24. 100K as ongkos pulang

1.4K 172 35
                                    

Prima menyentuh sudut bibirnya yang robek dan mengeluarkan darah. Sementara itu Shafa meringis kecil atas pertikaian yang terjadi antara Prima dan Hasbi. Wanita itu berjalan mundur saat Prima membalas pukulan yang dilayangkan Hasbi padanya.

Kedua lelaki itu sama-sama dikuasai oleh amarahnya. Kerah kemeja masing-masing sudah berantakan dan beberapa kancing baju Hasbi terlempar entah kemana.

"Mulut lo jaga bos!" pekik Hasbi sambil menarik kerah baju Prima tinggi-tinggi.

"Kelakuanmu mirip berandalan," ucap Prima. Pria itu kemudian berdecih dan meludahkan darah yang berasal dari sudut bibirnya.

Lagi, Hasbi terbakar emosinya. Ia lepaskan tubuh Prima yang terkangkat hingga mantan dosennya itu teduduk di lantai. "Yang penting bokap gue bukan si banci yang sok-sokan jadi pembunuh. Mana ngasih anacamannya lewat surat. Surat elektronik lagi. Laki begitu?"

Prima langsung menegakkan tubuhnya, ia tarik badan Hasbi yang jelas lebih kecil itu ke sudut ruangan. Dihantamkannya punggung lelaki itu pada tembok coffe shop yang cukup ramai. Beberapa pengunjung memekik ketakutan.

"Lo nggak usah ikut campur masalah keluarga gue!" teriak Prima tepat di wajah Hasbi yang tidak enyiratkan ketakutan sedikitpun.

"Oh, pembunuh masih lo anggap keluarga juga?" Prima kehilangan kesabarannya dan meninju wajah Hasbi berkali-kali. Pengunjung yang berada dekat dengan perkelahian mereka perlahan pergi satu persatu.

Fitri mengusak rambutnya kasar wanita dengan celemek coklat itu lalu berhenti di samping Shafa yang sudah terisak hebat. Fitri meraih pundak Shafa untuk ia rangkul, tak lupa Fitri usap pelan punggung Shafa yang bergetar karena takut bercampur isak.

"A! Udah nggak usah dilawan lagi," seru Shafa sambil terisak.

Hasbi melirik ke arah Shafa dan Fitri lalu bukannya berhenti Hasbi malah menambahkan luka di wajah Prima sambil memekik, "Lo liat Shafa anjir! Bisa bisanya lo nuduh dia yang enggak-enggak."

"Ini rumah tangga gue, nggak usah ikut campur." Hasbi tertawa lebar lalu dengan tangan kosong ia pukul-pukul pelan pipi lelaki di hadapannya. Hasbi membenarkan posisi rambut Prima yang sudah tak beraturan. "Sadar juga lo bangsat! Yang lo bilang mau kabur itu istri lo sendiri asu!"

Shafa menggerang frustasi saat kedua lelaki itu tidak lagi mendengarkannya. "Gue pengen cabut. Lo punya motor nggak Fit?" tanya Shafa.

Wanita bernama Fitri itu lalu mengangguk paham, berjalan ke arah sebuah ruangan untuk mengambil kunci motor bebeknya. Dengan sedikit terburu-buru, Fitri memberikan kunci motor itu pada Shafa.

<<<<<<>>>>>>>

Angin malam seakan mempersilahkan Shfa untuk berkendara tanpa tujuan malam itu. Bulir disudut matanyapun sudah mengering akibat angin yang menerpa wajahnya saat berkendara. Shafa rasanya ingin teriak jika dia tidak ingat Jakarta adalah kota yang tidak pernah tidur.

Motor bebek berwarna merah muda itu cukup bersahabat hingga mesin itu berhenti di simpang jalan karena habisnya bahan bakar. Shafa bingung ingin marah pada Fitri atau dirinya sendirinya yang tidak memperhatikan garis meteran bahan bakar yang tak lagi bergerak.

Malam itu Shafa sedang misuh-misuh sambil mendorong motor merah jambu. Shafa tidak mengerti mengapa kakinya berhenti melangkah ketika menemukan sebuah toko anak-anak yang sangat mencolok.

Tunggu.

Shafa buru-buru mengambil ponsel dalam saku celananya, melihat jam digital di lockscreen-nya. Toko anak-anak mana yang masih buka di tengah malam begini? Shafa jadi ngeri sendiri mau beristirahat disana.

PRIMADONAT |Mark lee|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang