Pagi itu Shafa bangun dari tempat tidurnya dengan senyum sumringah yang membuat Prima keheranan. Prima lebih terheran-heran lagi, Shafa memberikan sebuah kecupan di pipinya sebelum berlari ke arah kamar mandi. Prima yang tadinya sedang sibuk berpakaian tiba-tiba hilang ingatan, lelaki itu hanya membeku di depan cermin sambil melilitkan dasinya ke sembarang arah."Kamu ke toko hari ini?" tanya Prima pada Shafa yang baru saja keluar dari kamar mandi. Kemudian wanita yang sudah kini tampak anggun dengan blazer hitamnya itu mengangguk sekilas.
Shafa duduk di depan meja riasnya, mengambil lipstik berwarna merah nude yang tergeletak diantara warna lainnya. "Tumben pake warna yang tebel begitu?" tanya Prima. Shafa tersenyum congkak, lalu ketika warna merah tersebut berhasil menghiasi bibirnya Shafa kembali menoleh pada Prima. Lelaki itu belum juga selesai memasang dasinya.
"Gapapa, biar keliatan songong aja," kekeh Shafa sambil menarik dasi hijau yang belum terlilit sempurna di leher suaminya. Prima ikut menegakkan tubuhnya sejajar dengan Shafa. Dengan tubuhnya yang lebih tinggi Prima dapat melihat dengan jelas bagaimana jari-jari kecil Shafa yang bergerak ragu-ragu. Prima dapat melihat dengan jelas bagaimana bibir Shafa yang berwarna merah itu bergerak mencibir.
"Bukannya songong kamu malah makin imut loh," seru Prima.
"Masa sih? Dulu waktu masih kuliah ada kok dosen yang bilang mukaku ini songong,"
"Siapa? Kasih tau aku. Biar aku yang nyamperin orangnya," kata Prima.
"Aku labrak orangnya sendiri, boleh?" tanya Shafa. Tanpa ragu Prima menganggukkan kepalanya. Lelaki itu sibuk menyelipkan anak rambut Shafa yang berantakan hingga tidak sadar ada sebuah senyum licik di wajah istrinya. Shafa menjinjit sambil menarik dasi Prima yang sudah terpasang rapi lalu memberikan sebuah kecupan di pipi Prima.
Shafa melangkah mundur saat merasa bekas lipsticknya sudah cukup menempel di pipi lelaki yang kini menegang itu. "Ngaca, pak." Pagi itu otak Prima benar-benar mengalami kerusakan server otak. Bersama bekas warna merah di pipinya Prima membeku. Ia biarkan Shafa meninggalkannya di kamar sendirian.
"YA ALLAH, BUNDA! PRIMA DAPET KISSMARK!"
<<<<<<<<<<<>>>>>>>>>>>
Alasan Shafa punya mood yang baik pagi itu adalah sosok yang kini berdiri disampingnya. Narendra, pegawai kepercayaannya. Lelaki tinggi dengan alis tebal dan rahang runcing yang dipahat dengan sempurna oleh Tuhan. Nana, begitu nomornya tersimpan di ponsel Shafa. Pagi tadi setelah mendapat ucapan selamat pagi dan semangat dari Narendra, Shafa merasa sangat bersemangat.
"Ibu sudah sarapan?" tanya Nana. Shafa menggelengkan kepalanya yang masih tertangkup di atas kedua tangannya. Pipinya yang memerah karena blushon masih terasa hangat karena telapak tangan yang menutupinya. "Perhatian banget kamu. Suka, ya?"
Narendra terkekeh kecil lalu kembali menjawab pernyataan dari bosnya itu, "Enggak. Biar naik gaji aja buk." Shafa mengangkat kepalanya lalu melemparkan bolpoin berwarna biru yang tergeletak di samping tangan kanannya pada Narendra yang malah tertawa terbahak-bahak.
"Na ...." Narendra masih melanjutkan tawanya.
"Saya minta laporannya saudara Narendra." Mendengar perintah bosnya yang terdegar lebih tegas dari sebelumnya, Nana berhenti tertawa. Lembar-lembar kertas yang berisi laporan keuangan itu akhirnya tergeletak di meja Shafa. Ah, ini bau cuan. Bau surga.
Berbicara tentang uang Shafa jadi mesem-mesem sendiri. Wanita itu menyelipkan anak rambutnya centil lalu membuka berkas tersebut. Ada delapan digit angka yang tertulis diakhir laporan tersebut, Shafa semakin tersenyum lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONAT |Mark lee|
RomanceAwalnya Shafa cuma iseng nulis nama Prima, dosen muda di fakultasnya yang terkenal killer, di sebuah jurnal yang ia dapatkan sebagai hadiah dari pembelian donat seharaga 25k perbiji. Namun, Shafa harus cosplay jadi abang-abang yang habis minum miras...