8. Ah, masa?

2.9K 333 73
                                    

"Aku nggak tau aa ngomongin apa dari tadi. Rencana apa?"

Shafa memijat kepalanya yang semakin terasa berat. Sejak Prima meninggalkannya berdua bersama Hasbi lelaki itu terus terusan meracaukan sesuatu yang tidak Shafa pahami sama sekali. Janji apa? Memangnya Shafa punya rencana apa sih?

"Mana aku tau," kata Hasbi.

Shafa berdecak malas wanita itu kemudian kemballi membiarkan rasa creamy memenuhi indra perasanya. "Aa bercandain aku lagi ya?"

Hasbi itu punya tabiat yang sangat usil. Dulu sewaktu mereka masih merasakan hiruk piruk dunia perkuliahan jokes garing Hasbi satu-satunya penyelamat mental Shafa. Ya, keduanya memang beda angkatan, beda fakultas pula. Namun lelaki asal Bandung itu selalu saja menempelinya dan Jihan.

"Aih, fa. Kamu teh kenapa sih? Kamu beneran lupa atau pura-pura lupa?"

"Aku serius a. Nggak paham aku tuh sama yang kalian bicarain," jawab Shafa dengan tegas.

"Kamu keenakkan jadi istrinya pak dosen?" Nada bicara Hasbi saat itu entah mengapa membuat Shafa merasa sangat kesal. Napasnya mulai tidak beraturan karena marah. "Yaudah, sih. Kamu tinggal ceritain lagi apa rencana dan janji aku sama Jihan. Ribet banget."

Hasbi menghela nafasnya sejenak sembali kembali berkata, "Prima itu bukan orang baik fa. Orang itu, keluarga itu, nggak sesempurna yang kamu bayangkan. Mereka yang udah hancurin mimpi terakhirmu."

"Mimpi terakhir aku?" Shafa menyerit kebingungan lalu setelah berfikir untuk beberapa saat wanita itu kembali menjawab dengan ragu, "Foto wisuda seperti keluarga bahagia?" Hasbi mengangguk membenarkan.

"Kalau itu sih nggak masalah." Shafa tertawa lega. Wanita itu menyeruput jus wortel milik suaminya dan tersenyum tipis pada kakak tingkat yang mecintainya. Bukan, Shafa bukannya mau kegeeran atau pamer. Namun satu universitas bahkan Prima sekalipun pasti hafal berapa kali seorang Hasbi Maulana menyatakan cintanya. "Karena sesungguhnya skripsi adalah masalah terbesar saya."

"Tapi mereka teh, alasan kamu jadi yatim piatu. Masih nggak masalah?"

<<<<<<<<<<<<>>>>>>>>>>

Flashback

"Aku baru tau Papa jago masak." Shafa yang masih terbalut seragam SMA-nya itu mengacungkan keduan jempolnya pada sang papa yang tersenyum tipis di kursi roda.

Sore itu sepulang sekolah Shafa langsung mendapati semangkok sop kepiting di atas meja makan. Kemudian tanpa melepas seragamnya Shafa langsung melemparkan tasnya dan duduk bersama ayahnya yang mondar-mandir ke dapur demi memberikan tatanan meja yang sempurna.

Jika Shafa harus memilih satu orang untuk terus hidup bersamanya, orang itu adalah Papa. Lelaki yang semakin tampan dengan kaos partai dan kursi rodanya. Tiga tahun lalu, Papa mengalami kecelakaan lalu lintas yang membuat salah satu kakinya tidak lagi dapat berfungsi. Seakan tidak cukup mematahkan jalannya, perusahaan yang Papa rintis sejak sepuluh tahun harus beralih kepemilikan dan Papa dinyatakan bangkrut.

Saat itu Shafa hanya seorang gadis remaja berusia 15 tahun. Ia bahkan belum terbiasa dengan seragam putih abu-abunya saat sang ayah tidak lagi bisa membawanya berjalan-jalan dengan motor di taman kota. Shafa hanya gadis SMA saat ia dituntut memahami dunianya yang tak akan kembali sempurna.

"Ma, ayo makan! Papa buatin sop kepiting loh!" teriak Shafa.

Tak lama seorang wanita paru baya muncul di tangga. Gaun selutut berwarna merah membuat wanita itu tampak sedikit lebih muda. Shafa menyerit kebingungan sambil menanti kedatangan Mamanya. "Rapi bener. Mau kemana ma?" tanya Shafa.

"Mau ketemu temen," jawab Mama.

Shafa memang cuma gadis 15 tahun tapi ia tahu betul maksud dari kata teman yang diucapkan oleh Mamanya. Ini bukan pertama kali, Mama pergi keluar bersama temannya. Shafa tau betul siapa lelaki yang ia panggil om Dion, lelaki yang selalu membawa Mama keluar sore hari dan kembali hampir tengah malam.

"Itu mah bukan temen biasa." Shafa berdecih pelan lalu kembali meraih sendok yang sempat ia letakkan. Shafa hanya fokus pada mangkok sop di hadapannya dan mati matian menahan air mata yang dalam hitungan detik mampu meluncur begitu saja.

"Ngomongnya kak. Itu mama kamu loh," tegur Papa yang baru kembali dari dapur untuk mengembalikan sebuah piring yang sebelumnya ia siapkan untuk istrinya. "Mama macam apa yang kerjaannya selingkuh terus." Shafa tidak lagi dapat menahan air matanya. Mama selalu begitu, bersikap kasar pada Papa lalu pergi bersama selingkuhannya.

"Shafa!" Papa berteriak pada Shafa. Lelaki itu mearik pundak Shafa yang sudah bergetar karena menangis, pundaknya dicengkram erat oleh lengan berurat Papa.

"Ayah dan anak sama-sama nggak berguna. Buat mata sepet aja."

Shafa terbakar emosi. Tangan Papa terlempar jauh karena tubuh Shafa yang tegak secara tiba-tiba. Matanya melotot tajam pada wanita yang telah melahirkan. Tubuhnya masih bergetar hebat tapi tatapannya seakan tak ingin menumpul sedikitpun.

"Wanita macam apa yang setiap hari keluar bersama lelaki lain padahal suami dan anaknya sedang kelaparan di rumah." Papa mendorong kursi rodanya mendekat.

"Wanita macam apa yang kerjaannya video call-an sama laki-laki lain saat suaminya sendiri lagi teriak-teriak minta tolong karena jatuh dari kamar mandi." Mata Shafa yang membesar terus meneteskan air mata.

"Shafa!" tegur Papa sekali lagi.

"Wanita seperti itu apa pantas disebut sebagai seorang istri? Seorang ibu?" Shafa berdecih lalu menarik tubuh Mamanya untuk mendekat. Kemudian dengan nada yang keras Shafa berbicara tepat ditelinga wanita itu.

"Dia lebih pantas disebut pe-la-cur." Shafa mengejakan kata terakhir itu dengan menekankan setiap suku katanya.

Sepersekian detik Shafa dagunya mengeluarkan darah. Cairan merah itu mengucur dengan sangat deras hingga menyatu dengan air matanya. Perih. Matanya menunduk, menatap sebuah garpu dengan genangan darah yang berada disekitarnya. Kemudian, Shafa menoleh pada Papa yang ikut menangis setelah melemparkan besi itu ke wajah putrinya.

"Jangan begitu fa," seru Papa sambil terisak.

Selalu begitu, Shafa yang marah kepada ibunya dan Papa yang marah kepada Shafa karena telah berkata kasar pada istrinya. Shafa benci. Ia benci melihat Papa diperlakukan tidak baik dan dia benci karena Papa selalu membela wanita yang menyakitinya.

<<<<<<<>>>>>>>>>

Kamar Prima malam itu hanya dipenuhi dengan suara denting jarum jam sayup-sayup Shafa juga dapat mendengar gemercik iar dari arah kamar mandi. Selang beberapa menit Prima keluar dari kamar mandi dengan handuk yang bertengger di lehernya.

"Yang, dingin banget ...." Prima melemparkan handuknya kesembarang tempat lalu meloncat ke atas tempat tidur. Ia tarik tubuh Shafa mendekat lalu membawanya pada dekapan pada tubuhnya yang dingin sehabis mandi.

Shafa hanya diam saja saat Prima semakin menariknya pada hangatnya pelukan lelaki itu. Dari tempatnya, Shafa bisa melihat bagaimana rahang tajam Prima tercetak indah. Bagaimana bulu mata lentik lelaki itu melambai indah.

Kemudian saat sebuah kecupan mendarat pada kepalanya air mata Shafa berhasil lolos. Wanita itu menangis dan mengundang tanya dari suaminya yang kini merenggangkan pelukan mereka.

"Kenapa yang?"

"Aku kangen Mama Papa," jawab Shafa sambil sesegukkan.

"Hm."

"Kita ketemu Papa ya," pinta Shafa.

Dan Shafa baru saja menyadari bahwa setiap Shafa membahas perihal orang tuanya tubuh lelaki itu akan menegang. Seperti malam itu.

PRIMADONAT |Mark lee|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang