Katanya tidak ada yang selamanya di dunia ini. Orang, waktu, kesempatan dan rasa. Semua punya porosnya masing-masing. Seperti Shafa yang melepaskan Mamanya, Papa yang melepaskan istrinya, dan rumah Shafa yang ditinggal sang nyonya. Selamanya punya arti sendiri dalam hidup Shafa.
Shafa belajar bangkit dari serpihan rumahnya yang hancur. Kala itu bukan hanya dirinya, bersama lukanya yang masih basah Shafa harus menarik Papa keluar bersamanya. Shafa pasti pernah merasa rindu, atau bahkan sering. Namun lagi-lagi Shafa sadar rumah barunya lebih perlu dirindukan karena menurut Shafa rasa rindu punya waktu yang paling lama.
"Balik aja, A. Tadi katanya nemenin makan doang."
"Iya. Sekalian ajak Pak Dosenmu itulah. Kan kasian kalau dia mati karena ngerjain penelitian sambil kelaparan," ujar Hasbi.
"Heh!" Sontak Shafa menyahut tak terima.
Hasbi terkekeh pelan lalu ia matikan mesin mobilnya yang sudah terparkir rapi di halaman rumah penelitian. Siang itu matahari cukup menyengat, jadi daripada keduanya harus berdebat sambil mencair, Hasbi memilih membuka suara sebelum mereka keluar.
"Coba disuruh keluar Ayangnya," kata Hasbi.
"Nggak mau."
"Kenapa nggak mau, sih?" tanya Hasbi.
Shafa mengalihkan pandangannya ke jendela yang masih tertutup rapat. Kata Hasbi biar AC buatan yang mendinginkan. Sejujurnya gadis itu takut dan bingung jika ditanya kenapa. Ia hanya lelah? Entahlah Shafa sendiri juga masih meraba-raba, lelah seperti apa yang ia rasakan saat ini.
"Coba sini. Ceritain yang ada di otak kecilmu itu sama Aa. Kasian udah kecil penuh pula."
Shafa sempat menoleh memandangi raut wajah Hasbi yang menjadi lebih tegas. Rahangnya mengetat dan senyuman di wajahnya hanya terukir sedikit. "Aku takut."
"Takut kenapa, Shafa?"
"Kalau dia mikirnya aku lebay gimana? Soalnya aku sendiri juga nggak tahu, lelah macam apa yang buat aku uring-uringan."
Hasbi terkekeh pelan lalu tangannya yang bebas bergerak untuk menghadiahi sebuah usapan acak di puncak kepala Shafa. Dulu, saat Shafa mengakuiu hubungannya dengan Prima, Hasbi merasa ditipu habis-habisan. Ia sempat menjauh, menghindari segala hal yang berkaitan dengan Shafa dan menghilang. Namun, hal itu hanya berlangsung selama satu minggu.
Selama satu minggu itu Hasbi sadar bahwa perasaannya untuk Shafa sudah lebih dari sekedar cinta. Hasbi menyayangi Shafa, ia perduli dan selalu mau tahu. Maka lebih dari menjadi seorang kekasih Hasbi selalu ingin menjadi orang yang berdiri di samping Shafa dalam kondisi apapun.
"Kalau kata Aa, mah, cinta itu ibarat dua buah magnet. Saat kedua magnet itu terus menempel area sekitarnya jadi ikut kotor 'kan? Coba, deh, keduanya kamu jauhkan sebentar. Saat salah satunya lepas dari genggaman pasti dia akan langsung menempeli magnet satunya 'kan? Bahkan menempel lebih erat. Coba dibicarakan, maumu bagaimana maunya bagaimana? Kalau masih sama-sama kuat coba beri jarak. Biar kalian masing-masing mencari tahu sebenarnya posisi dia di hati kamu itu apa."
"Aa, tuh, ikut program titik nol buat promosi bisnis biro jodoh, ya? Kok lancar banget ngomongnya?"
Hasbi tentu terkekeh geli lalu dengan wajah paling songong Hasbi mengusak rambut yang menutupi dahinya. "Lebih ke promosi diri, sih. Biar cepet sold out."
Keduanya tertawa bersama hingga tak sadar atas kehadiran sorang lain di samping mobilnya. Dengan ragu-ragu, Prima mengetuk jendela mobil Hasbi untuk sekedar memastikan di dalam sana, di balik kaca hitam mobil Hasbi, ada gadisnya yang sedang tertawa.
"Wah! Panjang umur banget lo, Bro." Hasbi menurunkan seluruh kaca mobilnya dan membiarkan Prima menatap lurus pada Shafa yang tak berani menoleh ke samping. Gadis itu dengan kaku menatap pemandangan kosong di depannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONAT |Mark lee|
RomanceAwalnya Shafa cuma iseng nulis nama Prima, dosen muda di fakultasnya yang terkenal killer, di sebuah jurnal yang ia dapatkan sebagai hadiah dari pembelian donat seharaga 25k perbiji. Namun, Shafa harus cosplay jadi abang-abang yang habis minum miras...