Aku pernah meminta untuk bertemu dengannya secara jalur takdir, karena pangeran mimpi bisa saja hanya halusinasiku, tapi tuhan mengabulkan itu. - Ratna.
****
"Kamu bisa menarik garisnya ke sini," ujar Ratna kepada laki-laki yang kini berusia 5 tahun.Pangeran Angkawijaya, putra mahkota Sumedang Larang selanjutnya, putra pertama dari Ratna dan Kusumahdinata. Wajahnya rupawan seperti sang ayah, dia juga menuruni beberapa sikap Ratna. Termasuk mata indahnya yang menurun pada putra pertamanya.
"Kamu bisa membaca ini?" tanya Ratna.
"Buah nanas terasa manis," kata Angkawijaya sembari melihat satu kalimat yang ditunjuk oleh Ratna.
"Bagus! Tidak sia-sia kamu menuruni otak pintar Bunda," ucap Ratna dengan terkekeh kecil.
Keduanya berada di taman kerajaan, kini Sumedang Larang sudah bersatu dengan kesultanan Cirebon. Ratna maupun Kusumahdinata berhasil memimpin dengan baik.
"Hari ini bunda memasak?" tanya Angkawijaya.
Ratna terbiasa memasak makanan untuk mereka, tidak sering tapi selalu dirinya sempatkan. Meskipun Kusumahdinata kadang melarang, dirinya tidak peduli. Anak-anaknya harus jatuh cinta dengan masakannya, seperti Ratna jatuh cinta dengan masakan mamanya.
Menurut Ratna tidak ada makanan yang enak selain makanan dari buah tangan Intan. Jika diingat kembali jarang sekali Ratna makan diluar atau sekedar singgah di cafe, masakan Intan nomor satu baginya. Walaupun jarang sekali Intan menghabiskan waktu di rumah, tetapi Ratna pernah merasakan masakannya.
"Tentu, apa kamu ingin cemilan?" tawar Ratna.
"Mauu!"
"Baiklah, kamu tunggu di sini biar ibunda siapkan, tunggu ayah dan adikmu datang," tutur Ratna sembari mengelus surai sang putra.
Wijaya mengangguk patuh, melanjutkan kegiatan belajarnya. Anak itu penurut, begitu menyayangi Ratna. Bukankah bagus jika anak laki-laki memperlakukan ibunya layak ratu? Meskipun kenyataannya Ratna memang ratu.
Asik dengan dunia tulis tiba-tiba tangan mungil menggapai salah satu pensilnya yang berada di meja. Wijaya menoleh dan menemukan sang adik di sana, melihat adiknya dirinya menoleh ke belakang menemukan ayahnya yang sedang berbincang dengan sang paman.
Wijaya memegangi sang adik agar tidak jatuh. Adiknya baru belajar berjalan beberapa minggu yang lalu, tapi tetap saja Wijaya takut jika adiknya itu terluka.
"Jangan buat mainan yang ini, takut melukai matamu," ujar Angkawijaya sembari mengambil pensil dari tangan sang adik.
Namun, yang namanya anak kecil jika dia rasa mainannya diambil akan menangis, begitu pula dengan sang adik. Kusumahdinata yang mendengar tangisan langsung berjalan ke arah Angkawijaya.
"Kenapa dengan Rangga?" tanya Kusumahdinata langsung menggendong anak laki-laki berusia 1 tahun itu.
"Aku takut benda ini melukai matanya," tutur Angkawijaya dengan mengangkat pensil tadi.
"Baiklah, pangeran ayah tidak boleh menangis, pangeran harus kuatkan," kata Kusumahdinata kepada bocah yang berada di gendongnya.
"Aku minta maaf ayahanda," ujar Angkawijaya.
"Tidak apa-apa, wajar jika kamu melindungi adikmu. Kemana Ibunda?" tanya Kusumahdinata sembari duduk di samping tempat duduk Angkawijaya.
"Mengambil cemilan, ibunda juga berpesan agar ayahanda menunggu, ibunda."
Kusumahdinata mengangguk, dirinya menemani Angkawijaya belajar dan Rangga bermain. Sesekali Kusumahdinata menjelaskan dan memberikan tambahan ilmu kepada kedua putranya.
Kusumahdinata memang sibuk dengan urusan kerajaan, tapi dia juga tidak mau waktu bersama anak-anak hilang. Ini adalah keinginan Ratna saat Angkawijaya lahir dulu, jadi Kusumahdinata selalu menyiapkan waktu untuk berkumpul seperti ini.
"Oh, kalian sudah berkumpul," celetuk Ratna, yang diikuti beberapa dayang di belakang dengan membawa berbagai makanan.
Angkawijaya membereskan bukunya, membiarkan dayang-dayang tadi menyajikan makanan dan cemilan.
"Kenapa tidak di meja makan?" tanya Kusumahdinata.
Ratna yang bermain dengan putra keduanya menoleh.
"Bosan," ujarnya.
Kusumahdinata menggeleng, sudah terbiasa dengan ajaibnya sikap Ratna. Di tambah ketika telah melahirkan putranya, sikap istrinya itu bertambah ajaib.
"Baiklah, kita makan siang dulu, setelah itu bermain," putus Kusumahdinata.
Doa di pimpin oleh Kusumahdinata, seusainya mereka menyantap makanan yang telah di sajikan tadi. Meskipun hal ini melenceng dari ajaran kerajaan, tapi Ratna tetaplah Ratna dirinya selalu ingin sesuatu yang beda.
Maupun begitu Ratna masih tau aturan kerajaan, makan pun tidak ada yang membuka suara. Semau-maunya Ratna, mendidik secara tegas masih Ratna lakukan.
Beberapa menit usai makan siang, mereka berlanjut berbincang-bincang masalah kerajaan maupun belajar lebih dalam agama Islam. Tidak diam saja, Angkawijaya pun aktif bertanya kepada ayah dan ibunya.
Sesekali Ratna melontarkan candaan agar suasana tidak terlalu serius. Kusumahdinata tidak sedingin dahulu, laki-laki sedikit demi sedikit berubah menjadi sosok yang lebih terbuka, begitupun dengan Ratna. Sesuai permintaan Kusumahdinata dulu yang menyuruhnya untuk lebih terbuka.
Ratna tidak lagi meminta untuk pergi ke masa depan dan melihat keluarganya. Baginya, setelah melihat mereka semua bersatu itu sudah cukup. Kalaupun dirinya pergi Kusumahdinata tidak akan keberatan, tapi keputusan Ratna sudah final.
Kehidupannya ditakdirkan di masa ini, dirinya harus move on. Ada tanggung jawab yang harus Ratna jalani di sini, lagi pula Ratna yakin keluarganya di masa depan akan baik-baik saja. Kalau pun tuhan menakdirkannya bertemu lagi, Ratna percaya itu akan terjadi.
"Raka!" panggil seorang anak laki-laki dari kejauhan.
Ratna dan Kusumahdinata menoleh, menemukan Arum dan juga Aryan di sana.
"Raka, aku sudah bisa membaca!" ujar anak laki-laki tadi.
"Baguslah, bagaimana kalau besok kita belajar bersama?" tawar Angkawijaya.
"Boleh ibunda?" tanyanya pada Arum.
"Ijin dulu dengan yang mulia, baru ibu mengijinkanmu belajar dengan pangeran," ujar Arum.
"Boleh, Dewi?" Kini anak itu beralih melihat Ratna.
"Boleh dong, lagi pula belajar bersama itu seru," tutur Ratna.
Kusumahdinata mengajak adik, beserta istrinya itu duduk bersama. Anak laki-laki tadi putra dari Aryan dan Arum, Biantara namanya.
Mereka bertiga tinggal di dalam istana sesuai permintaan Ratna juga. Kejadian di pasar dulu membuat Ratna memutuskan hal itu, lagi pula itu memudahkan Kusumahdinata untuk menemui sang adik yang kini menjabat sebagai patih.
Jika bertanya tentang kemana gadis bernama Tari jawabannya adalah, sahabat Ratna itu telah pergi setelah tiga hari sadar. Luka di perutnya cukup dalam dan di masa ini alat-alat medis masih belum sempurna.
Ratna begitu terpuruk atas meninggalnya Tari, bahkan dirinya hampir kembali membuat calon bayinya terluka. Beruntung Kusumahdinata selalu memberi Ratna semangat dan selalu memenangkan Ratna.
Sejak saat itu Ratna tidak memiliki dayang pribadi lagi, masih trauma dengan apa yang terjadi. Terkadang jika ingin bersiap-siap saja dirinya memanggil beberapa dayang ataupun mengerjakan pekerjaan yang diharuskan orang banyak, ya seperti membawa makanan tadi.
Tidak sengaja netra Ratna dan Kusumahdinata bertemu, keduanya melemparkan senyum. Saling mengagumi di dalam hati masing-masing.
Tidak perlu takut apa yang terjadi di kemudian hari, karena Kusumahdinata selalu berada di sampingnya dan dia akan selalu menjadi milik Natanya.
"Apapun yang menjadi takdirku akan menjadi milikku, termasuk kamu."
Selesai
KAMU SEDANG MEMBACA
Himbar Buana
Ficțiune istoricăBisikan yang selalu dia dengar terpampang jelas di matanya hari ini. Dia tidak boleh mati dan tidak akan mati. Ratna terus-menerus mencari jalan keluar, agar bisa menemui sang nenek kembali. Berharap setelah menyelesaikan cerita dirinya bisa kembali...