Chapter 10

3.5K 255 1
                                    


Cuaca diluar yang panas membuat pemuda 22 tahun itu malas pergi keluar, ia bahkan menolak ajakan para sahabatnya untuk makan siang di luar. Ia hanya ingin duduk bersantai di depan tv, menoton series sambil memakan se-bucket ice cream vanilla dengan sendok makan, hingga mulutnya penuh dengan olahan susu itu.

"kamu tidak pergi keluar, Key?." Felix duduk di samping pemuda itu, Keynzie hanya menggeleng dengan sendok yang masih berada di mulutnya. Felix tersenyum melihatnya, dan dengan jahilnya ia merebut sendok itu dari mulut Keynzie. "kakak." pekiknya, pemuda itu menoleh kearah Felix dengan tatapan kesal.

"berikan, aku juga mau." ia meminta bucket ice cream yang ada di pangkuan Keynzie, "kakak nggak kerja?." tanyanya menyerahkan bucket itu. "ini weekend, Key." ia menyuap sesendok ice cream ke mulutnya. "tumben." celetuknya, "kenapa? Aneh?." Felix menoleh. "sedikit." ia berusaha mengambil kembali sendoknya dari tangan Felix.

"kakak!." Felix tak memberikannya, ia malah menjauhkan sendok itu. "sudah makan ice creamnya, nanti kalau gendut nggak ada perempuan yang mau." ejeknya, namun mendengarnya malah membuat Keyzie terdiam. Ia hanya menghela nafas, melanjutkan acara menontonya tanpa menghiraukan keberadaan Felix.

"kamu marah, aku bilang gendut?." tanya Felix karena tak mendapat tanggapan apapun dari Keynzie. "hey, aku hanya bercanda." ucapnya kembali menyuap ice cream ke mulutnya. Niat jahilnya muncul ketika ia tak mendapat jawaban dari Keynzie.

Ia mengambil sesendok penuh ice cream kemudian mendekatkannya ke wajah Kenyzie, seolah ingin menyuapinya. namun dengan jahilnya, Felix tidak memberikannya. pria itu malah mengolesi pipi putih Keynzie dengan ice cream di sendoknya, hingga pemuda itu menatapnya tajam.

"kenapa?." tanyanya dengan tampang tak berdosa. Keynzie merebut paksa sendok ice cream yang ada di tangan Felix, dengan segala cara hingga ia mendapatkannya. "hey! Hey! Apa yang mau kau lakukan?!." Felix memundurkan wajahnya melihat ekspresi Keynzie. "kakak yang mulai." ucapnya.

Ia menekan paha Felix agar tak kabur kemudian memajukan badannya lebih dekat dengan pria itu. "hey! Hey!." Felix berusaha menghindar, punggungnya bahkan nyaris menyentuh sofa. Keynzie tak peduli, kini posisinya berada di atas Felix dengan satu tangan masih setia memegang sendok.

Namun dengan tenaganya, Felix membalikkan keadaan. Ia mendorong Kenzie, hingga pemuda itu terbaring sempurna di atas sofa dan dirinya yang kini berada di atas Keynzie. "kau pikir bisa mengalahkanku." ia tersenyum mengambil sendok yang sudah jatuh itu kemudian kembali mengambil ice cream dan mengoleskannya di beberpa tempat di wajah manis pemuda itu hingga poni Keynzie basah dengan ice cream.

"kakak!!." ia berteriak mencoba menghindar namun sayang, kekuatannya tak sebesar Felix. Tapi ia tidak menyerah, ia menggalungkan kedua lengannya di leher Felix kemudian menarik wajah pria itu mendekat. "Keynzie!." Felix berusaha menjauhkan wajahnya namun terlambat, Keynzie menarik dan mendekatkan wajahnya hingga wajah keduanya bersentuhan dan mereka saling 'berbagi' ice cream di kedua pipi mereka.

Seketika sofa di ruang tamu menjadi lengket dengan produk olahan susu itu yang tersebar dimana mana, hasil kejahilan mereka. Walau begitu, keduanya tertawa lepas ketika melihat hasil 'karya' mereka masing masing. Baru kali ini keduanya dapat tertawa bersama, dan hal itu membuat mereka merasa lebih akrab satu dengan yang lain.

.

.

Pagi ini Keynzie berencana kembali mengajak Felix untuk pergi makan diluar bersama. Jadi setelah mereka sarapan Keynzie bertanya.

"kak." Felix menoleh, menatap pemuda di depannya itu. "kakak nanti siang sibuk nggak?." tanyanya, "kenapa?." Felix kembali menyantap sarapannya, tak terlalu merespon.

"kalau kakak nggak sibuk, gimana kalau kita makan di luar?." ada sedikit keraguan saat menanyakannya. "aku sibuk." jawabnya singkat. "masih banyak pekerjaan yang harus di selesaikan." lanjutnya menghabiskan sarapannya.

Keynzie sadar dengan kesibukkan Felix, walau begitu Ia tetap saja kecewa mendengarnya. "sudah, aku pergi dulu." ia bangkit dari kursinya kemudian mengusak surai coklat Keynzie sebelum pergi, salah satu kebiasaan mereka setelah perang ice cream waktu itu.

Ping! Suara pesan masuk terdengar.

Keynzie menoleh ke ponsel yang ada di atas meja makan itu. ia tanpa sengaja melihat notif dengan pesan bertuliskan 'besok kita jadi jalan kan babe?'. Hatinya sakit membaca notifikasi perempuan bernama Algea itu.

Ia merasa di tampar oleh kenyataan, jujur saja ia merasa cemburu, kesal, marah, dan sedih membacanya. Ia seakan tersadar bahwa Felix tak akan pernah mencintainya, apalagi menjadi miliknya itu hal yang sangat tidak mungkin.

Felix tiba tiba kembali, ia baru ingat jika ponselnya tertinggal. "kamu masih di sini Key?." tanyanya melihat pemuda itu masih duduk diam di kursi makan. "hmm, aku sedang ingin bersantai, kak." ia mencoba tersenyum. "kalau gitu aku pergi dulu, Key." ia pamit, tak lupa kembali mengusak surai Keynzie.

Ia berjalan kearah balkon, duduk di salah satu bangku di sana. Keynzie ingin menyerah, tapi ia masih belum rela melepaskannya. "hah." ia menghela nafas, entah apa yang harus ia lakukan sekarang. Hampir setengah jam ia duduk melamun di sana.

Sampai ia kembali ke kamar dan melihat berkas di atas meja sebelah sofa, ia mendekat dan membuka berkas itu. "ini bukannya dokumen untuk hari ini?!." monolognya. Ia ingat jika semalam Felix mempelajari laporan ini untuk diberikan ke ayah mertuanya.

Tanpa berlama lama, ia segera mengambil dompet dan kunci mobilnya. Pelayannya hanya bingung melihat tuan mudanya bergegas pergi. Keynzie sendiri tak tahu hal apa yang sudah menantinya di kantor Felix.

my brother-in-law is my husbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang