Shafa benar-benar merasa dirinya adalah seorang pecundang. Bisa-bisanya dalam 5 bulan terkahir dia tertipu dengan keluarga yang sok harmonis. Malam itu setelah menangkap basah si pengirim email Shafa memutuskan untuk keluar dari rumahnya. Ralat, rumah Prima.
Malam semakin larut tapi nyatanya nomor Hasbi belum juga dapat dihubungi. Shafa sudah misuh-misuh nggak jelas di depan warung nasi goreng yang masih ramai akan pembeli.
"Ni laki kemana sih," pekik Shafa kesal.
Wanita yang hanya membawa sebuah sling bag itu berjalan mondar-mandir sambil menggigiti ujung kukunya. Wanita itu pelan-pelan melirik ke arah halte yang berada di sebrang jalan. Di depan sana ada segerombolan lelaki yang menatap ke arahnya.
Shafa rasanya ingin nangis terus sembunyi di balik punggung lebar milik Prima. Atau paling tidak siapapun tolong bawa Shafa pergi dari Kota Jakarta yang mulai dingin ini.
"Bu Shafa?" Dengan gerakan refleks Shafa mendorong tangan yang baru saja menyentuh pundaknya lalu menoleh ke belakang untuk melihat sosok yang memanggilnya.
"Nana!" pekik Shafa kegirangan.
Shafa menghambur ke arah Narendra yang terbalut jaket denim malam itu. Narendra hanya membiarkan bosnya memeluk tubuhnya dengan erat. Dalam beberapa detik kemudian Narendra dapat merasakan bajunya mulai lembab. Karena itulah ia tarik tubuh Shafa menjauh, dan benar Shafa sedang menangis.
"Loh, buk. Kok nangis?" tanya Nana panik.
"Makasih banyak Na," ucap Shafa terbata-bata karena sambil menetralkan sesegukkannya.
"Makasih buat apa buk? Ibu ngode pengen nasi goreng?" Shafa tertawa dalam tangisnya, wanita itu menggeleng pelan lalu sekali lagi membawa Nana untuk membagi kehangatan bersamanya di tengah Kota Jakarta yang tak pernah tidur.
Makan nasi setelah pukul 8 malam sebenarnya adalah sebuah pantangan bagi seorang Shafa. Namun, untuk hari ini agaknya pantangan itu harus ia hilangkan. Pasalnya setelah menangis di pundak Narendra perut Shafa dengan tidak tahu malunya mengeluarkan suara 'kriuk' yang membawa wanita itu duduk di warung nasi goreng bersama Nana.
"Ibu berantem sama bapak?" tanya Nana.
Shafa menggeleng dan kembali menyendokkan nasi goreng miliknya. Wanita itu menyantap kerupuk disetiap akhir sendokkannya.
"Terus, udah jam 12 kok sendirian di luar? Nggak mungkin 'kan Pak Prima lupa jemput istrinya."
Shafa tersenyum simpul lalu berkata, "Cuma ada masalah dikit kok."
"Yaudah. Nanti selesai makan Nana anterin ke rumah, bahaya loh buk sendirian di luar begini," titah Narendra.
"Eh, jangan Na," cegah Shafa. Wanita itu meletakkan sendoknya dan menahan tangan Narendra yang siap untuk menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.
"Kenapa?" tanya Nana. Tangannya masih ditahan oleh Shafa karena itu Nana tidak dapat bergerak, dan pengucapannya menjadi tidak jelas. Nggak tahu kenapa tapi rasanya mulut Narendra akan tetap kaku sebelum bulir-bulir nasi itu memasuki rongga mulutnya.
"Saya nggak mau pulang Na." Shafa melepaskan tangan Nana dan kembali fokus pada piring nasi gorenganya yang hampir habis.
Keduanya sama-sama terdiam dan fokus menciptakan dentingan sendok untuk memenuhi rongga di perut mereka. Narendra menjadi orang yang selesai duluan, lelaki itu menggeser piringnya yang sudah kosong lalu meraih segelas es teh manis yang ia pesan sebelumnya.
"Ya, masa saya bawa ibuk ke kosan? Yang ada saya diarak warga buk."
Shafa menganggung membenarkan. Wanita itu menyusul Nana yang sudah selesai dengan sepiring nasi gorengnya. Shafa menyedot habis es teh manisnya dan bersendawa kecil. Wanita itu mengusap-usap perutnya kekenyangan.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONAT |Mark lee|
RomanceAwalnya Shafa cuma iseng nulis nama Prima, dosen muda di fakultasnya yang terkenal killer, di sebuah jurnal yang ia dapatkan sebagai hadiah dari pembelian donat seharaga 25k perbiji. Namun, Shafa harus cosplay jadi abang-abang yang habis minum miras...