Duapuluh

478 88 3
                                    

Kalau sudah pergi kenapa dicari? Kebiasaan manusia.
****

Sudah beberapa hari Kusumahdinata tinggal di kerajaan Sumedang. Menyandang sebagai putra mahkota, laki-laki dingin, tapi memiliki tutur kata yang sopan itu nampak berbeda.

Dirinya berdiri di depan pintu si pemilik hati. Entah sudah berapa kali dirinya keluar masuk kamar itu dan menemukan pujaan hatinya yang masih enggan membuka mata.

Mungkin jika di dunia modern hal ini dinamakan koma. Masyarakat umum sama sekali tidak mengetahui beberapa hal yang telah terjadi. Semuanya disembunyikan dengan begitu rapi.

Saat ingin memegang gagang pintu, utusan dari raja memanggilnya. Mengatakan jika orang tuanya datang, dengan segera Kusumahdinata melangkah pergi dari sana. Mungkin nanti dia bisa mengunjungi Ratna, masihkah dirinya akan memanggil nama itu jika ingatan sang gadis telah pulih?

Selepas Kusumahdinata pergi dari sana, beberapa dayang masuk ke dalam kamar Ratna. Senja telah datang untuk memanjakan mata, sudah tugas para dayang untuk membersihkan tubuh Ratna. Dengan telaten Tari memoles bedak di wajah Ratna, wajah damai nan cantik itu kian membaik. Luka-lukanya sudah mengering, tidak bisa Tari bayangkan kejadian yang menimpa sang putri.

Andai dirinya ikut, apakah bisa dia melindungi sang putri. Sedih rasanya melihat wajah yang penuh senyum kini kaku.

"Dewi, tidak maukah bangun sejenak?" ucap Tari.

Tari telah mengenal Ratna lama, sejujurnya ibunyalah yang menjadi dayang pribadi putri mahkota dulu. Namun, sang ibu terbunuh karena pemberontakan dulu, Tari sama sekali tidak dendam kepada Ratna. Malah dirinya berterima kasih, karena di kerajaan ini dirinya bisa menyambung hidup.

Jika ditanya lebih tua siapa maka jawabannya adalah Ratna. Sikap Ratna yang berbeda ketika bangun membuat Tari merasa dirinya dekat dengan sang kakak, maklum dirinya putri tunggal.

Tidak banyak dayang yang bebas membuka percakapan dengan para bangsawan, tapi Ratna tidak, dia membebaskan Tari untuk berdiri di sampingnya, bahkan berdiskusi.

"Dewi, banyak sekali yang menunggu Dewi untuk bangun, mereka semua mengkhawatirkan Dewi."
***

Kusumahdinata duduk setelah menyalimi orang tuanya, terdapat raja dan juga ratu di sana.

"Nak, bagaimana keadaan nyimas?" tanya sang ibu kepada Kusumahdinata.

"Masih tetap Bu, kita doakan saja agar Allah mengangkat sakit Ratna," ujar Kusumahdinata.

Jika bertanya apakah Kusumahdinata tidak dihukum karena gagal menjaga Ratna, jawabannya Kusumahdinata telah selesai dengan hukumannya. Hati orang tua mana yang tidak terluka melihat putrinya terluka? Mereka juga tidak sepenuhnya menyalahkan Kusumahdinata karena seyakin itu dengan calon menantunya.

Kejujuran Kusumahdinata membuat orang-orang begitu percaya kepadanya. Kebaikan Kusumahdinata memang patut diacungi jempol.

"Biarkan kedua orang tuamu tinggal di sini, mereka khawatir dengan keadaanmu juga, nak," ucap Sinta.

Pantas saja banyak rakyat yang suka dengan sang ratu, tuturnya yang lembut membuat siapa saja yang berhadapan dengannya akan terasa nyaman. Namun, jangan coba-coba mencari masalah dengannya, amarah orang sabar tidak untuk dicoba-coba.

"Di mana Aryan?" tanya Kusumahdinata yang tidak melihat kehadiran sang adik sedari tadi.

"Di tempat biasa, nanti dia akan menyusul, beberapa rakyat menunggumu, jadi dia menggantikanmu," jelas sang ayah membuat Kusumahdinata mengangguk.

"Antarkan mereka ke kamar, biarkan siap-siap dulu karena habis ini makan malam tiba," ucap Raja.

"Kalau begitu saya undur diri," ucap Kusumahdinata.

Dirinya melangkah kembali ke arah kamar Ratna. Beberapa penjaga membungkuk saat Kusumahdinata melewati mereka.

Tangannya memegang gagang pintu dan membuka, Kusumahdinata mematung. Ranjang yang ada di hadapannya kosong, pikiran Kusumahdinata tidak karuan. Dirinya segera memanggil prajurit yang berjaga di depan, tapi terhenti karena suara halus nan lembut mencegahnya.

"Jangan berteriak," ucapannya yang duduk di depan jendela, pemandangan yang begitu Ratna sukai.

Waktu seolah berhenti, hanya saja detak jantung Kusumahdinata berpacu begitu cepat. Dengan cepat Kusumahdinata mengerjapkan matanya dan berjalan mendekati Ratna yang duduk bersandar.

"Dewi, kue-" ucap Tari yang terhenti saat melihat pemandangan di depannya.

Saat mengajak Ratna tadi bicara, keajaiban muncul putri mahkota terbangun. Betapa bahagianya Tari, mereka berpelukan melepas rindu, sedikit berbincang sampai membantu Ratna untuk duduk di kursi dekat jendela.

Inisiatif mengambil cemilan untuk putri mahkota membuat Tari lupa bahwa dia harus memberitahu keluarga kerajaan.

Kini, yang ada di depan matanya, tangan Kusumahdinata mengelus pelan puncak kepala Ratna. Tidak hanya Ratna yang mematung, bahkan Tari pun ikut. Sadar jika hal ini tidak pantas dia tatap terus-menerus, Tari segera menunduk dan mundur perlahan. Membiarkan kedua orang tersebut saling membebaskan rindu.

"Selalu berhasil membuatku khawatir," lirih Kusumahdinata.

Percayalah dia bertahan agar tidak memeluk erat pujaan hatinya, karena itu sebuah dosa. Ah, mengingat hal itu mari kita singgung saja kapan pernikahan mereka diadakan, bukankah itu topik menarik?"

"Tidak masalah, bukankah pangeran mimpiku selalu datang?" ujar Ratna yang membuat Kusumahdinata tersenyum tipis.

"Jadi sudah mengingatku?"

"Apa dengan harus membunuhku untuk mengingatmu?" bukannya Ratna menjawab malah dia balik bertanya.

Ratna masihlah Ratna, gadis masa depan yang memang ditakdirkan sebagai putri mahkota Sumedang Larang. Mengapa? Bagaimana cara dia kembali jika tubuhnya telah mati di dunianya, tenang kini ingatannya telah pulih. Antara ingatan Ratna sendiri dan ingatan Putri.

"Diriku benar-benar tidak bisa pulang, lalu kenapa masih menyetujui keinginanku?" tanya Ratna lagi.

"Saat itu aku berhadapan dengan ke egoisanmu, bukan dengan dirimu yang sekarang," jelas Kusumahdinata.

Laki-laki itu sudah duduk di depan Ratna, seolah melihat sesuatu yang berbeda tangan Ratna menyentuk bekas luka di dahi Kusumahdinata.

"Tanda kasih sayang untuk calon menantu," ucap Kusumahdinata yang tau jika Ratna mempertanyakan asal luka tersebut.

"Andai saja aku bangun lebih awal, aku pasti akan ikut menyaksikan keseruan hukuman itu," ucap Ratna dengan raut wajah yang menyesal.

Kusumahdinata berjalan menuju meja di samping tempat tidur Ratna dan mengambil sebuah vas, memberikan vas itu kepada Ratna.

"Untuk?"

"Lempar ke arahku maka kamu akan menyaksikan hukuman itu," ujar Kusumahdinata.

Ratna melotot, yang benar saja laki-laki ini meminta dirinya untuk di lempar vas bunga dari keramik. Astaga, Ratna tidak bisa membayangkan betapa mahalnya vas yang pecah itu.

Tangan Ratna menaruh kembali vas tersebut dan memandangnya dengan lekat.

"Kenapa?"

"Tidak, aku hanya berpikir kenapa waktu kembali ke masa depan aku tidak kepikiran untuk mampir ke toko antik terlebih dahulu," ucap Ratna yang kembali memasang raut kecewanya.

Kusumahdinata menghembuskan napas kasar, Ratna masih Ratna yang begitu memikirkan uang.

"Kamu tidak khawatir kehilangan paras wajah tampan suamimu?" tanya Kusumahdinata yang tidak percaya.

Mendengar perkataan Kusumahdinata membuat Ratna langsung menoleh ke arah laki-laki itu.

"Sejak kapan kamu tampan?" tanya polos Ratna.

Siapapun, cari penghulu sekarang agar Kusumahdinata bisa bebas menghukum gadis di depannya ini.

Himbar BuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang