31 : DHIMH

676 41 0
                                    

Riasan wajah yang membuat Aida mengedipkan matanya berkali-kali seakan-akan itu bukan dirinya melainkan orang lain. Gaun berwarna biru muda yang dikenakannya pun menambah kesan wah sekali. Sungguh cantik sekali. Ini seperti mimpi, Aida tidak pernah membayangkan akan seperti ini.

"Ayo sayang, kita keluar. Acara sebentar lagi akan dimulai. Tamu juga sudah berdatangan."

Acara berjalan dengan lancar, banyak tamu yang datang. Secara bergantian naik ke atas panggung pelaminan. Tidak ada waktu untuk kedua pengantin duduk, karena saking banyaknya tamu yang datang ke acara resepsi mereka.

Dua jam berlalu, akhirnya sudah tidak ada lagi yang naik untuk mengucapkan selamat kepada kedua pengantin. Kedua pengantin pun bisa duduk kembali. Pegal tentu saja, karena sejak tadi mereka hanya berdiri untuk menyalami para tamu dan berfoto.

Baru beberapa menit duduk, ada rombongan yang menghampiri keduanya. Terpaksa Aida harus menahan rasa sakit dan pegal-pegal pada kakinya. Helaan napas terdengar begitu berat. Hamzah menolehkan kepalanya ke arah sang istri, dia memberikan usapan lembut pada tangan istrinya.

"Selamat atas pernikahan nya Dokter Hamzah. Akhirnya telah menemukan pujaan hatinya."

"Terimakasih banyak Dokter Arsyad dan rekan-rekan semua sudah bersedia hadir. Maaf sudah membuat kalian harus mengesampingkan pekerjaan."

"Aduh Dokter Hamzah ini, kami tidak masalah jika harus datang kemari. Sekalian cuci mata, Dok. Siapa tahu ada jodoh saya disini," ujar laki-laki berpakaian batik coklat.

"Hush, dijaga omongannya Fandi."

Laki-laki bernama Fandi itu terdiam setelah seniornya menegurnya. Setelah bercengkrama ringan dan berfoto-foto, mereka semua turun menikmati hidangan yang telah disediakan.

Selepas kepergian mereka, Hamzah pergi menemui Syarifah. Entah apa yang dibicarakan keduanya yang pasti Syarifah langsung tampak khawatir. Ia langsung menghampiri menantunya itu.

"Sayang, ikutlah bersama suamimu. Kalian beristirahat saja dahulu. Sudah waktunya untuk makan siang juga."

"Tapi Bun.."

Aida sungguh tidak enak jika harus meninggalkan pelaminan, banyak tamu. Tidak enak jika pergi begitu saja.

"Tidak apa-apa, masalah disini biar kami saja para orang tua yang menghandle nya. Kalian lebih baik beristirahat dahulu."

"Abang, bawa istrimu. Nanti Bunda akan bawakan makan siang kalian."

Hamzah menganggukkan kepalanya. Dengan sigap dia menuntun sang pujaan hati untuk pergi dari sana.

•••

"Dek, bagaimana jika kita pergi saja dari sini?"

Aida menatap heran laki-laki itu. Pergi? Kemana? Acara saja belum selesai, tapi sudah diajak pergi. Untuk apa? Kenapa harus pergi?

"Sungguh Dek, Mas bosan disinii. Banyak tamu yang Mas tidak kenal. Yahh, Mas tahu kebanyakan mereka teman orang tua kita. Tapi Mas rasanya ingin pergi saja, jalan-jalan berdua denganmu Dek."

Aida mencubit lengan sang suami. Suaminya itu meringis tentunya. "Sayangg.. Kenapa kau mencubit ku."

Aida geli sendiri, dia belum terbiasa dengan panggilan sayang itu padanya. Tapi harus dibiasakan apalagi statusnya yang sudah berubah menjadi seorang istri.

"Jangan macam-macam kamu Bang, ini resepsi pernikahan kita," ucapnya jengkel pada sang suami.

"Kok Abang sih Yang. Mas dong, kan tadi pagi kamu sepakat manggilnya Mas bukan Abang lagi."

"Iyah Mas Hamzah.."

Hamzah senang. Pipinya bersemu merah seperti tomat. Aih gemash sekali Aida melihatnya. Laki-laki itupun justru bergelayut manja padanya, mencoba menyembunyikan wajah tampannya. Tidak berselang lama, pintu ruangan ini terketuk beberapa kali.

"Mas ih lepas, sana bukain pintunya dulu. Pasti itu Bunda."

Aida mencoba melepaskan diri dari dekapan sang suami yang agresif. Ruang geraknya terbatas. Tenaganya tak sekuat tenaga laki-laki itu, yang cukup membuatnya kewalahan. Tadi malu-malu sekarang justru memeluknya seperti anak yang tidak mau jauh dari ibunya.

"Biarin aja Dek, padahal Bunda tinggal masuk loh."

"Mas ih." Aida mencubit lengan suaminya. "Sana buka dulu."

"Aduh, aduh, iyah sayang," ucap Hamzah. "Kamu nih baru saja sehari kita menikah, sudah kdrt saja sama suamimu," kata Hamzah yang akhirnya melepaskan istrinya itu. Tapi justru dia mendapatkan tatapan tajam dari istrinya.

"Iyah Bunda sabarr, kenapa enggak buka aja sih Bun," ujarnya seraya membuka pintu, tapi dia dikejutkan dengan hadir nya seorang wanita yang dimana wanita itu bukan Bundanya.

Wanita itu yang ditatap begitu dingin langsung menunduk. Tubuhnya bergetar karena ketakutan.

"Maaf Tuan, tadi saya dimintai tolong oleh Nyonya Syarifah untuk membawakan makan siang untuk Tuan dan Nona."

"Oh, terimakasih. Kau boleh pergi."

Setelah mengucapkan itu, Hamzah mengambil ahli tugas wanita tadi yang membawakan beberapa hidangan untuk mereka.

"Loh Mas, Bundanya mana?"

Hamzah hanya mengedikkan bahunya. Aida pun hanya merasa keheranan saja.

"Sudah tidak perlu dipusingkan, lebih baik kita makan. Istriku ini pasti lapar, biar Mas yang menyuapi mu."

Aida ingin menolak tapi tangan suaminya itu bergerak lebih cepat. Alhasil dia hanya bisa pasrah dengan perlakuan dari suaminya.

•••

Langit mulai menampakan cahaya bulan dan bintang-bintang. Selepas acara resepsi, keduanya tidak langsung pulang. Melainkan bertolak ke salah hotel yang telah dibooking oleh mertuanya. Hitung-hitung menikmati waktu berdua sebagai pengantin baru.

Aida membelalakkan matanya. Sungguh ia merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat sekarang.

"Matamu seperti ingin keluar dari tempat nya jika kamu seperti itu Dek."

"Ini??" tanya Aida seraya mengerjapkan matanya berkali-kali.

Hamzah berjalan mendekati istrinya, memeluknya dari belakang dan berbisik di telinga kanannya. "Ada apa hum?" Suaranya serak basah itu membuat nyali wanita itu seperti terhipnotis.

"Apa kau tidak menyukai dekorasinya? Atau ada yang kurang, bilang padaku. Nanti akan ku suruh pihak hotel untuk menambah atau mengubahnya," tanya Hamzah. Namun dia tidak mendapatkan jawaban apapun. Hamzah justru dibuat gemash karena istrinya terdiam kaku seperti patung.

Hamzah tidak mau menyiakan begitu saja kesempatan emas ini. Ia mencium pipi kanan istrinya yang chubby itu. Selepasnya dia menyembunyikan wajahnya di ceruk leher sang istri. Harum tubuh Aida membuat Hamzah seperti ingin menerjang langsung istrinya itu. Tapi ia sadar diri, semua itu butuh persetujuan dari wanita yang sekarang menjadi istrinya.

Hamzah melepaskan diri. Tidak baik bagi dirinya jika berlama-lama seperti itu. Helaan napas berat dari Hamzah membuat wanitanya itu tersadar.

"Aku atau kamu yang ingin mandi terlebih dahulu?"

Aida terdiam, bingung ingin menjawab apa. Perlakuan suaminya tadi itu membuat dirinya sulit harus berbuat apa dan bagaimana?

"Baiklah, bagaimana jika kita mandi berdua saja. Lebih cepat, lebih baik bukan?" Kata Hamzah seraya tersenyum menggoda pada Aida.

Justru yang ia dapatkan bukan persetujuan dari istrinya melainkan dorongan halus. Hamzah tertawa dibuatnya, sedangkan Aida justru sudah masuk terbirit-birit ke dalam kamar mandi menyisakan Hamzah yang masih menertawakan ekspresi Aida.




•••

09 Februari 2023



















.
.
.
Pernah diketik pada : 28 Juli 2021
Pernah dipublishkan pada : 13 Oktober 2021

Doctor Hamzah is My Husband ✔ [Revisi - New version]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang