Shafa sudah bilang 'kan, kalau ia tidak akan pernah menyesali kehidupan barunya itu. Shafa ikhlas lahir batin, kok, jadi istrinya Primaraka Aksero. Di kehidupan ini Shafa punya semua yang ia impikan. Kerjaan yang santai tapi banyak duitnya, mertua yang lebih sayang Shafa dari pada anaknya sendiri. Dan yang paling penting, Shafa dapat Primaraka Aksero. Tolong jangan iri dengki.
Pagi itu belum tiga puluh menit Prima mengakhiri kelasnya, Shafa sudah berdiri di depan pintu. Tersenyum tipis pada beberapa mahasiswa yang menyapanya sebelum duduk di bangku milik mereka. Serta menatap tajam mahasiswi yang terang-terangan menatap lapar pada suaminya. Eits, udah halal boss!
"Pokoknya besok sebelum jam delapan pagi semua laporan sudah harus ada di atas meja saya. Ingat, dijilid menggunakan kerta jeruk berwarna kuning!" Kelas menjadi ricuh dalam seketia, ada yang ngedumel dalam hati, ada juga yang protes atas keputusan Prima dengan volume suara yang lebih besar dari kucing tetangga.
"Pak, beri kami keringanan, dong. Jam sepuluh gitu deadline-nya. Boleh ya pak?" Salah satu mahasiswi dengan kemeja biru itu mendekat, meraih kedua tangan Prima untuk ia genggam. Jujur saja, mahasiswi itu punya tubuh yang lebih berisi dari Shafa hingga beberapa kancing bajunya seakan hendak terlepas.
"Boleh ya, pak?" serunya lagi.
Namun setelah otak Shafa memberikan sinyal bahaya atas hadirnya ayam yang selalu diminati lelaki kampus itu, Shafa bergerak mendekat. Ia meraih ujung kemeja Prima yang masih rapi lalu menarik lelaki itu untuk sedikit menunduk. "Aku capek berdiri di depan terus," bisik Shafa. Kemudian lelaki di hadapan Shafa itu tersenyum simpul dan memindahkan tasnya dan menuntun Shafa untuk duduk dikursi dosen itu.
Shafa tersenyum penuh kemenangan melihat beberapa mahasiswi mulai menatapnya cemburu. "Saya janji akan mengerjakan tugas ini dengan sebaik mungkin," ujar wanita itu lagi. Prima tampak menghela nafas dan bersiap untuk menolak permintaan mahasiswinya sebelum kedua tangannya kembali diraih oleh Ranti, mahasiswinya. "Ya, ya, ya?"
"Yailah, sok imut banget. Saya timpuk juga nih," balas Shafa dengan suara yang cukup lantang, matanya masih fokus pada ponsel yang menampilkan gambar salah seorang chef terkenal di Indonesia. "Yang, jangan gitu!" Prima mendekati istrinya itu, memberikan tatapan tajam dan sedikit menyeramkan jika saat itu Shafa adalah mahasiswinya. Namun sekali lagi Shafa ingat bahwa Primaraka sudah ia taklukan.
"Kamu marah sama aku yang udah berdiri nungguin kamu hampir setengah jam? Kamu ngilatin aku begitu cuma karena dia? Kamu udah nggak sayang lagi sama aku?" Shafa menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Gadis itu takut sekali akan melepaskan tawa lebar yang ia tahan saat melihat wajah pucat pasi dosennya itu. Maksudnya mantan dosen.
"Ck, bukan gitu." Primaraka meraih wajah bulat Shafa. Mengapit pipi chubby itu dengan kedua telapak tangannya yang lebar sambil bertanya dengan suara rendah, "Sekarang kamunya mau gimana, hm?"
Shafa berani sumpah ia tidak pernah merencanakan hal sejauh ini. Suara Prima yang lembut dan serak dalam satu waktu benar-benar akan membuatnya menggila. Jadi sebelum wajahnya memerah sempurna Shafa bangun dari duduknya, merangkul lengan si suami dengan mesra sambil berkata, "Mau main ke mall."
<<<<<<<<<<>>>>>>>>>>>>
"Lebih gemes yang warna peach atau pink?" Shafa menunjukkan dua buah bando kelinci di hadapan suaminya sambil tersenyum senang. Senyumnya mereka sempurna hingga deretan gigi itu membuat Prima lagi-lagi tak dapat berkutik.
"Emang yang kemarin udah rusak? Kok beli lagi?" tanyanya. Shafa menghiraukan pertanyaan lelaki itu dengan melemparkan bando berwarna pink ke dalam keranjang yang sedang Prima bawa. Shafa meninggalkan rak-rak berisi aksesoris itu dan kini menghampiri jejeran piyama lucu yang membuatnya lagi-lagi tersenyum bak anak kecil.
"Aku cobain piyama boleh nggak sih?" Shafa yang membalikkan badannya secara tiba-tiba harus kembali merasakan tubuh hangat suaminya. Prima berada tepat di belakangnya dan kini wajah mereka sangat dekat akibat perlakuan Shafa yang tak terduga. "Piyama kamu banyak." Keluhan pertama Prima di hari itu membuat Shafa menghentikan pergerakannya. Jari lentik yang sebelumnya asik menggeser gantungan baju kini hanya menggenggam angin di bawah sana.
"Aku boros banget ya? Coba aja aku jadi wanita karir yang sukses, pasti kamu nggak perlu keluarin banyak uang sendirian begini."
"Apa aku nyusul orang tuaku aja ya?" Prima berdecak kesal lalu mengambil beberapa potong baju yang sepertinya menarik perhatian sang istri. Kemudian tanpa banyak bicara Primaraka membawa wanitanya ke bagian belakang toko. Di depan bilik ganti pakaian itu Prima menunggu Shafa sambil memainkan ponselnya, menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswanya.
"Pak!" panggil Shafa dari dalam bilik.
"Pak Prima!" panggilnya sekali lagi. Prima yang terlalu serius pada ponselnya seakan tuli kala itu. Maka setelah panggilan kedua tidak tergubris seorang lelaki berseragam pegawai memukul pelan pundaknya sambil berkata, "Bapak dipanggil anaknya dari tadi."
Prima hanya mengangguk kebingungan lalu menyingkap sedikit kain hitam yang menutupi bilik tersebut. Di dalam bilik itu Prima hampir tertawa kencang melihat Shafa yang kekusahan akibat rambutnya yang menyangkut dilabel harga hingga wanita itu harus terus mendongakkan kepalanya.
"Pak bantuin saya," pinta Shafa.
"Nggak mau,"
"Ini leher saya sakit, loh, pak."
Prima akhirnya berjalan mendekati wanitanya itu. Keranjang merah berisi bando yang letakkan begitu saja dilantai dingin pusat perbelanjaan sore itu. Primaraka memindahkan sebagian rambut Shafa yang tidak tersangkut, membiarkan leher polos istrinya terpampang nyata di ruang dengan pencahayaan minip toko itu. Kemudian Shafa dapat merasakan dengan jelas bagaimana nafas hangat Prima menyapa permukaan kulitnya, diikuti dengan beberapa kecupan singkat disana. Masih dalam posisi yang sangat dekat Prima berbisik di telinga istrinya, "Panggil yang bener."
"Pak, jangan gitu ...."
"Panggil saya dengan benar Shafa," bisik lelaki itu sekali lagi.
"Pak, leher saya pegel loh,"
"Kamu emang pengen dicium ya?" Prima kembali memberikan kecupan ringan dikulit putih Shafa. Shafa mati matian menahan nafasnya ketika Prima memberikan sedikt sensasi yang berbeda di daerah lehernya. Ah, Shafa rasanya ingin menenggelamkan wajahnya yang sudah panas betul ini kedalam sebaskom es serut. Ya, memang not make a sense. Maklum Shafa lagi anu.
"Pak saya teriak manggil security nih ya," ancam Shafa. Lelaki itu berhenti lalu menarik label harga yang tersangkut agar untaian rambut sang istri segera terbebas. Prima menekuk wajahnya ketika Shafa sudah meloloskan kemeja piyamanya. Di balik piyama pokemon itu masih ada manset yang membuat tubuh Shafa tercetak jelas. Setelah Shafa menggenakan kembali cardigannya, Prima keluar mendahului istrinya.
"Nih mbak," ucapnya ketus sambil memberikan sebuah kartu pada pegawai kasir yang menatap keduanya kebingungan.
"Ngambek nih ceritanya ...." Prima melipat kedua lengannya di depan dada sambil mengalihkan pandangannya pada beberapa pengunjung lain yang sedang berlalu lalang. "Yaudah aku pulang sendiri aja," seru Shafa saat kedua tangannya sudah dipenuhi dengan beberapa kantong plastik.
"Ih, sayang. Tunggu aku ...." Prima mengambil kartunya dengan buru-buru lalu mengejar Shafa yang saat itu sudah turun menggunakan eskalator.
Medan, 220821
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONAT |Mark lee|
Roman d'amourAwalnya Shafa cuma iseng nulis nama Prima, dosen muda di fakultasnya yang terkenal killer, di sebuah jurnal yang ia dapatkan sebagai hadiah dari pembelian donat seharaga 25k perbiji. Namun, Shafa harus cosplay jadi abang-abang yang habis minum miras...