Sebesar apapun amarah yang bersarang di hati Shafa, nyatanya masih tersisa sedikit rasa manis yang membuat perutnya membuncah. Hari-hari setelah Prima membuat sebuah pengakuan, kegiatan Shafa menjadi lebih berwarna. Gadis itu tidak lagi masa bodoh dengan outfit pergi ke kampusnya. Kadang-kadang Shafa juga sengaja menggunakan masker di malam hari sebelum jadwal bimbingan dengan Primaraka alias dosen pembimbingnya.
Mau marah juga gimana. Akhirnya Shafa memutuskan untuk menyimpan berkas itu sendirian. Amplop coklat yang diberikan Prima tempo hari masih tertutup rapat di laci kamarnya. "Aku rasa kita perlu cara lain untuk menyelesaikan masalah ini," ungkap Shafa.
"Cara lain buat apa?" Prima menaruh pensil yang digunakannya untuk memberikan tanda di lembar skripsi Shafa. Lelaki itu mengangkat alisnya heran, lalu dengan gerakan kilat ditutupnya bagian kajian teori skripsi Shafa.
"Masalah Papa sama Ayah."
Prima ikut terdiam. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya diam-diamnya. Tubuhnya gusar seraya menanti perkataan Shafa yang terpotong cukup lama. "Aku rasa, aku nggak berhak marah sama Ayah dan ikut memutuskan masalah ini. Papa, Mama, Ayah, Bunda, harusnya mereka sendiri yang menyelesaikan semuanya 'kan?"
"Kamu berhak yang ...." Prima tanpa sadar meraih tangan mahasiswinya ke dalam sebuah genggaman yang erat. Mata lelaki itu mendelik tidak suka atas raut wajah yang dilihatnya saat itu. Shafa menunduk dengan segala rasa bimbang dan tidak percaya dirinya. "Pak." Shafa segera menarik tangannya menjauh saat jari jempol Prima mulai bergerak pelan, searah dan penuh kelembutan.
"Maksud saya, Shafa. Kamu anaknya Papa. Sudah pasti kamu berhak ikut campur." Prima mengambil napas sejenak, senyumnya bergetar saat air wajah Shafa makin tak sedap dipandang matanya. "Ayah saya juga punya salah sama kamu. Sudah baca berkas yang saya kasih?"
Shafa menggeleng tegas. Gadis itu tentu saja tidak ingin sakitnya bertambah setelah melihat isi surat elektronik yang biasa dikirimkan Ayah pada Papanya. Shafa yang mau cari sakit. "Aku nggak mau tau. Shafa udah memutuskan untuk memaafkan Ayah pelan-pelan. Toh, selama kita hidup bareng Ayah selalu memperlakukan Shafa dengan baik. Aku lihat Ayah juga orang yang baik, kok. Aku yakin, Ayah punya alasan sendiri melakukan ini semua."
***********
Shafa tidak mengerti mengapa ia dapat dengan begitu mudahnya luluh pada Prima dan keluarganya. Wanita itu juga tidak mengerti mengapa hari-hari setelah Prima memberikannya sebuah amplop coklat terasa begitu menyesakkan kala dipikirkan. Hari itu Shafa tidak protes pada lelaki yang menggapai tangannya untuk digenggam selama perjalanan menuju parkiran kampus yang tidak memakan waktu lama.
"Kamu beneran maafin ayah secepat itu?" tanya Prima sambil mengayunkan tautan tangan mereka.
"Enggak lah!" pekik Shafa tidak terima. Wanita yang tingginya hanya sebahu Prima itu menghentikan langkahnya dan berdiri di depan Prima. Jari telunjuknya ia letakkan di bawah bibir dan ia gerak-gerak persis seperti orang yang sedang berfikir.
"Kamu harus bisa bawa Ayah datang ke rumah, mengakui kesalahannya pada Papa dan minta maaf. Kalau Papa aku maafin aku juga pasti bakal memaafkan semuanya," seru Shafa.
Prima terlihat ragu, lelaki itu memandang beberapa motor yang mulai mengosongkan area parkir lalu dengan suara yang cukup pelan ia bertanya, "Kalau Papa kamu nggak maafin gimana?"
Shafa tertawa lepas, wanita itu memegangi perutnya yang terasa tegang karena tertawa terbahak-bahak. Shafa meraih pundak Prima dengan tangannya, memberikan titik beban di sana agar lelaki itu menunduk dan dapat mendengar apa yang akan Shafa bisikkan.
"Papa aku galak," bisik Shafa. Prima semakin beringsut ketakutan. Lelaki itu tampak berdeham gugup saat tangan Shafa masih saja merangkul lehernya. "Tapi kalau kamu bilang, 'Saya cinta sama anak om' pasti Papa berubah jadi softie."
Prima menegakkan badannya, menatap ke arah Shafa yang sudah terpingkal-pingkal melihat ekspresi dosennya. Prima menarik tubuh Shafa untuk tegak dan menghadap ke arahnya. "Yaudah."
"I Love you." Shafa tidak tahu harus melakukan apa selain membiarkan pipinya menghangat dan memerah. Wanita itu tak menjawab pernyataan dari Prima karena menurut hal itu bukan sesuatu yang harus ia jawab.
Prima merentangkan tangannya, mengundang Shafa untuk masuk ke dalam pelukannya dan saling berbagi kehangatan di anatra ricuhnya parkiran kampus dikala senja. Shafa tidak terlihat akan menolak pelukan yang ditawarkan Prima. Namun, sebelum gadisnya itu masuk ke dalam dekapannya sebuah dorongan membuatnya berputar di pinggir jalan.
"Shafa!" Ya, teriakan Hasbi itulah yang membuat Shafa mendorong lengan Prima yang hampir menyentuh pundaknya.
"Kok kemarin Aa ditinggal, sih?" keluh lelaki itu pada Shafa. Shafa hanya tersenyum kaku lalu meraih lengan Hasbi untuk ia gandeng.
"Hgg, Anu. Pak Prima harus balik ke kantor terus aku mau langsung bimbingan. Iya 'kan Pak?" seru Shafa meminta penguatan. Lelaki bernama Prima itu mengangkat bahunya tidak mau tahu dan berjalan di belakang dua sejoli itu.
"Pak!" Prima berhenti jalannya dan mundur dua langkah saat Hasbi dengan tiba-tiba berhenti dan berbalik ke arahnya.
Prima menatap lelaki itu kebingungan. Hasbi meletakkan kedua tangannya dipinggang lalu dengan gaya sok keren ia mengitari Prima sebanyak tiga kali. Hasbi lalu berdecih pelan dan berkata, "Gaya doang yang keren. Traktir mahasiswa masa uangnya kurang tiga puluh ribu. Malu dong," ejek Hasbi.
"Saya nggak pernah bilang mau bayarin kamu," jelas Prima.
"Jadi yang dibayarin Shafa doang?" tanya Hasbi.
"Iya."
Hasbi terpelongo mendengar jawaban dosennya yang begitu pasti. Tak cukup sampai disitu dosen yang terkenal dengan kedisiplinannya berhasil membuat Hasbi menampar dirinya sendiri saat melihat tangan Shafa, wanita idamannya, digenggam oleh Bapak Dosen.
"Lah, kok?"
A Hasbi yang otw sirkel para sadboi :"
Medan, 22122021
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONAT |Mark lee|
RomansaAwalnya Shafa cuma iseng nulis nama Prima, dosen muda di fakultasnya yang terkenal killer, di sebuah jurnal yang ia dapatkan sebagai hadiah dari pembelian donat seharaga 25k perbiji. Namun, Shafa harus cosplay jadi abang-abang yang habis minum miras...