23. Bendera Putih

1.4K 170 23
                                    

Kalau kebanyakan orang mengobati hatinya dengan musik yang ia dengarkan melalui earphone, menurut Shafa live music lebih menarik. Ketukan stik pada drum mewakilkan amarah yang menjarahi hatinya. Sedangkan petikan gitar serasa perlahan mencabuti duri-duri yang membuat hatinya terluka.

Tadi selepas sarapan nasi uduk Hasbi mengantarkan Shafa ke salah satu coffe shop milik temannya. Selain ada fasilitas wifi, ada juga live music yang benar-benar membantu Shafa untuk memperbaiki moodnya.

Selama terlalu asik mengangguk-anggukkan kepalanya sesuai irama sampai tidak sadar akan kedatangan Rezki. Lelaki mungil itu berdiri di belakang Shafa lalu menyentuh pundak istri dari dosennya pelan-pelan,

"Loh, Rezki?" pekik Shafa saat berbalik ke araha Rezki yang sedang tersenyum lebar.

Rezki menggaruk-garuk kulit kepalanya yang terasa gatal. "Anu, ibu sendirian?" tanya Rezki. Shafa melirik ke penjuru café dan menggeleng setelahnya karena memang malam itu coffe shop milik Fitri, teman Hasbi, cukup ramai.

"Bukan itu, buk. Ada yang mau ketemu sama ibu," ucap Rezki.

Alis Shafa menaut wanita itu memicing ke arah Rezki dengan segala kecurigaan. "Pak Prima," cicitnya pelan.

"Wah, kamu cepuin instastory close friend saya ya?" Shafa menarik tangan Rezki yang hendak pergi dari hadapannya.

"Hngg ... Anu. Saya disuruh bapak buk," kata Rezki. Shafa semakin menarik tangan Rezki keras, jaga-jaga lelaki mungil itu akan lari dari sesi intograsinya.

"Serasa Zara saya. Tega ya kamu begini sama saya." Shafa menarik keras tangan Rezki hingga lelaki itu terduduk lemah di sampingnya.

"Maaf buk ... Rezki nggak bermaksud, tapi bapak."

"Saya tuh orangnya nggak pernah dendam lo, Ki. Tapi kalau begini keknya saya harus minta maaf duluan." Rezki menatap Shafa dengan wajah yang ingin menangis. Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepalanya lucu sambil menggosokkan telapak tangannya menyatu di hadapan Shafa.

"Yang." Shafa menoleh ke belakang dan menghela nafas panjang melihat sosok yang tidak lain dan tidak bukan adalah Primaraka Aksero.

Shafa mengalihkan pandangannya saat Prima duduk di hadapannya dan Rezki. Lelaki itu pasti baru pulang dari kantornya, soalnya Shafa bisa mencium bau parfum bercampu hawa pendingin dari lelaki itu.

Prima melipat tangannya di dada dan wajahnya terlihat sangat datar. Shafa jadi bingung sendiri, bukannya yang harus marah itu Shafa ya? Kenapa jadi Prima yang mukanya lebih galak. Prima memberikan kode pada Rezki untuk segera meninggalkannya dan Shafa sendirian.

Rezki mengangguk dan pelan-pelan melepaskan tangan istri dosennya itu dari tangan kecilnya. Rezki tersenyum kecut lalu menunduk dan pamit pada pasangan suami istri itu.

Setelah Rezki meninggalkan keduanya yang tersisa hanya keheningan. Prima tetap pada wajah datarnya yang menyeramkan dan Shafa juga masih teguh untuk tidak menatap ke arah Primaraka. Semuanya terasa begitu hening hingga Prima menyerah dan memulai pembicaraan.

"Kenapa enggak pulang?" tanya Prima dengan suara tenang. Ya, Prima memang sedang memasang wajah watados-nya. Namun, dalam hati sebenarnya lelaki itu sedang teriak-teriak dan menahan diri untuk tidak membawa Shafa sesegera mungkin ke pelukannya.

"Tanya aja sama orang tuamu," jawab Shafa.

Prima mendesah pasrah dan kembali bertanya, "Gimana mereka bisa tau kalau kamu nggak pulang sama sekali?"

Shafa menolehkan kepalanya dan mendapati Prima dengan wajah sok seramnya. Ah, Shafa jadi emosi sendiri melihatnya. Wanita itu menyunggingkan senyumnya ke satu arah, mengambil cangkir berisi latte miliknya lalu berkata, "Masih aja dua tua bangka itu."

"Shafa," tegur Prima.

Shafa kembali berdecih melihat Prima masih membela kedua orang tuanya. Sepertinya lelaki itu tidak tahu apa yang Shafa saksikan malam itu. Shafa sudah menduga, Ayah dan Bunda Prima itu cocok sekali jadi artis, tolong indosiar rekrut saja mereka.

"Ada apa Shafa? Cerita sama aku," ujar Prima. Kali ini nada bicaranya terdengar lebih kembut. Lelaki itu juga meraih tangan Shafa untuk ia genggam.

"Kamu pasti nggak bakal percaya," cicit Shafa sambil menahan tangis. Shafa tidak kuat kalau begini ceritanya. Masalahnya tangannya yang ada digenggaman Prima kini diusap-usap pelan dengan ibu jarinya.

"Kamu bahkan belum ngomong apa-apa."

Selanjutnya Shafa tidak mengatakan apapun. Wanita itu hanya menunduk, menatapai tangannya yang kian terasa hangat dalam genggaman Prima. Ibu jari lelaki itu juga tidak berhenti memberikan udapan lembut disana.

"Pembunuh papaku itu Ayah." Shafa tahu mendengar hal itu Prima pasti akan menghentikan usapannya.

Lelaki itu menatap Shafa tidak percaya dan setelah mengatur nafsnya yang mulai menggebu Prima berkata sambi berdecih pelan, "Itu lagi. Stop it Shafa."

"Kamu yang stop percaya sama mereka!" sanggah Shafa cepat. Wanita itu menarik tangannya menjauh lalu ia gunakan untuk mengusak rambutnya frustasi. "Aku denger sendiri Prim! Aku denger sendiri gimana Ayah mengakui kejahatannya."

"Nggak mungkin!" Lagi, Prima menyangkal setiap perkataan yang Shafa utarakan. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya kuat-kuat serta kepalan tangannya di bawh meja perlahan-lahan meluakai jari yang lain.

"Kalau kamu belum bisa menerima kenyataan lebih baik kamu pulang Prim. Urus dirimu," ujar Shafa yang melihat penampilan lelaki itu. Ada kumis tipis di dagunya, kemeja dan celana yang Prima kenakan juga saling bertabrakan warna serta tidak ada dasi yang menghiasi leher lelaki itu.

Di antara keheningan itu, Shafa membuka pesan dari Hasbi yang ia dapat beberapa menit yang lalu. Lelaki berdarah sunda itu mengirimkan sebuah foto untuk menjelaskan alasan lelaki itu pulang terlambat. Namun yang membuat tawa Shafa lepas adalah bagaimana lelaki itu bergaya di depan kamera.

"Kamu tidur dimana malam ini?" tanya Prima.

Shafa yang tadinya fokus pada ponsel mengangkat kepalanya lalu menjawab pertanyaan Prima, "Di rumah Hasbi. Tapi nanti---"

Prima rasanya tidak tahan mendengarkan nama lelaki lain saat ini. Ya, Primaraka sedang terbakar cemburu. Hatinya gelisah atas perkara yang tidak ingin ia percayai. Prima dilanda dilema terbesar di dalam hidupnya antara cinta dan orang tuanya.

"Kamu nggak jadiin kasus Papa alasan buat kabur sama Hasbi 'kan?"

Shafa melotot tak percaya atas perkataan Prima kali itu. Shafa sampai tidak bisa berkata-kata saat mendapat tuduhan yang seratus persen tidak benar. Wanita itu kehilangan kekuatan pada otot mulutnya yang dapat ia lakukan adalah mengusap sudut matanya yang mulai berair.

Kemudian, saat bibir Shafa yang kaku hendak membalas perkataan itu sebuah pukulan melayang ke arah Prima yang mencoba mengambil tangan Shafa sehabis menghapus air mata.

"Oalah Jancok!" pekik Hasbi yang baru saja datang dengan satu pukulan di tulang pipi Primaraka.

"Oalah Jancok!" pekik Hasbi yang baru saja datang dengan satu pukulan di tulang pipi Primaraka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Medan,29092021

PRIMADONAT |Mark lee|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang