Salawe

395 71 1
                                    

Pemimpin yang hebat itu yang bertanggung jawab penuh atas rakyatnya dan rakyat yang hebat adalah rakyat yang penuh dengan kesadaran diri.
****
Makan siang telah selesai di buat, dengan kacang-kacangan Ratna bisa membuat bubur untuk semua orang.

"Dewi, makanlah," ucap salah satu gadis yang sekiranya seumuran dengannya.

"Terima kasih, siapa namamu?" tanya Ratna sembari menerima semangkuk bubur.

"Arum, Dewi."

"Manis," puji Ratna, jujur gadis di depannya ini memang manis.

"Terima kasih, Dewi. Hamba undur diri." Ratna mengangguk. Namun, matanya masih mengikuti kemana perginya Arum.

Bisa di lihat gadis itu menggendong batita, menenangkan bayi tersebut dan mencoba menyuapinya bubur. Namun, bayi yang di gendongnya terlihat rewel, karena kasihan melihat Arum yang kesusahan akhirnya Ratna mendekatinya.

"Biar dia bersamaku," ucap Ratna sembari mengambil alih gendongan batita tadi.

"Maaf merepotkan, dewi. Dia adik hamba," ucap Arum.

"Tidak apa-apa, lanjutkan dulu makanmu, aku akan menjaganya," tukas Ratna sembari menimang-nimang batita itu.

Tampan, itulah yang ada di pikiran Ratna saat mata bayi itu menatapnya. Mungkin dia merasa sesak berada di kerumunan beberapa orang, jadi Ratna mengajaknya jalan-jalan di bawah pohon rindang tentunya.

Tari masih sibuk dengan apa yang dirinya titahkan tadi, Ratna sebenarnya juga ingin membantu akan tetapi melihat Tari yang memelas agar tidak ikut-ikut, takut tangannya terluka, akhirnya Ratna pasrah.

"Kemana kedua orang tuamu?" tanya Ratna kepada bayi tampan itu.

"Awaa-uhk uhk." Panik? Tentu saja.

Ratna memijat pelan tengkuk bayi tersebut, mukanya memerah karena batuk. Setelah reda Ratna memeluknya, dulu saat dirinya kecil dan ibunya tahu dirinya batuk, beliau melakukan hal yang sama, memeluknya. Dari mana Ratna tau? Nenek dan asisten rumah tangga yang memberitahunya.

"Sejak kapan kamu batuk?" Bukannya mengoceh lagi, bayi itu malah memeluk Ratna dan memejamkan matanya.

"Sehat-sehat ya anak ganteng," lirih Ratna. Dirinya terus menimang sampai bayi itu pulas, karena hari sudah mulai sore Ratna kembali ke balai desa.

Mendekati balai Ratna melihat pohon belimbing wuluh, tidak banyak bunganya tapi dia rasa cukup untuk obat batuk. Ratna mencoba menggapai beberapa bunga yang ada di dahan atas, ranting yang menjulur lebih rendah tersangkut di hiasan kepala Ratna.

Tangan kanannya yang menggendong membuat Ratna sedikit kesulitan memetik.

"Kenapa tidak meminta bantuan?" tanya seseorang yang membuat Ratna terkejut. Beruntung dirinya tidak berteriak.

Kusumahdinata sudah berdiri di sampingnya, matanya juga melihat beberapa kereta yang Ratna tau membawa bahan makanan.

"Apa cukup?" tanya laki-laki itu dengan menggenggam bunga belimbing yang di petiknya.

"Sudah, kenapa kamu ikut ke mari? Bukannya kita tidak boleh bertemu?" tanya Ratna.

"Mencari anak hilang yang sedari pagi tadi pergi, sampai sore belum pulang," ujar Kusumahdinata sembari melepaskan ranting yang tersangkut di hiasan kepala Ratna.

"Aku sedang membantu para rakyatku, bukan bermain!"

"Aku tau, makanya aku kemari untuk membantu," balas Kusumahdinata yang masih membersihkan kepala Ratna. "Sudah, mari gabung dengan yang lainnya, kemarikan dia," sambung Kusumahdinata yang mengambil alih batita itu dari gendongan Ratna.

"Hati-hati," cetus Ratna yang mengusap pucuk kepala bayi itu karena menggeliat.

Semuanya tidak lepas dari pandangan penduduk, bahkan juga Tari. Senyum merekah Tari terbit melihat adegan romantis itu.

"Jangan iri!" ujar Aryan.

"Tidak pangeran, hamba bahagia melihat Dewi bahagia," balas Tari sembari menunduk.

