Untuk kali ini Shafa mengalah pada Prima. Setelah tubuhnya lepas dari pelukan Prima yang erat sambil mengumamkan sesuatu menggemaskan menurutnya. "Atas nama Ny. Aksero." Shafa segera bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah kasir. Memberikan sejumlah uang pada wanita berseragam itu dan pergi degan segelas kopi di tangannya.
Central Park siang itu cukup ramai. Mungkin karena hari ini adalah weekends. "Beli skincare aja kali ye," gumamnya. Kemudian Shafa berhenti di depan sebuah toko yang berisikan perlengkapan wanita dengan warna-warna yang menggemaskan. Baru saja tangannya hendak meraih sebuah kuas masker berkarakter doraemon ponselnya yang berada di saku bergetar.
"Halo." Shafa menempelkan ponsel itu ditelinganya lalu ia apit dengan bahunya.
"Mahasiswaku udah pulang," sahut Prima dari sebrang sana. Shafa menghela nafas berat lalu menegakkan kepalanya yang mulai terasa pegal.
"Terus?"
"Cepet pulang, aku kangen." Shafa merasa kesal setengah mati, pasalanya untuk sampai ke Central Park saja Shafa membutuhkan waktu hampir dua jam. Belum lagi ditambah keramaian ibu kota serta tempat parkir yang hampir penuh.
"Dih, kan situ yang nyuruh main. Serah lo, deh." Shafa memutuskan panggilan itu. Shafa kesel banget. Tadi maksa banget nyuruh Shafa main keluar, eh, pas udah di luar malah disuruh balik. Kan buat emosi.
Sebenarnya Shafa juga nggak tahu sih kenapa dia berbicara seketus itu pada Prima tapi yang namanya kesel mana bisa di fillter. Shafa melemparkan ponselnya ke dalam tas setelah mengaktifkan mode senyap pada bendak petak itu. Tangannya kembali memilah sheetmask yang ada di hadapannya.
"Anjir, mideheal!" pekik Shafa sambil menarik beberapa masker produksi negara gingseng itu keluar dari raknya.
Menemukan masker yang baginya sangat langka itu membuat Shafa jadi flashback masa menjadi orang susah. Dulu ia dan Jihan akan open tabungan tiap bulan untuk membeli masker ini. Masalahnya, masker ini punya harga yang kurang masuk akal untuk mahasiswa tapi harga tak mengkhianati hasil sih.
"Mbak, mediheal di sebelah mana, ya?" Shafa langsung membalikkan badannya saat mendengar suara yang tak asing sama sekali di telinganya.
"Jihan!"
<<<<<<<>>>>>>>>>
Perutnya yang keroncongan membuat Shafa menarik Jihan secara paska ke sebuah resto Jepang. Jihan terlihat lebih kurus dari sebelumnya, wajahnya semakin tirus dan pipi chubby miliknya sudah mulai hilang. Jihan menggerlingkan matanya ke arah pelayan yang sedari tadi menunggu daftar pesanan mereka, melemparkan kode pada Shafa yang bukannya memilih menu malah menatapnya dengan intens.
"Ah! Saya Chicken Curry phaitan ramen satu, minumnya lemonade. Lu pesen apa Ji?"
"Samain aja," jawab Jihan cepat. Wanita itu terlihat tidak tertarik dan malah sibuk dengan ponselnya.
"Oke. Dijadiin dua porsi aja mbak," putus Shafa. Shafa menutup buku menu yang ada di atas meja, dan menyerahkan kembali benda itu pada pemiliknya. "Baik, mohon ditunggu pesanannya."
"Eh, mbak," panggil Shafa lagi. Pelayan itu menoleh dengan sebuah senyuman yang tak luntur barang sekejap pun.
"Udonnya diganti mie burung dara bisa nggak?"
Siapapun tolong selamatkan Jihan dari sini.
<<<<<<<<<<>>>>>>>>>
"Jadi, lu gimana sekarang?"
Ramen yang dipesan sudah habis dilahap oleh keduanya. Di atas meja kini hanya ada mangkuk kosong dan segelas lemonade yang sudah habis setengahnya. "Dih, sok care banget lu nanya-nanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONAT |Mark lee|
RomanceAwalnya Shafa cuma iseng nulis nama Prima, dosen muda di fakultasnya yang terkenal killer, di sebuah jurnal yang ia dapatkan sebagai hadiah dari pembelian donat seharaga 25k perbiji. Namun, Shafa harus cosplay jadi abang-abang yang habis minum miras...