12. Stop Senyam senyum

1.8K 226 70
                                    


Dalam lima belas hari kerjanya Shafa sama sekali tidak pernah mendapatkan tugas lapangan. Sebagai seorang site manajer kerjaan Shafa ya cuma pilah pilih bahan, sama pekerja. Terus sisanya? Ya, dikerjain yang lain.

Sejujrnya Shafa merasa muak juga karena pekerjaannya terkesan sangat diringankan. Maka itu ketika sang ayah mertua mengizinkannya untuk turun langsung ke lapangan, Shafa kepalang bersemangat.

Sangkin bersemangatnya Shafa dan Prima sampai melewatkan sarapan di rumah. Berhubung perjalanan ke lapangan konstruksi butuh waktuh sekitar dua jam, Shafa memutuskan untuk berangkat pukul lima pagi dan tentunya bersama dengan Primaraka yang asik misuh-misuh di kursi pengemudi.

"Yaudah, sih, nanti kita drive thru di Mcd." Shafa meletakkan ponselnya dan menggeser kaca mobil agar menampilkan penampilannya pagi itu. Shafa menyelipkan beberapa anak rambutnya yang berserakan.

"Ya masa makan di mobil!" sahutnya balik.

"Terus maunya gimana? Kalau makan di ouletnya nanti aku telat."

"Tau ah." Prima berhenti berbicara dan hanya fokus pada stir mobilnya. Namun, di antara ramainya kendaraan di Kota Jakarta pagi itu tidak dapat menyembunyikan wajah kesal pria itu.

Shafa jengah setengah mati, karena itu ia melemparkan dompetnya ke arah Prima sambil berkata, "Nih! Lo ambil nih semuanya! Makan sana sendirian. Lagian dari tadi pagi ada mulu alasan lo nganterin gue. Kalau nggak mau gue kerja tuh bilang!"

Keduanya saling terbakar emosi, baik Shafa dan Prima sama-sama kesulitan bernafas karena berusaha sekuat mungkin untuk menahan amarahnya yang siap meledak. Namun, setelah meledaknya amarah Shafa Prima tak lagi tahan. Mobil yang ia kemudiakan berhenti di pinggir jalanan yang cukup macet.

"Lo? Nggak salah? Buat apa berpendidikan kalau ngomong sama suami aja nggak ada adabnya begitu? Udah bakar aja ijazahmu."

"Buka pintunya!"

<<<<<<>>>>>>

"Jauh-jauh ke proyek, makannya tetap bubur ayam." Shafa menatap malas Juan yang asik menyesap kopi hitamnya. Lelaki itu masih menggunakan helm pengaman dan rompi berwarna hijau yang menandainya sebagai seorang pegawai kostruksi. Wajah juan cukup lusuh karena menginap di lokasi proyek.

"Dek, kenapa?" tanya lelaki itu saat Shafa berhenti mengaduk bubur ayamnya. Kemudian yang dilakukan gadis itu adalah menunduk menatapi buburnya yang sudah tercampur dengan sempurna.

Juan meraih tangan Shafa, menghentikan wanita itu untuk kembali mengaduk wadah berisi bubur itu. "Aku habis berantem sama Prima." Setelah kalimat itu keduanya dilanda keheningan, hanya ada suara besi beradu bercampur dengan dentingan sendok dari pelanggan tenda bubur ayam yang sudah ramai pagi itu.

"Papa pernah cerita tentang kecelakaan 10 tahun yang lalu?" Wanita itu menggeleng lemah lalu menjatuhkan sendoknya hingga muncul bunyi denting yang cukup keras.

"Gimana menurut Shafa?"

"Ya gimana? Itu udah takdir bang. Papa sendiri yang bilang begitu," seru Shafa.

"Selalu saja begitu. Papamu itu, selalu bilang nggak pa-pa." Juan meletakkan cangkir kopinya yang sudah kosong. Tubuh yang sudah terpenuhi kafeinnya itu lalu mendekat dengan kedua tangan yang kini menopang wajah tirusnya.

"Papa memang begitu," sahut Shafa lagi.

Juan tersenyum tipis lalu memandangi wajah adik kecilnya yang cerewet. Shafa Yuandari, anak dari bosnya. Sepuluh tahun yang lalu, Juansyah Arman hanya seorang fresh graduate yang wara-wiri mencari pekrjaan. Juan seorang sulung dengan dua orang adik perempuan yang hidup tanpa ayah. Kemudia Juan si lelaki tangguh bertemu dengan lelaki hebat bernama Yuanda Dirgantara.

Pertemuan yang cukup singkat hingga Juan tidak pernah menyangka akan menjadi saksi hidup dari seorang ayah dan suami yang begitu hebat, dari seorang direktur yang penuh dedikasi dan dari seorang atasan yang selalu mengayomi.

Dulu sekali Juan pernah bertanya pada Pak Dirga atau Papa, di sore hari selepas bertemu klien penting. Di sore hari saat Juan diberikan kesempatan mempresentasikan proyek mereka untuk pertama kalinya. Juan pernah bertanya alasan laki-laki itu menerima orang tak berpengalaman sepertinya, alasan laki-laki itu membiarkannya hidup sebagai seorang pegawai dan seorang anak.

"Semua orang butuh mencoba untuk sukses. Papa cuma kasih kamu kesempatan untuk membuktikan diri sisanya itu hasil dari kerja kerasmu."

"Tapi saya, kan, bisa saja gagal pak."

"Yasudah. Kalau gagal dicoba lagi. Jadi assisten saya itu cuma permulaan. Pokoknya sepuluh tahun lagi, kamu nggak boleh kerja sama saya. Cari posisi yang lebih baik, atau buat kantormu sendiri. Karena sepuluh tahun mendatang kamu cuma anak saya, bukan asisten lagi."

Maka Juan benar-benar tak bekerja dengan Papa lagi. Lelaki itu berhasil meraup gaji tiga kali lipat dibandingkan gajinya saat bekerja dengan Pak Dirga. Adik perempuannya dapat berkuliah dengan fokus dan sang Ibu juga fokus pada warungnya.

"Kira-kira kali ini apa papa bakal bilang nggak papa saat tau kamu bahagia sama Prima?" Shafa mengerutkan dahinya. Lelaki itu kembali tersenyum tipis sambil memandang wajah wanita yang tengah kebingungan di depannya. Lalu dengan suara parah Shafa kembali menyahuti perkataan Juan dengan sebuah pertanyaan meragu, "Harusnya begitu 'kan?"

"Ya kalau kamu nikahnya nggak sama Prima Papa pasti nggak papa."

"Maksudnya?" tanya Shafa yang sama sekali tak mengerti arah pembicaraan mereka. Shafa meneguk teh hangat yang ia pesan sebelumnya karena tenggorokannya terasa sangat kering.

"Papa emang baik. Tapi dia nggak sebaik itu sampe ngerelain putri kesayangannya tinggal di rumah yang sama dengan musuhnya."

"Di rumah itu, kamu tinggal bersama orang yang merencanakan kecelakaan Papa. Di rumah itu juga kamu tinggal sama orang yang bantuin mama buat kenalan sama banyak laki-laki di luar sana. Orang-orang di rumah itu yang udah ngambil hidupmu Shafa!"

"Bang!" bentak Shafa tidak terima.

Wanita itu tegak dari posisi duduknya dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Nafasnya yang memburu membuat dada wanita itu kembang kempis tak beraturan. "Mereka yang lo maksud adalah orang-orang yang buat gue merasa dihargai sebagai seorang anak!"

"Tapi mereka bukan keluarga lo Shaf!" pekik Juan tak kalah nyaring.

"Mereka cuma sampah yang ngambil Papa dari Lo! Dari kita!"

"Mereka cuma sampah yang ngambil Papa dari Lo! Dari kita!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ngopi ngapa dek?

Medan,20092021

PRIMADONAT |Mark lee|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang