30. 1001 Cara

1.7K 175 43
                                    

Dulu ketika masih SD Prima selalu menemukan buku dengan judul yang diawali dengan angka 1001. Seribu satu cara memasak, seribu satu cara mendapatkan pekerjaan, seribu satu cara membuat kerajinan tangan atau berbagai judul lainnya. Masalahnya, kini Prima tengah membutuhkan buku seribu satu cara menyindir orang. Prima sudah pusing plus makan hati kalau menjalankan rencananya pada Ayah. Ayahnya itu terlampau baik atau bahkan kelewat nggak perduli. Prima juga nggak ngerti.

"Film yang kemarin nggak berhasil juga?" tanya Shafa yang asik mengaduk topping ice creamnya.

Keduanya memutuskan untuk drive thru dan makan di dalam mobil saja setelah langit mulai gelap. Perbincangan keduanya tak jauh-jauh dari perkembangan rencana menyindir Ayah. "Nggak sama sekali. Aku malah diceramahin," balas Prima.

"Kok bisa, sih? Kamu udah bilang yang aku suruh?" Lagi-lagi Prima mengangguk lemas. Lelaki itu kehilangan tenaga barang untuk menyantap sepotong ayam yang ada di pahanya. Kemudian, perlahan tapi pasti pundak Shafa menjadi tumpuan kepala Prima yang pusing setengah mati. "Capek banget, Yang."

Shafa tak menjawab, ia biarkan mata Prima terpejam sebentar selagi ia menghabiskan ice cream rasa oreo miliknya. Shafa menggeser bahunya sedikit, meraih eksistensi dari lelaki yang tersentak di sampingnya. Lalu alih-alih membuang wadah ice creamnya Shafa malah membawa benda itu ke pelipis Prima yang masih bersandar di pundaknya. Gadis itu terkekeh sebentar seraya berkata, "Nih. Biar dingin kepalanya."

Prima ikut terkekeh. Lelaki itu lalu meraih pergelangan tangan Shafa, menekannya agar hawa digin menyapa lekat kulit kepalanya. Shafa tersenyum tipis, tangannya bergerak pelan ke atas dan ke bawah, memeberikan sedikit sensasi pijat di kepala Prima. "Keknya butuh obat tambahan, deh, Yang."

"Apa obat tambahannya?" tanya Shafa. Gadis itu menarik diri duluan, ia rapikan sanggulan rambutnya lalu mengambil dompet kecil dari dalam tas.

"Cium." Prima tersenyum lebar, menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Coba kamu cium, pasti pusingnya lari."

Shafa terdiam di tempatnya. Dompet kecil yang berada di genggamannya diremat begitu saja. Belum lagi saat Primaraka mulai mengedip-ngedipkan matanya manja. Laki-laki itu bak berubah dalam satu detik.

"Yang ...."

"Gila," ujar Shafa sangkin tak bisa berkata-katanya. Prima mulai panik, wajahnya kembali tegang seperti sediakala.

"Yang ... bercanda."

"Mending Bapak cepetan nikah, deh. Serem saya lama-lama!"

Sejurus kemudian Shafa bergegas keluar dari mobil dosennya. Wajah gadis itu memerah karena udara dingin dan sikap Prima yang sejujurnya sangat menggemaskan. Shafa sendiri sampai tidak yakin bisa berada di dalam itu dengan raut tenang. Alias, dia juga salting.

Tentu Prima tak tinggal diam, lelaki itu ikut mengampiri Shafa yang berjalan bolak-balik sejak tadi. Lelaki itu diam saja, matanya mengikuti Shafa yang masih bergerak gelisah. "Yang ...."

"Shafa, Pak! Shafa! Jangan panggil yang yeng yong lagi!"

Prima mengernyit heran dan merasa keanehan. Tapi untuk kesekian kalinya lelaki itu diam saja mendegar suara Shafa yang meninggi. "Oke ... Shafa. Jadi kita harus gimana?"

"Ekhm. Pak Prima, di antara seribu satu tips and trick yang kita tahu tinggal tersisa satu cara," ucap Shafa.

"Berarti ini cara terakhir. Cara ke seribu satu?"

Shafa mengangguk membenarkan ucapan dosennya. Lalu gadis itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada sambil berkata. "Kita cuma punya cara ini."

"Nggak ada lagi pesan tersirat. Ngomong langsung sama Ayah. Terus terang, ya?"

<<<<<<<>>>>>

Butuh waktu seminggu hingga akhirnya Prima berani menjalankan rencana terakhir mereka. Shafa benar, mereka hanya punya satu kesempatan lagi. Mau tak mau, suka tak suka, pada akhirnya Prima harus berterus terang kepada Ayahnya tentang dirinya, Shafa dan keluarga gadis itu yang berhasil diporak porandakan.

Malam itu Prima sama sekali tidak berniat untuk menciptakan suasan tidak nyaman di acara makan malam bersama keluarganya. Selepas pulang dari kampus Prima segera mengganti kemejanya dan duduk bersama bunda yang sedang menyiapkan makan malam.

Menu hari cukup membuat Prima lagi-lagi teringat pada gadis benama Shafa yang sangat menyukai sop kepiting. Hatinya menghangat akibat rindu dan tegang bersamaan. Coba saja lelaki itu bisa membawa Shafa bersamanya, setidaknya akan ada sebuah tangan hangat yang menggengam tangan Prima di bawah meja.

Saat Ayah berdiri di anak tangga terakhir Prima merasakan nafasnya tersenggal dan udara di sekitarnya seakan menipis. Sejurus kemudian, Ayah duduk tepat di sampingnya Prima jadi memutar otak dua kali untuk menyusun kata-kata yang pas. Bibirnya mulai terasa kelu. Namun, wajah Shafa lagi-lagi membuatnya berusaha menegarkan diri.

"Yah," panggil Prima.

Lelaki tua itu menoleh dan mengangkat kepalanya sedikit selagi menunggu kelanjutan dari apa yang akan putranya katakan. Prima menahan nafasnya sebentar lalu berkata, "Ayah nggak punya niat untuk berhenti mengirimkan ancaman ke saingan ayah?"

"Maksud kamu apa?" tanya Ayah tak mengerti.

"Pak Dirga. Apa lumpuhnya beliau nggak cukup?"

"Jangan ngaur kamu."

Prima terganga. Ayahnya bahkan masih sanggup mengelak saat nama korban sudah Prima lantangkan dengan tegas. "Ayah masih ngelak? Korbannya aja udah jelas, loh."

"Prima," tegur Bunda.

"Ayah tau. Hal yang paling Prima banggakan di dunia ini adalah terlahir sebagai anak Ayah. Prima sebangga itu punya seorang ayah yang menginspirasi banyak orang. Prima juga bangga punya ayah yang berwibawa dan selalu disegani banyak orang."

"Jangan buat Prima malu sama diri sendiri yah," cicitnya sebelum kembali menunduk menatap nasi yang sebelumnya sudah disiapkan bunda.

"Anak kecil sepertimu tahu apa, Prima?" Ayah terkekeh kecil dan melanjutkan makannya. Nada mengejek yang sangat mengusik ego Prima. "Tau, semuanya. Bahkan laki-laki yang katanya anak kecil ini punya bukti untuk dibawa ke kantor polisi."

Ayah tercengang, lelaki itu menatap putranya lamat-lamat dan selanjutnya ia kembali tertawa mengejek. "Kamu fikir, ayah ngelakuin itu semua buat siapa?" Ada getaran yang asing di sana. Mata Ayah mulai memicing ke arah Prima yang juga tak mau kalah.

"Kalau ayah nggak kirim kata-kata sampah itu. Dia pasti akan bangkit dengan mudah, terus biaya penelitianmu gimana? Ayah nggak bisa kalau lihat kamu kesulitan dalam segi materi," kata Ayah.

"Tapi anaknya Pak Dirga kesulitan dalam segala hal karena itu yah!"

Prima segera meraih tubuh Ayahnya yang bergetar hebat akibat amarah. Bunda tak kalah kalutnya, wanita itu segera memeluk tubuh Ayah. Tangan ayahnya yang mulai keriput Prima usap pelan berharap Ayah dapat segera menetralkan emosinya dan kembali berkata, "Prima udah sebangga itu punya orang tua seperti ayah dan bunda. Nggak perlu materi buat membuktikan sehebat apa kalian sebagai orang tua. Aku ini anak paling beruntung yang lahir di keluarga kalian."

"Besok kita minta maaf, ya, yah?"

LANGSUNG UPDATE KARENA MARK LEE LIVE SAMBIL GENJRENG GITARRR

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

LANGSUNG UPDATE KARENA MARK LEE LIVE SAMBIL GENJRENG GITARRR.

AAAAA, SELAMATKAN AKUUUUUU.


Medan, 14012022

PRIMADONAT |Mark lee|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang