tidak ada yang menginginkanku pulang dari awal, tapi tidak dengan cara seperti ini," batin ratna.

Air mata Ratna jatuh dengan angkuhnya, hal ini yang Ratna benci, air mata membuatnya merasa lemah. Namun, tidak bisa dipungkiri jika kali ini dirinya memang lemah.

Ratna sadari jika dirinya memang tidak bisa apa-apa tanpa Kusumahdinata. Kehadiran laki-laki itu berhasil masuk di dalam hatinya, tapi dengan egoisnya Ratna memaksa untuk pulang.

"Untuk apa dirimu menangis nyai! Kemana ke sombonganmu tadi?" tawa meledek terdengar dari kedua mulut penjahat yang masih menahan kedua tangan Ratna.

"Cepat bunuh aku, bukankah itu keinginan kalian?" ujar Ratna. Dirinya benar-benar tidak bisa mengontrol laju air matanya yang terus meluruh.

"Cepat bu-"

"Nyimas!" Tubuh Ratna mematung, kalimatnya terhenti. Dia mengenal suara itu.

Salah satu penjahat yang tadinya memegang tangan Ratna langsung memasang kuda-kuda, membiarkan temannya menjaga Ratna agar tidak kabur.

Di sana, Aryan berdiri dengan tegapnya, napasnya yang tersengal-sengal tidak mengurangi sirat emosi di matanya.

Ratna khawatir, bagaimana jika Aryan nanti tidak bisa melawan mereka, lalu di mana Kusumahdinata?

"Lepas!" bentak Ratna yang mencoba memberontak.

Matanya menatap perkelahian Aryan, dia tidak mungkin membiarkannya melawan mereka sendiri. Meskipun Ratna akui jika Aryan hebat, tapi tenaganya pasti juga terkuras karena mencari dirinya.

Mulutnya saja yang pedas, tapi dirinya begitu peduli. Setidaknya Ratna akan menyimpan kesenangannya kali ini, dirinya benar benar harus membantu laki-laki tersebut.

Merasa teman-temannya tidak sebanding dengan kekuatan Aryan, pemimpin mereka meniupkan sebuah peluit yang begitu nyaring. Tidak lama dari itu beberapa orang berpakaian hitam yang sama, datang.

Kali ini Aryan benar-benar butuh bantuan, medan yang kurang luas dan musuh yang makin bertambah membuatnya kualahan.

Ratna mengigit tangan penjahat yang menjaganya, membuat orang tersebut merintih dan melepaskan cekalannya. Merasa tawanannya kabur, dia mencoba mencekamnya lagi.

Namun, Ratna cerdas, segera mengambil sebongkah batu dan memukulnya ke kepala musuh, membuat orang tersebut terhuyung dan jatuh ke bawah.

Ratna menutup mulutnya, tubuhnya bergetar, kini faktanya dia membunuh seseorang. Rintihan dari Aryan kembali menyadarkan Ratna jika dirinya berada di jaman yang polisi saja belum ada.

Segera Ratna melangkah turun, tapi lagi-lagi dua orang mencegatnya. Otaknya memutar, mencari cara lagi, matanya yang mencari batu lain tetapi nihil.

"Mencari batu nyai?"

"Tidak, tanganku sudah cukup melawan kalian, tapi sepertinya kalian begitu pengecut harus melawan perempuan dengan senjata," ucap Ratna.

Keduanya tertawa dan membuang pedang masing-masing.

"Ah, sepertinya kalian memang diciptakan untuk menjadi penjahat," ujar Ratna yang langsung memasang kuda-kuda.

Perkelahian tidak terelakkan, sekuat tenaga Ratna bertahan begitu juga Aryan. Di dalam benak Aryan hanya bisa berdoa agar kakangnya cepat menemukannya.

Saat mereka di serang, tidak lama Kusumahdinata datang dan sudah menemukan semuanya tergeletak pingsan. Dengan cepat Kusumahdinata dan Aryan mencari kereta yang ditumpangi oleh Ratna.

Pertengahan jalan mereka melihat kereta tersebut di tepi jurang, kakak beradik itu tidak bodoh. Para penculik itu pasti memanfaatkan keberadaan dua air terjun yang berada di satu kawasan itu.

Mereka memutuskan untuk berpencar setelah mengirimkan surat lewat seekor burung yang akan disampaikan ke kerajaan Sumedang Larang.

Jarak kedua air terjun tersebut memang tidak jauh, tapi cukup memakan sedikit waktu dan Aryan benar-benar berdoa jika kakangnya itu lekas datang.

Gemuruh langkah kaki terdengar, suara pacuan kuda dan teriakan Mahapatih juga terdengar di telinga Aryan. Dirinya bernapas lega, prajurit dari Sumedang Larang datang.

"Aaaa!" teriak Ratna saat salah satu penjahat yang dia lawan berhasil memukul mundur dirinya.

"Nyimas!" teriak Aryan dan Mahapatih saat melihat tubuh Ratna berada di tepi batu.

Dengan cepat Ratna menyeimbangkan dirinya, tubuhnya benar-benar begetar.

"Apa kisahnya memang selesai sampai di sini dan aku kembali?" lirih Ratna, dirinya menyerah, jatuh pun tidak peduli.

Ratna benar-benar lelah, di tambah lagi penjahat tersebut sudah akan sabetan pedangnya.

"Belum selesai," mata Ratna terbuka mendengar bisikan lirih di telinganya, familiar, itu yang dirasakan oleh Ratna.

Suara Kusumahdinata, tetapi di mana dia?

"Apa yang belum selesai? Bahkan mautku sudah berada di depan mata, sudah waktunya aku pulang bukan?" mata Ratna kembali tertutup, merasakan dirinya yang akan jatuh ke bawah.

"Pernikahan kita."

Suara keras air terdengar di telinga Aryan dan Mahapatih. Tubuh Ratna yang terluka terasa perih, jatuhnya air terjun mendorong dirinya semakin jauh tenggelam.

Napas Ratna sendiri sudah sesak, tangannya yang mencoba menggapai dan matanya yang terbuka hanya memandang gelapnya air.

"Ratna!" teriakan itu? Keza!

Beberapa tangisan terdengar juga di telinganya, suara asing yang sudah lama tidak Ratna dengar.

"Mama? Papa?" ucap Ratna yang masih terperangah.

Banyak orang yang Ratna kenal, mereka juga masih berada di kawasan air terjun.

Rasanya begitu haru melihat mereka semua, bahkan air mata Ratna sudah kembali meluncur. Isak tangis tidak bisa dia bendung, begitu pula dengan anggota keluarga dan teman-temannya.

Dia kembali, Ratna kembali ke asalnya. Tidak ada korban peperangan yang terjadi dan tidak ada luka di tubuhnya, termasuk rasa sakitnya.

Himbar BuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang