Katanya semakin dikejar semakin menjauh, tapi nyatanya mantra itu tidak berlaku pada Shafa. Ini sudah hari kelima ia mati-matian menghindar dari seorang Primaraka Aksero. Jangan tanyakan bagaimana perkembangan dari laporan proposal Shafa karena gadis itu sudah menyerah dari sejak nama Prima yang tertera sebagai dosen pembimbingnya.
Hasbi menarik tangan Shafa untuk mendekat padanya dan bersembunyi dibalik pepohonan. Di depan sana Primaraka tengah berjinjit-jinijit mencari keberadaan dari Shafa yang ia ikuti sejak kelas berakhir tadi.
Setelah dosen muda itu beranjak dari tempatnya berdiri ke arah berlawanan dengan posisi Shafa dan Hasbi, Shafa melepaskan tangan Hasbi dari pundaknya dan keluar dari persembunyian. Keduanya kini duduk di bawah sebuah pohon beringin yang cukup rindang.
Shafa mengipasi lehernya yang berkeringat denga tangannya sendiri. Kemudian dengan insiatif yang tinggi, Hasbi mengedepankan tasnya, mengambil selembar kertas dan melipat-lipat kertas itu hingga berbentuk kipas tangan.
"Nih." Shafa tertawa lebar melihat hasil kipas tangan yang dibuat oleh kakak tingkatnya itu. Bentuknya mirip seperti yang sering ia mainkan dulu. Shafa mengambil kertas itu lalu menggerakkannya ke atas dan ke bawah bergantian agar dapat menghasilkan angin yang sejuk.
"Kok kamu sendirian?" tanya Hasbi.
Shafa menoleh sebentar lalu menjawab, "Si Jihan lagi di introgasi."
"Sama?" Hasbi merapatkan tubuhnya yang juga berkeringat agar hawa dari kipas kertas itu juga mengenai tubuhnya. Shafa membenarkan posisi duduknya, meletakkan sikunya di paha Hasbi agar angin dari gerakan tanggannya ikut dirasakan lelaki itu.
"Orang tuanya datang ke Jakarta. Mau nggak mau Jihan harus stay dikosan dengan segala pertanyaan ibunya." Hasbi memberikan minuman yang ada di samping tasnya pada Shafa. Gadis itu tersenyum manis lalu meneguk botol berisi air putih itu.
"Poor Jihan," ucap Shafa sehabis meneguk minumannya.
"Ngomong-ngomong, kamu kenapa bisa dikejar-kejar Pak Prima?"
Shafa mendesah frustasi lalu berkata, "Biasa bucin." Hasbi menoleh dan mendapati wajah panik Shafa yang ia tatap curiga. "Aku nggak punya hutang apapun kok ke Pak Prima, suer!" Shafa membentuk huruf 'V' dengan jari telunjuk serta jari tengahnya.
"Hutang proposal kali," ejek Hasbi setelah suasana diantara mereka tiba-tiba menjadi terasa canggung.
"Ish!"
"Lagian aneh banget itu Pak Prima masa perkara proposal kamu di uber-uber sampe sebegitunya," jelas Hasbi. Shafa mengangguk membenarkan perkataan lelaki di sampingnya.
"Yakin cuma hutang proposal?"
Shafa dan Hasbi yang mendengarkan bisikan itu seketika jadi merinding. Keduanya bahkan takut untuk menatap satu sama lainnya. Sebelum tangan Hasbi hendak menyentuh punggung tangan Shafa dan membawanya pergi, ada tangan lain di anatara tumpukan tangan mereka.
Hasbi dan Shafa menoleh bersamaan ke arah belakang. Hasbi dan Shafa beringsut mundur saat dirasa wajah ketiganya terlalu dekat. Ya, wajah Hasbi, Shafa dan Primaraka yang sedari tadi mengamati mereka dari belakang.
"Pak Prima?" Shafa menelan air liurnya susah payah sedangkan Hasbi, lelaki itu sudah terduduk di tanah sangkin terkejutnya melihat kehadiran Pak Prima yang terlalu tiba-tiba.
"Shafa, ayo ikut saya ke kantor," titah Prima.
Shafa berdecak malas lalu matanya mengitari lingkungan kampus sambil mencari-cari alasan yang kiranya akan tepat untuk menolak dosen killernya yang satu ini. "Saya mau makan pak," ungkap Shafa.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONAT |Mark lee|
RomanceAwalnya Shafa cuma iseng nulis nama Prima, dosen muda di fakultasnya yang terkenal killer, di sebuah jurnal yang ia dapatkan sebagai hadiah dari pembelian donat seharaga 25k perbiji. Namun, Shafa harus cosplay jadi abang-abang yang habis minum miras...