"Jangan terlalu formal," cetus Aryan yang langsung pergi dari sana.

Tari hanya menggeleng kecil, tidak Ratna, tidak adik dari calon Ratna sama-sama tukang protes.

"Biar saya bantu," ujar Arum yang ikut menurunkan bahan pokok.

"Itu adikmu?" tanya Tari.

"Iya."

"Kemana kedua orang tuamu?"

"Orang tua hamba sudah meninggal, hamba hanya berdua dengan adik, Ceu." Tari mengangguk dan menyemangati Arum.

Kini Ratna sibuk meracik beberapa ramuan yang dirinya tahu, tidak sia-sia dirinya diberi suapi buku-buku herbal oleh sepupunya yang seorang dokter. Meskipun dirinya menolak mentah-mentah tetapi sepupunya itu terus memaksa dengan embel-embel untuk keadaan darurat, sekarang terwujud ucapannya kala itu.

Seusai obat jadi, Ratna, Tari dan Arum membagikannya kepada para penduduk. Baju Ratna sudah kotor karena debu, arang dan asap, tetapi dia tidak peduli, cukup menyenangkan membantu penduduk desa di sini.

"Beribu maaf sudah menyusahkan, Dewi," ujar ketua desa.

Kini mereka ingin berpamitan karena hari juga menjelang petang, besok Ratna harus bangun pagi.

"Tidak masalah, besok datanglah ke istana, lekas sembuh," kata Ratna yang diangguki semua orang.

"Kami pamit terlebih dahulu, wassalamu'alaikum," salam Kusumahdinata.

"Ah, siapa nama adikmu Arum?" tanya Ratna sebelum naik ke keretanya.

"Yuda, Dewi."

"Yuda?"

"Iya dewi, Yuda Arwaga."

Ratna tersenyum dan mengangguk lalu masuk ke dalam kereta. Di dalam pun dirinya masih terkekeh, membuat Tari yang baru saja masuk memandangnya bingung.

"Ada apa Dewi?"

"Tidak, hanya bertemu dengan teman lama," lirih Ratna yang tidak di dengar oleh Tari.

Ah, jadi dirinya tadi memuja seorang Yuda tampan? Namun, belum tentu juga jika itu Yuda yang sama. Toh, adik Arum masih berusia 3 tahun, perbedaan tahun yang jauh dengan Ratna sekarang.

Jadi, tidak mungkin dia menyukai dan mengejar-ngejar Ratna kan?

Ratna menyandarkan dirinya dan memejamkan mata, tubuhnya terasa lelah, apalagi kakinya. Ingin sekali Ratna merebahkan tubuhnya di atas ranjang, dia benar-benar tidak sabar cepat-cepat sampai di istana.

Besok adalah hari yang semua orang tunggu-tunggu, kenapa? Karena besok hari pernikahan Ratna dan Kusumahdinata. Sudah tahu besok menikah dirinya malah kukuh untuk memantau desa di sekitar kerajaan.

Namun, tidak masalah, bukankah yang seharusnya dilakukan oleh pemimpin seperti ini? Bukan asik tidur-tidur dengan topeng kerja keras, padahal sibuk membangun mimpi di pulau kapuk.

"Tari, apa yang kamu lakukan jika merindukan ibumu?" tanya Ratna yang masih memejamkan mata.

"Berdoa, Dewi." Ratna mengangguk, memang selain itu apa lagi?

"Aku sedang merindukan orang tuaku di masa depan, apa mereka masih sedih atas ke pergianku? Apa ibuku menikah lagi atau ayahku yang menikah lagi? Bagaimana juga dengan keadaan kakak, nenek dan teman-temanku, aku benar-benar merindukan mereka," jelas Ratna sembari menatap Tari.

Bahkan netra Ratna sudah berkaca-kaca, selama ini dirinya memendam rindu. Mau bertemu pun mustahil, mereka telah hidup di takdir masing-masing. Tidak mungkin Ratna harus bunuh diri di air terjunkan? Apalagi di culik lagi.

"Mereka pasti baik-baik saja Dewi, mereka juga pasti bahagia dengan hari esok, doakan saja, kita harus bisa ikhlas," tutur Tari.

"Kau benar, kita harus ikhlas. Semoga mereka bahagia seperti apa yang kamu bilang, aku benar-benar berdoa untuk itu."

Keduanya melempar senyum. Perjalanan pulang di isi oleh candaan-candaan kecil, bagi Ratna hal itu lumayan untuk mengurangi kegugupan. Karena besok benar-benar hari yang besar dan bersejarah.

Himbar BuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang