20 : DHIMH

882 43 3
                                    

Hamzah terlihat grasak grusuk di kasurnya. Menggulingkan diri kesana dan kemari, ingin melakukan sesuatu tapi entah apa itu.

Pintu kamarnya terbuka, Syarifah masuk kedalam kamar sang anak diikuti oleh Hanif yang sama-sama ikut masuk kedalam. Melihat kelakuan anaknya yang seperti anak kecil tidak diberi permen, kedua pasutri tersebut hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Inget umur udah tua!"

Sontak Hamzah terkejut dan langsung bangun dari tidurnya. Menatap sinis kedua orang tuanya itu, masuk tanpa izin darinya. Hamzah tidak sukai sekali.

"Biasa aja lihat wajah Bunda, ngapain kamu uring-uringan gitu? Kebelet pipis atau berak?"

"Bunda ih, frontal banget sih."

Syarifah hanya acuh, toh ucapannya memang benar kan, tidak salah.

"Ngapain Ayah sama Bunda kemari? Mau ada sesuatu yang diomongin kah?"

Hanif yang semula masih asik tertawa langsung merubah raut wajahnya saat sang istri menyubit perutnya. Ia berdeham singkat, sebelum mengatakan hal yang serius.

"Ayah cuman mau mengatakan kalau Ayah bakal jodohin kamu sama anak temen Ayah dan Bunda."

"Dan kamu harus mau!" Timpal bunda nya dengan nada paksa dan tegas.

Hamzah merosotkan bahunya, "apasih Bun, Yah. Ngapain jodoh-jodohin gitu? Emangnya Abang enggak bisa nyari sendiri gitu, bisa dong."

"Nyari sendiri ya? Iyah bisa? Ohh bisa. Terus kenapa sampe sudah berumur kepala tiga masih belum juga nikah?? Mau terus ngejomblo gitu? Mau buat Bunda iri ngelihat temen-temen Bunda lainnya sudah gendong cucu. Iya?!"

Hamzah mendelik, "Iyah enggak kok Bun. Yasudah Abang pasrah aja. Nurut aja, asak yang Bunda sama Ayah jodohin buat Abang itu Dek Ai." Jawabnya jujur tanpa sadar.

Kedua pasutri tersebut saling menatap satu sama lain.

"Gimana mau enggak Bun, Yah? Bisa kan? Pasti bisalah ya kan. Siapa sih yang enggak mau sama Abang yang ganteng gini." Ujarnya dengan sombong.

"Halah, sok-sokan ngomong gitu tapi tetep aja jomblo."

"Yaelah Bun, Abang kan jomblonya karena menunggu pujaan hati yang telah lama terpisahkan. Jadi wajar aja."

"Cangkemmu lah Bang."

Hanif memijat kepalanya, kebiasaan istri dan anaknya kalau menjadi satu, ya ribut terus.

"Ayah ini gimana sih, kok malah enggak dengerin aku sih Yah."

Syarifah mencubit perut Hanif, sang suami malah asik dengan dunianya.

"Astaghfirullah Bun, iyah sayang, Mas dengerin kok. Yasudah besok kita kerumah sebelah ya. Kita langsung lamar saja, bagaimana sayang?"

"Kenapa tidak malam ini aja sih Mas, langsung kita akad nikah saat itu juga. Biar Bunda cepat-cepat momong cucu. Duhh pasti lucu deh anak mereka."

"Istighfar Bun, jangan di bayangin." Peringatan Hamzah pada Syarifah.

"Kamu nih, bilang aja kamu seneng kan kalau Bunda saranin kamu langsung nikah."

"Yaiya sih Bun, tapi masa iya nikah siri sih Bun."

"Loh siapa bilang nikah siri, Bunda tuh belum selesai tadi ngomongnya. Jadi tuh, malam ini kamu langsung akad, besoknya acara besar-besaran deh."

Hamzah mengerjap matanya tak percaya. "What? Bunda serius dong, yang bener aja sih Bun."

"Kenapa sih Bang? Kayaknya kamu enggak suka gitu deh sama saran Bunda."

Doctor Hamzah is My Husband ✔ [Revisi - New version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang