28. Mau mantu yang mana?

1.8K 188 32
                                    

Akal sehat Shafa sedikit berbisik kala Prima mengatakan kebenarannya, katanya maafkan saja, kan tinggal dicegah bareng-bareng. Awalnya Shafa setuju tapi hatinya membelenggu. Papa adalah pusat dunia Shafa, alasan tangis redupnya setiap malam dan senyum getirnya ditiap pagi. Lalu apa semuanya akan berjalan semudah itu?

Katanya sosok ayah adalah cinta pertama bagi putrinya. Hal itu benar adanya, Papa adalah satu-satunya lelaki non brengski yang Shafa miliki. Seorang lelaki yang kulitnya berkeriput, tangannya kadang gemetaran setelah menelan segelas kopi hitam. Shafa jatuh cinta pada lelaki yang bersedia memijak tumpukan kaca sebelumnya. Tidak ada manusia yang bisa menghalangi rasa sakit, tapi setidaknya kita akan sakit bersama, begitu maksudnya.

"Loh? Kok cepet? Katanya mau main ke kosan Jihan?" Papa yang duduk di korsi rodanya tersenyum lebar. Di tangan lelaki itu ada sepiring nasi dengan telur dadar di atasnya, tak lupa bentuk lingkaran yang diciptakan kecap manis.

Shafa mendekat. Ia lempar tas sandang serta beberapa buku yang ia pegang ke arah sofa. Kemudian, Shafa mengambil alih piring di tangan Papa. "Papa baru mau makan siang?" Jarum jam sudah menyapa angka tiga saat lelaki itu menganggukkan kepalanya lemah. Pasti wanita itu pergi berkencan lagi, pikir Shafa.

"Shafa masakin Capcay mau nggak? Di kulkas ada bakso ikan," tawar Shafa. Gadis itu tersenyum semangat saat Papa kembali mengangguk. Bersama langkahnya yang ceria Shafa membawa kursi roda Papa menuju dapur, sepiring nasi tadi yang letakkan begitu saja di meja makan.

Sebelum berkutat dengan bahan masak, Shafa mengambil sebuah karet gelang yang terselip di antara gelas. Jarinya yang lentik bergerak cepat untuk membuat sebuah simpul di rambutnya. "Pake ayam goreng enak, nih. Aku gorengin, ya?"

Papa tak lagi menyahut tapi senyum lebarnya tak berkedut sedikitpun. Diam-diam Papa mengusap sudut matanya yang berair dengan punggung tangan. Lelaki itu sama bersyukurnya dengan Shafa. Memang tak ada yang begitu spesial dari putri kecilnya yang hobi tidur. Shafa hanya gadis kecil yang sering mengumpati sendal temannya saat bermain di lapangan. Shafa si gadis kecil yang sering buat anjing Pak Frans ngamuk dan menggonggong sepanjang hari. Ya, gadis itu adalah hadiah paling spesial yang pernah diberika Tuhan pada Papa.

Suara percikan minyak membuat Shafa mundur tergesa, untungnya badan kecil gadis itu menghantam sudut kursi roda Papa bukannya vas bunga berbahan kaca. "Hehe. Aku cuma kaget, kok!" belanya. Gadis itu kembali mendekati kompor.

"Anak Papa udah besar, ya. Udah pinter banget masaknya," puji Papa.

Gadis yang bergulat dengan wajan itu tersenyum tipis. "Shafa udah punya pacar, ya? Atau kamu itu sebenarnya pacaran sama Hasbi?"

"Enggak, kok!" Meski wajahnya sedikit merona Shafa jelas-jelas membantah perkataan Papanya. Gadis itu mengangkat spatulanya tinggi-tinggi lalu menggerakkannya bak lampu jalan. "Minyaknya, Nak."

Shafa segera menaruh sptula di sekita penggorengan. "Lagian Papa, sih. Aa Hasbi mana pantes sama aku yang nulis proposal aja nggak kelar-kelar." Setelah sepotong ayam di atas wajan mulai kecoklatan Shafa segera meniriskan. Gadis itu berlalu pada menu kedua yang akan di masaknya, capcay.

Tangannya dengan cekatan memotong sayur kol dan brokoli. Ia mengupas tiga siung bawah merah serta satu siung bawang putih lalu semua bahan itu ia cincang halus. Setelah suata desisan terdengar nyaring, Shafa kembali membalikkan badannya. "Memangnya Papa mau mantu yang gimana?"

"Ya terserah Shafa, dong. Yang kaya Hasbi juga boleh. Buat Papa, sih, yang penting laki-laki itu memperlakukan kamu lebih baik dari ayah. Dia mencintai kamu lebih dari dirinya sendiri. Terus, dia itu harus percaya sama kamu sepenuhnya. Dia harus punya orang tua yang baik, yang sayang sama kalian. Yang pasti dia harus mapan, sih. Masa anak ayah mau dikasih makan telur mata sapi terus tiap hari," jelas Papa.

PRIMADONAT |Mark lee|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang