Tujuh

1K 128 2
                                    

Sudah dua hari sejak dirinya kembali siuman. Ratna kira semua itu hanya mimpi, tapi setelah membuka matanya kembali. Semua tetap sama, orang-orang, pakaian mereka dan juga kerajaan ini.

Mungkinkah dirinya terlempar ke masalalu, atau dirinya bersemayam di dalam tubuh putri yang asli? Berkali-kali Ratna melihat pantulan dirinya, tetap saja sama, ini masih wajahnya.

"Permisi Dewi, Baginda Raja dan Ratu sudah menunggu untuk sarapan. Apa Dewi masih ingin sarapan di kam-"

"Aku akan ke sana, bantu aku bersiap," ucap Ratna.

Selama dua hari dirinya tidak keluar kamar sama sekali. Mungkin dengan jalan-jalan dirinya akan tau tempat ini. Setelah para dayang selesai membantunya, Ratna melihat pantulan dirinya yang belum pernah dia lihat sama sekali.

Rambut di gerai dengan beberapa aksesoris. Make up yang natural, entah di jaman ini orang-orang menyebutnya apa, tapi ini seperti make up. Mungkin, setelah dirinya kembali, Ratna bisa mencoba untuk belajar menjadi feminim.

Dayang yang tadi membantunya, mengantarkannya ke tempat perjamuan. Di sana sudah ada Raja dan Ratu yang menunggunya.

"Kemarilah Nyimas," ucap wanita yang pertama kali Ratna lihat.

Ratna berjalan mendekat dan menurut di saat wanita itu menyuruhnya duduk.

"Bagaimana dengan keadaanmu?" tanya Ratu.

"Ah, sedikit membaik," balas Ratna.

Ratu hanya mengangguk dan terlihat bersyukur. Raja hanya menatap kedua wanita di hadapannya dengan senyuman.

"Baiklah kita makan terlebih dahulu," ucap Raja.

Setelah Raja memulai, semua yang ada di sana segera menikmati sarapannya, begitu juga dengan Ratna. Sarapan hanya di selimuti oleh diam, sebenarnya Ratna sedikit takut jika Raja dan Ratu tahu dirinya bukan putri yang asli.

Seusai itu, Ratna di ijinkan untuk berkeliling dengan dayangnya. Kaki Ratna melangkah di koridor dengan pandangan matanya yang kosong. Akhirnya Ratna berhenti dan memilih bersandar disalah pilar yang ada di dekat tangga. Matanya melirik ke arah dayang yang sedari tadi berada di belakangnya.

"Bisakah kita keluar istana?" tanya Ratna.

"Ampun Dewi, hamba tidak berani tanpa seijin baginda Raja," ujar dayang tersebut.

Ratna hanya bisa mengangguk kecil, dirinya belum mengenal jelas keberadaannya dan peraturan di sini. Ratna juga tidak ingin melakukan kesalahan, hingga berdampak pada nyawanya nanti.

"Jika boleh tau, kenapa diriku bisa pingsan?" tanya Ratna, dayang tersebut kembali menunduk.

"Dewi sudah ditemukan pingsan di depan istana, maaf Dewi jika saya lalai," ucap dayang tersebut sembari bersujud dikaki Ratna. Ratna segera menyuruh dayang tersebut untuk bangun.

"Itu bukan salahmu, bangunlah. Apa ada yang tau penyebab aku pimgsan?" tanya Ratna lagi.

"Tidak Dewi, saat itu dewi menyuruhku untuk menunggu di kamar."

Ratna kembali terdiam, dirinya masih belum menemukan jawaban. Setelah beberapa lama berdiri di sana, Ratna memilih untuk kembali ke kamarnya.

"Eum, boleh aku tau siapa namamu?" tanya Ratna kepada dayang yang sekarang menyisir rambutnya.

"Turi, dewi." Ratna mengangguk.

"Bisakah dirimu tidak bersikap formal jika hanya ada kita berdua?" pinta Ratna yang membuat Turi kebingungan.

"Fo-fo, apa dewi?" tanya Turi yang tidak mengerti bahasa Ratna, sedari awal ada beberapa bahasa yang dirinya tidak mengerti.

"Ah, anggap saja aku temanmu, jika kita sedang berdua, apa bisa?" ujar Ratna.

"Ampun dewi, hamba tidak berani." Ratna menghembuskan napas kasar. Apa orang-orang di jaman ini kaku-kaku?

"Baiklah terserah dirimu saja, bisakah kamu menceritakan sedikit tentangku?" pinta Ratna.

Turi merasa heran dengan sifat putrinya ini, tapi daripada terkena hukuman akhirnya dirinya mengangguk. Turi menuntun Ratna untuk duduk di ranjang, dan dirinya bersimpuh di bawah. Namun, belum Turi bersimpuh,Ratna sudah memegang tangannya dan menyuruhnya untuk duduk dihadapannya. Turi sempat menolak dan bilang jika itu tidak sopan, tapi Ratna tetap memaksa sampai akhirnya Turi menurut.

"Jadi, siapa namaku?" tanya Ratna.

"Nyimas Ratu Inten Dewa, dewi adalah putri mahkota yang akan mewarisi kerajaan Sumedang Larang. Kerena, itu pula Baginda Ratu begitu khawatir saat melihat dewi pingsan, ditambah lagi sekarang dewi tidak mengingat apapun tengtang Sumedang Larang," jelas Turi yang disimak baik oleh Ratna.

"Jujur aku bukanlah putri yang asli, mungkin kalian salah orang." Kalimat itu hanya bisa Ratna pendam, entah sampai kapan dirinya harus berpura-pura menjadi 

Yang ada dipikiran Ratna kali ini adalah neneknya, apa beliau khawatir dirinya menghilang? Tetapi, mengingat bahwa dirinya jatuh dari air terjung itu membuat pikiran Ratna tambah gusar. Tidak mungkin dirinya meninggal bukan? Iya, dirinya tidak boleh meninggal, jalan satu-satunya adalah pergi dari sini. Tapi bagaimana caranya, apakah ini sama seperti cerita-cerita yang di baca oleh Keza? Jika seperti itu, dirinya harus menyelesaikan apa yang diinginkan oleh putri asli bukan?

"Turi, apa dewimu- ah, maksudku, apa aku pernah meminta sesuatu kepadamu atau kepada Raja dan Ratu?" tanya Ratna.

Matanya melihat Turi yang tampak mengingat-ingat, Ratna berharap Turi mengangguk. Namun, yang didapatnya hanya sebuah gelengan, tidak munginkan seorang putri tidak memiliki keinginan terbesar.

"Baiklah, kamu boleh meninggalkanku," ucap Ratna.

"Sendika dewi."

Ratna kembali melamun, dirinya harus segera keluar. Cukup lama Ratna berdiam, akhirnya kantuk mulai menyerang dirinya, hingga tidak sadar Ratna sudah tertidur. Entah angin dari mana, tapi senyuman Ratna muncul dikala dirinya memejamkan mata. Setidaknya meskipun dirinya terjebak di jaman ini, pangeran mimpinya tetap bersamanya.

***

Tidur Ratna sedikit terganggu karena sebuah usapan di puncak kepalanya. Dengan sedikit niat, akhirnya Ratna memilih untuk bangun dan sudah ada Ibundanya yang tersenyum. Tidak masalahkan dirinya menganggap Ratu sebagai Ibundanya? Toh, di sini dirinya juga berperan menggantikan putri asli.

"Ibunda," lirih Ratna sembari mengumpulkan nyawanya.

Sinta tersenyum mendengar sang putri yang memanggilnya Ibunda lagi. jujur hatinya sakit melihat sang putri jatuh sakit seperti beberapa hari yang lalu. Jika bisa, lebih baik Sinta saja yang merasakan sakitnya daripada putrinya.

"Kamu masih belum mengingat semuanya Nyimas?" tanya Sinta.

Ratna hanya menggeleng mendengar pertanyaan itu, lagi pula jika dirinya dipaksa untuk mengingat juga percuma. Ratna bukanlah dari masa ini.

"Hm, Ibunda akan memperkenalkan diri kalau begitu. Ibunda tau jika kamu merasa canggung. Nama ibunda adalah Ratu Sintawati, selain itu nama ibunda adalah Nyai Mas Patuakan. Kamu adalah putri mahkota kerajaan Sumedang, Ibunda harap kamu bisa menjadi pemimpin yang lebih baik dari ibunda," ujar Sinta yang di dengar baik oleh Ratna.

Ratna memainkan jemarinya, sungguh dirinya tidak ingin berbohong, tapi apakah mungkin jika dirinya jujur nanti nyawanya akan tetap ada?

"Mandilah, hari sudah menjelang malam. Dayang akan mempersiapkan semuanya, Ibunda tunggu di meja perjamuan," ucap Sinta setelah itu pergi dari kamar Ratna.

Ratna memandang punggung Ratu Sinta tersebut lalu memegang puncak kepalanya. Ratna ingat dengan mamanya, sudah lama rasanya mamanya tidak mengusap kepalanya. Oh ayolah, jangankan mengusap, menelepon dirinya saja baru sekali saat dirinya akan pergi ke air terjun Cinulang.

"Ma, apa mama mencari keberadaan Ratna sekarang?" lirih Ratna. Sebelum dayang datang Ratna mengusap air matanya agar tidak ada yang tahu jika dirinya menangis.

.

.

.

Bersambung~

Himbar BuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang