7. Bukan Ex-Boyfie

3.5K 334 125
                                    

Jadi seorang perempuan itu susah-susah senang. Perempuan memang punya banyak hak tapi kewajibannya lebih dari yang dibayangkan. Salah satu alasan yang buat Shafa kadang nyesel harus terlahir menjadi seorang perempuan adalah menstruasi. Jahat emang ngomong begitu, tapi Shafa berani sumpah menstruasi memang se-ngeselin itu. Bayangkan aja, selama tujuh hari bakal ada 'anu' di-anumu. Terus kalau hari-hari pertama bakal ada air terjun. Belum lagi nih, kalau bocor kemana-mana, kan Shafa mager nyucinya.

"Sayang, ayo makan." Panggilan Prima tersebut membuat Shafa menarik selimutnya lebih tinggi.

Prima berdecak malas lalu mendekat ke arah kasur tempat Shafa berbaring. Ia berjongkok di depan Shafa yang wajahnya penuh dengan peluh. Diselipkannya anak rambut Shafa yang berantakan dan memberikan kecupan singkat di kening wanita itu. "Bunda masak sop kepiting tuh. Ayo makan dulu, yang," bisik Prima.

"Nanti."

Prima bangkit dari duduknya, berjalan mengitari kasur dan ikut berbaring disamping Shafa. "Sakit banget perutnya? Makan dulu, ya? Sedikit aja." Shafa kembali menggelengkan kepalanya. Kemudian ia biarkan Prima meletakkan dagunya diantara perpotongan lehernya yang basah akibat keringat.

"Bau banget yang," ujar Prima.

Mendengar hal itu Shafa langsung membalikkan badannya lalu melemparkan bantal guling tepat ke wajah tampan suaminya. "Emang kenapa kalau bau?" pekik Shafa. Prima tak kesakitan atau protes lelaki itu malah terkekeh.

"Ya kenapa?" tanya Prima nyolot.

"Kamu yang kenapa!" jawab Shafa tak kalah nyolot.

"Ya apa?"

"Yang ...." Shafa benar-benar tidak punya tenaga untuk meladeni Prima yang terus menjawabi pertanyaannya sambil tertawa kecil. Shafa sudah mati-matian agar air matanya tidak terbebaskan, sedangkan Prima matanya menyipit berkali-kali saat tawanya menggelegar di kamar bercat putih miliknya.

"Uluh... uluh..." Prima melemparkan badannya ke arah tempat tidur, membawa Shafa yang sudah berkaca-kaca matanya untuk kembali berbaring bersamanya, di pelukannya. Prima membiarkan Shafa dipelukannya terisak pelan. Di peluknya Shafa layaknya seorang bayi besar yang kesulitan tidur saat malam.

Ia pukul-pukul paha Shafa yang tubuhnya begetar, tangan kiri yang Shafa jadikan bantalan juga ikut mengusap rambut Shafa yang kusut.

"Yang ...." Shafa mendongakkan kepalanya lalu menggerakkan alisnya naik turun bertanya tanya mengapa lelaki dengan dekapan hangat itu memanggilnya.

"Tanganku berdarah."

<<<<<<>>>>>>>>>>

Menurut Shafa, kepiting itu salah satu menu yang paling enak tapi bikin mager. Secara makan kepiting itu banyak tahap sebelum enak, pokoknya ribet. Jadilah setelah Prima berhasil menariknya untuk duduk di meja makan Shafa masih belum menyentuh makanannya. Shafa hanya duduk diam di depan semangkok sop kepiting dan sepiring nasi disampingnya.

"Kok belum mulai makan?" tanya Prima. Lelaki itu mengusapkan tangannya yang basah pada jelana jeans yang tengah ia kenakan lalu duduk di hadapan Shafa.

"Suapin," rengek Shafa.

Pagi itu Shafa dan Prima memang sedang berduaan saja di rumah. Ayah dan Bunda sedang menghadiri acara pernikahan salah satu koleganya. Shafa menghidupkan televisi berukuran 32 inchi yang selalu digunakan ayah untuk menonton program bung Karni itu.

Shafa menoleh saat hangatnya nasi terasa di pipi kanannya. "Aaa ...." Shafa hanya menurut, menerima sesuap besar berisi nasi dan daging kepiting.

"Pinternya sayang aku," seru Prima kemudian melanjutkan kegiatannya untuk memisahkan daging dan cangkang kepiting.

PRIMADONAT |Mark lee|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang