Bicara soal tabiat rasanya jengkel dan malas langsung menguasai. Apalagi tentang tabiatnya orang tua yang selalu merasa benar. Sudah diberi tahu minta tempe. Eh, maksudnya sudah diberi tahu tetap diabaikan. Sudah dua minggu sejak debat a lot dengan Ayah yang berakhir begitu saja. Prima tidak marah. Tidak juga kabur atau mogok makan. Pria itu hanya melakukan aktifitasnya seperti biasa tanpa melibatkan kedua orang tuanya.
Perkara pakaian Prima menggunakan jasa laundry pinggir jalan yang kata Shafa wanginya lumayan. Perkara makan, Prima sudah menyiapkan tiga bungkus nugget di lemari pendingin rumahnya. Tenang, Prima nggak makan itu setiap hari, kok. Kan, Prima udah punya pacar.
Semua itu ia lakukan atas saran Shafa, pacarnya. Ya, keduanya memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih baru-baru ini.
"Sepatu yang putih udah jadi dicuci?"
Prima yang mulutnya penuh dengan sesendok nasi terpaku di tempatnya. Mata lelaki itu bergerak gelisah dan tangannya yang baru saja bebas dari sendok segera meraih tengkuk belakangnya. "Aduh, belum! Laundry mau nggak, ya, nerima sepatu aku yang udah berubah warna jadi abu-abu itu."
"Ck! Kebiasaan. Masa mau di-laundry? Minta tolong sama bunda aja, nanti ditaruh di belakang kulkas," jelas Shafa. Gadis yang duduk di hadapan dosennya itu bergerak mengambil tissu di tengah meja. Bagaimanapun keduanya kini masih berada di area kampus. Shafa akan bersikap sewajarnya dan Prima tidak boleh mancing-mancing.
"Aku, kan, masih perang dingin sama mereka. Lagian perkara minta maaf, doang, susah banget," sahut Prima. Lelaki itu mencebik sebal lalu kembali menyuapkan segumpal nasi ke dalam mulutnya.
Tiba-tiba perasaan bersalah dan ragu menyelimuti Shafa. Apakah ini semua benar? Shafa tidak sedang menjauhkan seorang anak dari keluarganya, kan? Gadis itu menunduk, merenung dan menautkan jarinya asal. "Aku rasa udah cukup. Semakin lama, mereka akan semakin tersakiti."
Ah. Prima langsung kehilangan selera makannya. Ini bukan hanya tentang bagaimana Prima menghiraukan kehadiran Ayah dan Bundanya. Bukan juga sekedar tentang hambatan cinta. Ini tentang mereka sendiri. Prima tidak akan pernah rela kedua malaikatnya itu menjadi bagian dari kesakitan orang lain. Prima tidak mampu barang untuk membayangkannya.
"Terus kita? Nyerah?" tanya Prima sarkas.
"Bukan gitu." Shafa menghela napasnya pelan-pelan lalu melanjutkan perkataannya, "Dianggap nggak ada itu nggak enak. Empat tahun. Empat tahun Mama selalu ngelewatin aku gitu aja. Seakan-akan aku ini hantu yang nggak bisa dia lihat dan dia dengar. Rasanya sakit. Ini pertama kalinya buat mereka, udah, ya?"
"Tanpa kamu sadar Ayahku yang udah melempar rasa sakitnya pada kalian. Dan kamu masih bilang cukup?"
Prima tanpa ragu meraih tangan Shafa yang masih bergelut. Dibawanya tangan itu ke dalam sebuah aroma kehangatan. "Ini bukan perkara yang pertama. Ini yang seharusnya, Shafa."
oo0oo0oo
Jam makan malam harusnya sudah selesai saat mobil Prima berhenti di pekarangan rumahnya. Setelah mengantar Shafa pulang dan berbincang sedikit dengan Papa gadis itu akhirnya Prima kembali lagi pada rumahnya yang terasa mencekam. Di depan pinta ada Ayah yang menyesap secangkir teh. Cairan cokelat itu masih mengebul dan terlihat pekat. Prima mengacuhkan eksistensi si pria paru baya, ia memilih untuk melepas sepatu pantofelnya dan segera menjalankan misi menggoreng nugget.
"Udah makan, Nak?" tanya Bunda.
Prima menoleh, menggeleng sebentar lalu kembali memasuki area dapur dengan lebih cepat. Sebenarnya ia tidak tega atau mungkin tidak akan pernah tega melihat Bundanya terduduk di depan seporsi makanan yang masih dihidangkan. Hatinya teriris tapi egonya masih menjerit. "Bunda masak sayur buncis. Dipanaskan dulu, ya?"
Sebelum Bundanya bangkit dari kursi Prima langsung berkata, "Nggak usah."
Kemudian suara Bunda tak lagi terdengar. Prima sibuk dengan minyak panasnya yang perlahan mengubah warna pucat nuggetnya. Pikirannya entah dimana. Ia resah, marah dan sakit bersamaan.
Hingga sebuah isakan lolos dari bibir bergetar Bunda. Prima yang sedang menyeduh segelas susu sontak menoleh. Ia berlari ke arah Bunda yang sudah menyembunyikan kepalanya di antara tumpukan siku. "Bunda ...."
Bunda masih terisak saat tanga lebar Prima mengusap punggungnya perlahan. Wanita itu lalu mengatakan sesuatu disela tangisnya, "Maafin Bunda. Bunda nggak tahu. Bunda nggak tahu cara jadi orang tua yang baik."
"Bun ...."
"Harusnya Prima bilang! Kita itu sama. Ini juga pertama kali Bunda jadi orang tua."
"Prima cuma minta Ayah dan Bunda minta maaf. Itu lebih dari cukup," ungkap Prima.
Bunda masih meracau dalam tangisnya hingga tak lama Ayah datang dari luar dengan wajah super galak. Lelaki itu mengetatkan wajahnya. "Kami cuma terlalu kalut dan takut. Takut kalau nanti masa depan kamu berantakan. Takut kalau hidupmu hilang arah di tengah perjalanan. Kami takut pada segalanya, Nak. Kami ini penakut."
Hari itu Prima setuju pada Shafa. Orang tua sama seperti kita yang pertama kali hidup sebagai seorang anak. Takut, gelisah, marah dan tak tahu arah. Mereka sama seperti kita yang banyak takutnya. Mereka terlalu banyak takut hingga kalut sendirian.
"Kamu tahu di mana alamat Pak Dirga?"
Hari itu Prima jadi ingat sebuah kalimat yang ia dengar dari radio di tengah malam. Katanya, kadang orang tua terlalu kalut hingga indranya tertutup. Mereka takut tak bisa menemani anaknya hingga akhir. Mereka takut semesta mencurangi pangeran dan putri kecilnya. Mereka memang egois, karena mereka adalah orang tua yang mencintai buah hatinya.
Medan, 23012022
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONAT |Mark lee|
RomanceAwalnya Shafa cuma iseng nulis nama Prima, dosen muda di fakultasnya yang terkenal killer, di sebuah jurnal yang ia dapatkan sebagai hadiah dari pembelian donat seharaga 25k perbiji. Namun, Shafa harus cosplay jadi abang-abang yang habis minum miras...