13. Bogor

1.6K 197 60
                                    


Ini ketiga kalinya alunan karya Bryan Adams yang berjudul Please Forgive me memenuhi pendengaran keduanya. Pagi itu dianatara subuh dan sepi, diantara decitan mobil dan dinginnya Kota Hujan, Prima dan Shafa enggan menatap satu sama lainnya. Kota Hujan nyatanya lebih anggun diantara gelapnya langit subuh.

"Ambil jaketku di belakang," ujar Prima dengan suara parau. Shafa menoleh, menghentikan kegiatannya menggambar dikaca mobil yang berembun. Wanita itu menganggukan kepalanya, meraih sebuah jaket hitam yang tergeletak di belakang sana.

"Nih." Shafa meletakkan jaket itu di paha Prima yang fokus pada jalanan di hadapannya. Lelaki itu menoleh lalu menggeser kain tebal di pahanya untuk lebih mendekat pada Shafa, "Kamu yang pake." Wanita itu tak menjawab apapun, ia hanya mengambil jaket tersebut dan menyampirkannya di betisnya yang tidak terbalut apapun.

Kemarin selepas dari lapangan proyek Juan mengantarkan anak mantan bosnya pulang. Juan dan Shafa sama-sama sepakat untuk melupakan percakapan yang pernah terjadi di tenda bubur ayam pagi itu. Juan hanya tidak ingin perdebatannya akan menarik jauh Shafa dari dirinya. Ia sudah sejauh ini, mundur bukan pilihannya.

"Tuh kan! Bunda udah suruh Prima jemput dari jam 3 loh!"

Shafa tersenyum tipis, menyalimi Bunda dan langsung pergi ke kamarnya. Ia acuhkan seorang Primaraka yang tengah menatap tajam Shafa dari sofa yang berada di depan televisi. "Eh, Sayang." Shafa kembali menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap Bunda yang ada di belakangnya.

"Kebaya yang di atas kasur langsung kamu packing aja ya. Biar besok nggak ribet."

Shafa menautkan alisnya kebingungan lalu berkata, "Kebaya buat apa Bun?"

"Loh, Prima nggak ngomong?" Shafa menggelengkan kepalanya.

"Ayah tuh encoknya kambuh lagi. Kamu sama Prima gantiin kita ke Bogor, ya? Anak Pakdhenya Prima nikah," ujar Wanita paru baya itu.

Shafa melirik ke arah Prima yang melihatnya dengan wajah tak berdosa. Lelaki itu mengangkat bahunya sebentar lalu berbalik untuk kembali pada televisi yang sedang ia tonotn. "Hm, kalau Shafa capek nggak usah pergi aja, deh. Nanti bunda minta maaf aja sama Pakdhenya Prima." Shafa semakin yakin Juan sedang tidak waras saat berdebat dengannya. Bagaimana bisa, wanita sebaik ini menjadi alasan kehancurannya? Bagaimana bisa rumah yang penuh dengan kehangatan ini adalah sebuah jurang baginya? Kesimpulannya Juan sudah gila.

"Nanti Shafa beresin pakaiannya bun."

Maka setelah pernyataan tersebut, disinilah Prima dan Shafa. Di depan sebuah Venue yang ada di daerah Bogor Utara dengan langit cerah yang tampak sangat menenangkan hari itu. Primaraka turun dari mobil terlebih dahulu setelah menghentikannya di area parkir.

"Istrimu mana?" Seorang pria yang sudah cukup berumur menghampiri Prima.

"Biasa." Keduan laki-laki itu tertawa lepas. Setelah merapikan anak rambut yang cukup berantakan Shafa ikut keluar dari dalam mobil, berdiri di samping Prima dan menyalimi Pakdhe serta Budhe yang baru saja menghampiri mereka.

"Ya Ampun, gantengnya Budhe udah nyampe. Ayo masuk." Wanita itu menarik tangan Prima menjauh sementara Shafa tertinggal di belakanganya. Wanita itu membenarkan posisi kain jariknya sebentar lalu berusaha menyamai langkah kaki kedua orang tua dan suaminya.

Prima menghentikan langkahnya, menoleh ke belakang dan berkata, "Sini pegang tangannya. Nanti hilang."

<<<<<<<<<>>>>>>>>>>

Shafa bersyukur encoknya ayah sedang kambuh. Maksudnya, datang ke Bogor menjadi salah satu pilihan yang menguntungkan. Jika Shafa tebak, si pengantin pria pasti berasal dari keluarga kaya raya. Bayangkan saja, hampir seluruh makanan yang tengah viral disajikan di pesta itu. Shafa kalap dan meembiarkan Prima yang sibuk bercengkrama dengan beberapa saudaranya.

PRIMADONAT |Mark lee|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang