Opatlikur

408 67 0
                                    

Jalani sebaik mungkin apa yang di takdirkan sekarang, bagi Ratna ini kehidupan baru yang benar-benar sempurna.
****
Pusing, itu yang di rasakan oleh Ratna. Matanya menatap beberapa surat dari rakyat dan semua itu di penuhi dengan isian demo. Musim kemarau sudah datang, hal itu membuat beberapa ladang kekeringan dan menyebabkan gagal panen. Mungkin pasar yang saat itu sepi juga karena masalah ini.

Hasil panen yang tidak memenuhi target membuat beberapa petani kualahan. Belum lagi di salah satu daerah yang kesulitan mendapatkan air, memikirkan ini semua membuat kepala Ratna ingin pecah.

Hawa yang panas semakin membuat Ratna tidak bisa berpikir. Mau menyampaikan pendapat dan ingin mencari solusi dengan seseorang pun Kusumahdinata tidak ada, ya keduanya di larang ketemu untuk sementara waktu.

"Tari, siapkan kereta untuk aku pergi ke desa!" titah Ratna yang langsung di laksanakan oleh Tari.

Dirinya harus bisa menjadi pemimpin yang bertanggung jawab, yang pasti ini tidak akan mudah seperti menjadi ketua kelas ataupun ketua OSIS. Ingat status Ratna adalah putri mahkota, pewaris tahta Sumedang Larang selanjutnya. Beruntung otaknya bisa di andalkan.

Setelah berganti pakaian, Ratna di giring oleh beberapa dayang menuju kereta yang di siapkan Tari tadi. Raja memberikan kebebasan untuk Ratna belajar terlebih dahulu, mau dari mana sampai di mana pun Raja tidak menuntut.

"Hati-hati," pesan Sinta yang mengantarkan Ratna.

Kereta melaju, kali ini Ratna menyuruh Tari menemaninya di dalam. Seperti biasa, Tari akan menolak mentah-mentah sebelum luluh karena Ratna terus memaksa. Hanya Tari, yang bisa menolak Ratna.

"Jika Baginda tau aku akan di bunuh," ujar Tari yang sedari tadi memainkan tangannya, dia gugup dan takut.

"Dan aku tidak akan membiarkan Raja membunuh sahabatku," tutur Ratna.

Ratna sama sekali tidak menanggap Tari sebagai dayang atau pembantu, baginya Tari adalah sahabatnya. Jika di masa depan dia punya Keza, maka sekarang dirinya punya Tari.

"Jangan takut, aku bertindak saat kita hanya berdua, tidak akan ada yang berani menghukum mu," ujar Ratna dengan senyuman.

"Jangan sungkan juga untuk mengajariku, kamu tahu jika aku bukan sepenuhnya putri mahkota yang asli, aku masih butuh bimbingan darimu," pesan Ratna.

Ada rasa hangat di hati Tari, tidak salah pilih dia menjadi dayang pribadi Ratna menggantikan ibunya dulu.

"Terima kasih," cetus Tari setelah hening beberapa menit.

"Kembali kasih."

Kereta terhenti setelah sampai tujuan, dengan bantuan Tari, Ratna turun dari sana. Desa yang sedikit jauh dari kota, keadaannya memprihatinkan.

"Kemana penduduk desa?" Monolog Ratna.

"Pengawal! Tolong panggil ketua desa untuk menghadapku!" titah Ratna.

"Sendika, Dewi."

Ratna berjalan menyelusuri jalanan desa yang amat sepi, bersama Tari yang mengekor di belakangnya. Beberapa persawahan dan kebun nampak kering, debu yang di bawa oleh angin rasanya sesak.

Melihat pohon yang cukup besar, Ratna berjalan ke arahnya. Berteduh dari teriknya matahari yang mengelupas kulit.

Dari kejauhan dirinya bisa lihat seorang laki-laki parubaya yang berjalan ke arahnya dengan dua prajurit yang dirinya suruh tadi.

"Ampun, Dewi. Maaf hamba dan penduduk desa tidak tahu atas kedatangan Dewi," ujarnya.

"Tidak apa-apa, kemana perginya penduduk desa?" tanya Ratna.

"Beberapa dari mereka berada di dalam rumah dan beberapa berada di balai desa, Dewi."

"Ada apa di sana? Mengapa mereka tidak keluar?"

"Ampun Dewi, kami terkena wabah yang tidak tahu asal muasalnya dari mana, jadi para penduduk takut untuk keluar. Di tambah lagi, kekeringan yang menimpa kami, membuat bahan pokok makanan menipis, Dewi."

Ratna mendengarkan penjelasan orang itu dengan seksama. Suaranya begitu menyayat hati Ratna, dirinya makan enak di istana, tidak kepanasan, tapi ternyata banyak desa yang memerlukan bantuan. Pemimpin seperti apa Ratna yang seru-seruan masak di dapur tanpa tahu kondisi di luar.

"Antar aku ke balai desa!"

"Baik, Dewi."

Ratna dan rombongan mengikuti ketua desa tersebut. Tari yang ingin memayungi Ratna agar tidak kepanasan, di tolak oleh gadis itu.

"Tidak sopan, ada orang yang lebih tua dari kita kepanasan, kita malah berteduh, aku tidak apa-apa," ujar Ratna.

"Maaf, Dewi."

Dari kejauhan nampak balai desa dengan beberapa orang yang tidur di luar, begitu juga anak-anak. Bahkan ada beberapa bayi yang juga ada di sana.

"Permisi," ujar Ratna ketika sampai.

Ketua desa membangunkan mereka, tapi di cegah oleh Ratna.

"Biarkan yang tidur tetap tidur."

Ketua desa mengiyakan, beberapa dari mereka yang bangun langsung berlutut di depan Ratna.

"Ah, aku ingin melihat keadaan kalian, apa boleh aku memeriksa?" tanya Ratna.

Penduduk di sana terharu mendengar penuturan Ratna, padahal menurut Ratna itu bukan apa-apa, tapi dirinya sadar. Sekecil apa bantuan kita untuk mereka yang membutuhkan, hal itu bisa di katakan besar bagi mereka.

Ratna langsung memeriksa keadaan gadis kecil di hadapannya, tangannya menyentuh dahi gadis tersebut, panas.

"Boleh, buka mulutmu manis?" Gadis kecil itu menurut dan Ratna bisa melihat lidahnya begitu putih.

"Apa ada sumber air di sini?" tanya Ratna, tapi tidak ada yang menjawab.

"Ada Dewi, tapi...."

Kotor, satu kata yang muncul di otak Ratna ketika melihat kendi air yang mereka simpan. Bahkan beberapanya ada jentik-jentik, ya tuhan, bagaimana bisa mereka meminum air seperti ini.

"Tari, suruh prajurit untuk mengumpulkan air minum sebanyak-banyaknya dan buang semua air di sini, kirim dua prajurit untuk kembali dan membawa beberapa makanan ke mari dan juga bahan obat jika ada!"

"Sendika, Dewi," ujar Tari yang langsung pergi.

Ratna kembali memeriksa penduduk, gejala yang mereka alami sama, sayangnya paling banyak anak-anak yang terkena.

"Kenapa kalian baru mengirim surat ke istana?" tanya Ratna.

"Kami takut Dewi."

"Tidak ada yang perlu di takutkan, aku akan membantu kalian, jika ada sesuatu tolong kirim surat. Tidak mungkin aku membiarkan rakyatku tersiksa seperti ini," ucap Ratna.

"Baik, Dewi," balas mereka serempak.

Ratna termenung, melihat gejala ini hanya ada kemungkinan mereka terkena gejala tifus. Di masa depan namanya mungkin itu, tapi Ratna tidak tahu nama di jaman ini. Mau bicara pun dirinya takut jika ucapannya mengubah sejarah di masa depan.

"Kalian sudah makan siang? Ada yang bisa membantuku membuat makanan?"

"Biar kami saja, Dewi."

"Tidak, aku akan membantu," kukuh Ratna.

Ratna dan beberapa perempuan di sana sibuk membuat makanan, bahan-bahan yang sedikit membuat mereka harus pintar-pintar menghemat. Bahkan beberapa orang tidak makan demi anak-anak mereka makan.

"Bahan makanan nanti sore mungkin sudah sampai, kalian tidak perlu khawatir," ucap Ratna.

"Terima kasih banyak atas bantuannya Dewi, kami tidak tahu harus bagaimana lagi."

"Tidak masalah, sudah kewajibanku," kata Ratna sembari tersenyum.

.
.
.
Hai, hai, hai!!
Ada cerita apa hari ini? Kalian bosen gak sih sama fiksi sejarah? Btw, aku punya rencana buat revisi cerita sebelah, tapi kurang tahu kapannya karena masih banyak rangka novel yang pingin aku publish.

🤭🤭🤭

Himbar BuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang