Sapuluh

911 120 5
                                    

Datang tak diundang, pergi tak bilang-bilang. Untung bukan setan.
***

Ratna menghindari semua serangan-serangan mereka, tidak sia-sia dia belajar bela diri di sekolah yang lama. Dirinya tidak bisa terus-terusan menghindar seperti ini, tenaganya bisa habis. Peluh membuat beberapa anak rambut Ratna terasa lepek dan awut-awutan.

"Cuma segitu huh?" lantang Ratna yang dirinya sendiri rutuki.

Kenapa mulutnya sama sekali tidak sinkron dengan situasi. Para penjahat kembali menyerang Ratna dan lagi-lagi Ratna kembali menghindar.

"Kalian ingin harta?" tanya Ratna sembari menyekal salah satu pedang dengan selendangnya. Ya, selendang putih yang tersampir di pundaknya kemarin malam.

"Kita ingin nyawamu," balas penjahat itu.

Salah satu penjahat melayangkan pedangnya saat Ratna mematung dengan jawaban penjahat di depannya. Untungnya dengan cepat Ratna menyadari hal itu dan menghindar, membuat beberapa anak rambutnya terpotong.

"Sialan," desis Ratna.

Kakinya yang lecet terasa lebih nyeri, luka-lukanya bertambah, karena melakukan perkelahian di atas batu-batu.

Saat ingin kembali melangkah tak sengaja telapak kakinya menginjak duri membuat Ratna jatuh terduduk. Tidak, tidak sakit, sebab seseorang tiba-tiba menahan tubuhnya. Ratna menoleh cepat ke arah orang itu, wajahnya begitu rupawan, hidungnya mancung dan bulu matanya lentik, tidak seperti perempuan hanya itu membuatnya sempurna. Ekspresi wajahnya yang mengeras sembari menatap para penjahat itu membuat Ratna sadar dan kembali berdiri.

"Terima kasih," ucap Ratna sembari sedikit menjauh.

Laki-laki tersebut sedikit melirik ke arah Ratna, lalu kembali menatap para penjahat, menghampiri adiknya yang berdiri di depannya.

"Putri mahkota baik-baik saja Kang Mas?" tanya adiknya.

Dia hanya mengangguk dan tetap menatap tajam para penjahat. Sementara yang di tatap hanya mengacungkan senjata tajam mereka.

"Siapa yang memerintah kalian?" tanya laki-laki yang menolong Ratna.

Seakan mengerti keadaan para penjahat memilih mundur, adiknya yang ingin mengejar segera di cegah oleh kakaknya. Membiarkan para penjahat melarikan diri.

Ratna hanya diam menatap kedua pria di depannya, seakan menyadari ada yang hilang di pundaknya. Ratna mengedarkan pandangannya mencari selendang putihnya.

"Lain kali jangan bepergian sendiri," ucap seseorang sembari memakaikan selendangnya.

Ratna yang semula membelakangi mereka segera berbalik. Tanganya memegang selendang agar bahunya tak terekspos.

"Ayo saya antar pulang," ucap laki-laki tersebut.

Ratna yang tidak berani menatap kembali wajah laki-laki itu hanya diam. Dirinya bingung harus kembali ke kerajaan atau tetap melanjutkan perjalanan mencari jalan keluar. Agak lama Ratna terdiam dan kedua laki-laki di hadapannya hanya bisa menunggu.

"Tidak," ucap Ratna.

"Kalian saja yang kembali," ucap Ratna kembali, kali ini dirinya mendongak hingga kedua matanya bertubrukan oleh netra laki-laki itu.

"Di sini bukan tempatku."

"Ayo kembali putri," ajak laki-laki itu lagi.

"Kalian yang berada di pasar tadikan? Sudah aku bilang, aku tidak mau kembali," ujar Ratna sembari berbalik.

Himbar BuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang