9. Sayang

3.1K 276 73
                                    



Prima sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu berada di belakang Shafa. Maka, pagi itu Prima membawa wanitanya pulang. Prima memenuhi keinginan yang diutarakan Shafa sambil menangis malam tadi. Disinilah mereka berada, di antara harumnya bunga kamboja dan tanah. Prima tak tahu harus melakukan apa pada wanita yang tengah meringkuk di samping nisan ayahnya. Karena sejatinya Prima buta akan kehilangan.

"Pa, aku pulang dulu ya. Nanti aku pasti bakal kembali ke papa dengan segala hal yang lebih jelas," seru Shafa dengan suara serak. Prima mengusap pundak istrinya sebelum membantu wanita itu untuk bangkit.

Pagi itu Kota Jakarta masih sama, masih ramai dengan hiruk piruknya. Maka, setelah Prima mengajaknya untuk menyantap bubur ayam senopati Shafa hanya mengangguk dan menyenderkan kepalanya barang sejenak.

"Padahal aku pengen banget punya foto keluarga pas wisuda," seru Shafa tiba-tiba.

"Nanti kita foto."

"Beda," sanggah wanita itu cepat.

Shafa kembali menjadikan lampu merah sebagai objek terpentingnya. Dalam hati Shafa ikut menghitung mundur angka-angka yang muncul di sana. Saat ini Shafa tak punya tenaga untuk menertawai seorang ibu-ibu dengan helm macan di depan sana. Shafa juga tidak punya tenaga untuk menoleh pada Prima yang sedari tadi menatap kearahnya.

Hingga ponselnya berdering Shafa masih memperhatikan ramainya jalanan. Prima dapat dengan jelas melihat nama Hasbi di layar ponsel istrinya. Jadi saat Shafa hendak menghubungkan panggilan tersebut Primaraka membuatnya mengaktifkan fitur loadspeaker.

"Cangcimen... cangcimen...." Shafa tersenyum kecil mendengar suara Haasbi begitu panggilan tersambung.

"Orang tuh salam dulu, a. Mana ada yang langsung jualan cangcimen," jawab Shafa. Wanita itu meredakan tawa kecilnya dan kembali menyahuti Hasbi di sebrang sana.

"Loh? Sekarang udah nggak gitu?" Hasbi dapat dengan jelas mendengar tawa Shafa yang meledak. Bahkan Prima yang sedang duduk di samping Shafa ikut tersenyum melihat wanitanya teratwa selepas itu, walau dalam hati Prima sedang melafalkan sumpah serampah pada Hasbi yang berhasil membuat istrinya tersenyum.

"Jangan sedih-sedhi atuh fa. Ntar kamu diare loh."

"Hubungan sedih sama diare tuh apa ya?" Shafa kembali terkikik geli di sampingnya Prima dengan wajah yang memanas berdeham kecil.

"Nggak ada sih. Aa cuma keinget sama yang disebelah kamu." Shafa melirik pada Prima yang wajahnya sudah memerah. Prima sendiri Cuma bisa mengeratkan cengkramannya pada stir mobil, ia berusaha mati matian agar tidak merusak kembali mood Shafa.

"Shafa cantik, mau jalan sama Aa kasep teu?"

"Nggak dulu!" Prima merebut ponsel Shafa dan mengakhiri panggilan tersebut. Shaf sendiri tidak terlihat protes. Wanita itu malah tersenyum menggoda padanya sambil berkata, "Kok dimatiin sih?"

"Temenmu itu makin nggak sopan aja. Ngajak istri orang jalan, mana pake muji muji cantik segala." Shafa kembali terekekeh selanjutnya wanita itu melipat kedua tangannya di dada, menganggkat dagunya sombong dan berkata, "Kalau kata A Hasbi, sih. Shafa itu wanita yang paling cantik sedunia."

Suara tawa Shafa kembali terdengar kali ini berpadu dengan suara Prima yang ikut larut dalam perkataan sombong istrinya. Prima berani bertaruh tawa Shafa diantara macetnya jalanan kota lebih indah dari sayupnya daun daun hijau dilain tempat sana.

"Tapi Hasbi bener sih."

"Apa?"

"You're the most beautiful person in this world," seru Primaraka.

PRIMADONAT |Mark lee|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang