Dualikur

447 64 0
                                    

Berharap hari esok dijalani dengan mudah dan penuh kebahagiaan, tapi semesta tidak sepenuhnya memberi ijin untuk sempurna. Namun, sepatutnya disyukuri bukan malah disesali.
***
Apa yang kurang dari Ratna? Hidupnya selalu diimpi-impikan setiap orang. Seolah semesta begitu mendukungnya untuk hidup dengan damai, setelah beberapa ribu kata kalian baca masih berpikir itu enak? Wah, wah.

Fajar belum sepenuhnya datang para koki kerajaan di kejutkan dengan kedatangan Ratna. Seorang putri mahkota berdiri di tengah meja dapur, memegang pisau dan memandang keji bahan masakan di sana. Siapa yang tidak takut? Bagaimana respon raja dan ratu jika mengetahui dan mereka tidak ada yang berani mencegah Ratna, setelah titah yang gadis itu ucapakan tadi.

"Kalian bisa membantuku, jangan menatap menunduk itu," ujar Ratna yang risih melihat semua kepala di ruangan tersebut menunduk.

"Baik, Dewi!" ucap mereka serempak.

"Apa si putri manja itu tidak pernah ke sini atau dia tidak bisa memasak?" batin Ratna yang mengghibah putri mahkota sebelumnya.

Beruntunglah dia bisa urusan dapur, dimanjakan boleh, tapi rasa ingin tahu dan belajar Ratna lebih tinggi. Mungkin bisa saja setelah ini dia belajar teknik untuk digunakan di medan perang.

"Apa di sini tidak ada oven?" tanya Ratna.

"Oven?"

"Ah, maksudku panggangan, ya seperti itu. Apa ada?"

"Kalau itu, kami biasanya akan menggunakan abu dan bara dari kayu untuk memanggang." Ratna hanya mengangguk, tangannya dengan cepat memotong-motong sayuran.

Ah, skill dari masa depan benar-benar membuat mata yang ada terpukau. Rasa percaya diri Ratna meninggi, merasa sombong karena dirinya paling hebat di antara mereka.

"Bisa tolong ambilkan minyak!"

"Tapi de-"

"Aku akan baik-baik saja, sudah ambilkan saja." Mau tidak mau salah satu dari mereka memberikan minyak kepada Ratna.

Aroma harum masakan tercium begitu kental, mereka semakin memandang kagum Ratna. Ratna mencicipi hidangan terakhir yang dirinya masak, setelah terasa sedap dia puas.

Entah seberapa lama Ratna berkutat di dapur, mentari pagi benar-benar telah terbangun.

"Kalian bisa membantuku menghidangkan ini?" tanya Ratna yang langsung diiyakan.

Waktu sarapan tiba, beberapa pelayan menghidangkan masakan Ratna di meja. Tidak lama dari itu keluarga kerajaan masuk, begitu juga dengan keluarga Kusumahdinata.

Melihat bentuk makanan yang asing membuat raja dan ratu bertanya-tanya. Sementara Kusumahdinata langsung tahu jika ini ulah....

"Ah, tunggu ini yang terakhir!" teriak Ratna dari pintu sembari membawa sebuah nampan dengan lauk yang sama sekali tidak mereka ketahui.

"Sempurna!" Puas Ratna.

"Apa yang kamu lakukan nyimas?" tanya sang ratu, sembari meneliti tubuh Ratna yang masih terdapat abu dapur dan segala cipratan dari bumbu yang dirinya buat.

Ratna menggaruk lehernya setelah menyadari jika dirinya belum mandi dan lupa meminta ijin.

"Ah, itu, aku hanya ingin memasak untuk kalian," ujar Ratna tanpa berani melihat ke arah orang-orang yang kini menatapnya.

Tari sendiri yang ada di sana terkejut, sedari pagi tadi dia mencari sang putri yang ternyata di dapur.

Hening beberapa saat, sampai suara sang ratu kembali terdengar.

"Apa kamu terluka?" tanya Sinta dengan lembut ketika melihat genggaman tangan Ratna bergetar, putrinya memendam rasa takut.

Mendengar tutur kata yang lembut Ratna memberanikan diri melihat Sinta.

"Tidak," kata Ratna sembari menunduk lagi.

Sinta berjalan ke meja makan dan mencicipi lauk yang Ratna bawa tadi, gurih, enak, manis dan asin juga seimbang itu rasanya.

"Bagaimana? Ibunda suka?" tanya Ratna antusias.

"Enak, cepatlah bersiap, kami akan menunggumu," ujar Sinta sembari tersenyum.

Ratna berteriak gembira dan segera menyeret Tari untuk membantunya bersiap-siap. Mereka semua terkekeh melihat tingkah Ratna, hanya satu manusia dengan senyum manis dan pipi sedikit merona mengingat ucapan Ratna kemarin.

"Menggemaskan."
***
Seusai acara sarapan yang menggemparkan. Kini Ratna sedang memandangi beberapa prajurit yang berlatih, melihat mata Ratna yang fokus membuat Tari was-was. Dia takut jika Ratna akan ikut-ikutan.

"Dewi, ini sudah waktunya Dewi untuk mempelajari urusan kerajaan," ucap Tari yang memperingati Ratna agar gadis itu tidak lupa dengan kewajibannya yang telah dimulai.

"Aku hanya beristirahat sebentar, terlalu membosankan mempelajari suatu hal yang sudah aku bisa," lesu Ratna.

"Kusumahdinata ada di mana?" tanya Ratna.

"Saya kurang tahu Dewi, sepertinya pangeran ada di pasar seperti biasanya."

"Ayo kita kesana!" ujar Ratna yang langsung meninggalkan Tari yang belum sempat mengucapkan sepatah kalimat guna melarang.

Sekeluarnya Ratna dari istana, terik matahari langsung terasa di kulitnya. Cuaca lebih panas dari biasanya, sepertinya musim kemarau sudah mulai datang.

Dengan beberapa pengawal dan juga Tari, Ratna pergi ke pasar. Ada yang berbeda beberapa dari mereka tutup, tidak seramai seperti sebelumnya.

Ratna melihat Kusumahdinata dari pohon rindang yang letaknya tidak jauh dari gubuk. Beberapa orang dan anak-anak duduk di depan Kusumahdinata.

Ratna tau apa yang Kusumahdinata ajarkan kepada mereka. Dia jadi ingat waktu Keza juga menceritakan beberapa kisah yang ada sangkut pautnya dengan agama Islam.

Sadar jika ada orang yang memperhatikannya, Kusumahdinata menoleh ke arah Ratna yang melamun.

"Aryan, lanjutkan," ujar Kusumahdinata, sang adik mengikuti pandangan kakaknya dan paham.

Sesampainya Kusumahdinata di depan Ratna, gadis itu masih nyaman dengan lamunannya.

"Kenapa kemari?" tanya Kusumahdinata sembari menutupi bahu Ratna dengan sorban yang tadinya ada di bahunya.

"Ingin menagih ucapan mu kemarin, apa yang ingin kamu ajarkan kepadaku?" kata Ratna yang tidak terkejut.

Kusumahdinata sama sekali tidak memandang mata Ratna, sebaliknya dengan gadis di depannya.

Wajah tampan, siapa yang bosan memandang? Bahkan jantung Ratna saja tau, kapan waktunya berdetak hebat.

"Bisa tidak jelek sedikit?" Pertanyaan konyol yang Ratna ucapkan.

Semakin kesini otak Ratna benar-benar terganggu, sudah hilang jutek dan rasa bodoamat gadis itu. Jika Keza ada di sini, pasti dia sudah mencibir Ratna habis-habisan karena mengakui ketampanan lawan jenisnya.

"Dosa!" Dengan cepat Kusumahdinata menutupi pandangan Ratna dengan telapak tangan.

"Lalu bagaimana dengan kejadian-kejadian sebelumnya? Sudah tau dosa," ledek Ratna.

"Untuk yang sebelumnya aku akan bertanggung jawab."

"Aku bercanda, jangan serius seperti itu, it's oke," ujar Ratna sembari membuat huruf O kecil.

"Aku tidak bercanda, ayo ikut!" tegas Kusumahdinata.

"Astaga, masa iya gue mau dinikahin sekarang," batin Ratna bermonolog saat melihat Kusumahdinata melangkah ke gubuk yang terdapat beberapa orang.

"Nyai," panggil Kusumahdinata ketika tau Ratna masih terdiam.

"Iya, ini jalan!" Mau tak mau Ratna menurut.

Ketika sampai, Ratna begitu gugup karena orang-orang yang ada di sana membungkuk kepadanya. Dirinya seperti haus kehormatan saja, lama berada di sini yang paling membuat risih adalah ini.

"Nyai akan bergabung dengan kita untuk mempelajari agama Islam," kelas Kusumahdinata membuat Ratna menoleh cepat ke arah laki-laki itu.

Himbar BuanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang