18. Sweet Home

1.4K 173 30
                                    


Semua pasti pernah menonton drama sweet home 'kan? Iya serial netflix yang diperankan oleh aktor Song Kang itu sedang ramai diperbincangkan di dunia maya. Kalau dipikir-pikir suasana rumah Prima malam itu mirip drama sweet home. Ya, judul doang yang manis aslinya serem.

Malam itu di meja makan Shafa berkali-kali berdecih meremehkan. Hal ini tentunya mengundang pertanyaan dari Prima dan keluarganya. Di kursi paling ujung itu ada Ayah, seorang laki-laki yang Shafa pikir adalah pahlawan.

"Kamu sakit gigi Shaf?" tanya bunda setelah meletakkan sayur asem yang baru saja matang. Tangan wanita itu menyentuh pundak Shafa yang menghadang dan dalam detik berikutnya Shafa menghempaskan tangan wanita yang sebelumnya ia bangga-banggakan.

Shafa mengatur nafasnya sejenak, pikirnya melaju pada percakapannya dengan Bang Juan sore hari tadi.

"Jangan gegabah Shaf. Kita belum punya bukti apa-apa."

Ya, lelaki itu benar. Shafa tidak bisa berteriak pada dua orang atau tiga orang termasuk suaminya sendiri itu. Maka, dengan mengambil nafas dalam-dalam Shafa tersenyum ke arah Bunda sambil berkata, "Maaf bun, refleks. Aku habis nonton film horor."

Kemudian ruangan itu dipenuhi tawa ayah yang berat bercampur batuk. Diam-diam dalam hati Shafa menyumpahi lelaki itu dan ikut tertawa bersamanya.

"Bunda kirain kenapa. Habisnya dari tadi kamu diem mulu sih," ujar Bunda.

Prima tersenyum saat ayah menepuk pelan punggung tangannya lalu laki-laki itu menatap ke arah Shafa yang tenagh menyiapkan nasi serta lauk di piring makannya. Shafa melirik Prima sekilas, waniat itu nampak tak perduli dengan tatapan tajam yang diberikan suaminya.

"Bunda mau tau nggak ceritanya tentang apa?" tanya Shafa.

"Apa?"

"Tentang sebuah keluarga yang pura-pura baik." Prima meraih tangan kanan istrinya, memperingati wanita itu dari sorot tajam yang ia berikan dari tadi. Shafa mendorong tangan Prima menjauh lalu kembali melanjutkan sesi sorytellingnya.

"Terus, nih, ya. Satu keluarga itu ternyata isinya pembunuh semua! Malah bunuhnya pake kata-kata ancaman dari email lagi. Nggak banget," ujar Shafa

Ayah tersedak tepat saat ucapan Shafa selesai. Bunda dan Prima sibuk mengambilkan segelas air serta memukul-mukul pelan punggung lelaki itu itu. Shafa sendiri tak banyakyang ia lakukan. Shafa hanya mengangkat bahunya tidak perduli lalu kembali pada nasi yang ia siapkan untuk Primaraka.

"Plot twist banget, ya, yah? Kagetnya gitu banget, kayak wisata masa lalu."

Prima berdecak marah, lelaki menciptakan bunyi decit ketika mendorong kursinya ke belakang dan menarik tangan Shafa untuk masuk ke dalam kamar. Lelaki itu mencengkram lengan Shafa dengan keras hingga di kulit putih Shafa kini terdapat bercak kemerahan.

Setelah masuk ke dalam kamar, Prima cepat-cepat mengunci pintu kamarnya. Lelaki itu lagi-lagi mendorong Shafa untuk duduk di pinggir kasur. Kemudian Prima berdiri di hadapan Shafa yang ikut menatap nyalang ke arahnya.

"Maksudnya apa coba ngomong gitu sama ayah?" Shafa melipat tangannya lalu dengan dagu terangkat wanita itu berdiri, menyamakan posisinya dengan Prima yang sudah sepenuhnya terbakar.

"Emang aku ngomong apa?" tanya Shafa santai.

Prima membalikkan badannya untuk sejenak berteriak, lelaki itu berusaha mati-matian untuk tidak meledak sebelum waktunya. "Kamu pikir aku bodoh? Kamu nyindir ayah 'kan?"

"Kalau emang kesindir berarti sadar diri sih."

"Shafa!" Prima berteriak ke arah Shafa sambil kembali mencengkran pundaknya. "Yang kamu tuduh itu ayah aku!"

"Yang berbaring di tanah sana juga Papa aku Prim," balas Shafa cepat.

Wanita itu melepaskan tangan Prima dari pundaknya lalu perlahan langkah kakinya mulai terdengar. Shafa melangkahkan kakinya ke depan hingga mau tak mau Prima ikut mundur bersamanya.

"Kita dibesarkan dengan cara yang berbeda Prim."

Shafa terkekeh sejenak lalu kembali meluruskan perkataannya, "Ya gimana nggak beda. Emang dia sempurna emak gue perek."

"Shafa cukup!" Prima masih mencoba menghentikan wanita yang sudah kepalang hancur itu. Prima tarik kembali tangan Shafa dan mennuntunnya untuk kembali duduk di pinggir kasur.

"Lo minta gue dengerin apa kata keluarga gue 'kan?" Prima mengangguk membenarkan.

"Gimana bisa. Gue sendiri nggak punya arti sebuah keluarga."

"Yang ...." Prima iku duduk disamping Shafa.

"Gue cuma cewek bar-bar yang nggak punya rasa malu karena nyokap gue sendiri nggak pernah malu buat ngenalin pacar barunya."

"Kita sebeda itu," putus Shafa.

<<<<<<<<<<>>>>>>>>>>>

Prima sudah berkali-kali meminta Shafa untuk bersikap biasa saja pada Ayah dan Bundanya. Menurut Shafa tingkah seperti ini sudah cukup sopan menghadapi para pembunuh itu. Maka dengan wajah acuh tak acuh Shafa keluar dari kamarnya dengan setelah berwarna silver.

"Shafa ayo sarapan dulu," ajak Bunda.

Shafa yang terngah sibuk dengan timpukkan sepatunya tidak menyahut. Wanita yang bisanaya paling hebih sial pembagian makanan itu malah asik duduk termenung menatapi tanman kaktus.

"Yang ...." Shafa menoleh ke belakang dan mendapati Prima yang berdiri di belakangnya. Lelaki itu mengusap puncak kepala Shafa sayang.

"Sarapan dulu, gih," tukas Prima.

Shafa hanya menggeleng cepat dan sambil meraih kunci mobil dari dalam tas Shafa juga ikut membalas jawaban itu dengan kera da jelas.

"Takut dirancun aku makan dan minum dari sini." 

Medan,27092021

PRIMADONAT |Mark lee|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang