Kalau kata Shafa sih ya, kedua pegawai itu harus berterima kasih pada sosok Naarendra yang datang tepat sebelum tangan Shafa menyentuh rambut-rambut gadis di hadapannya. Ya, mau gimana lagi. Shafa udah kepalang kesel sama omongan cabe rawit duo curut yang dari tadi udah nangis-nangis minta maaf.
"Enggak Na. Lebaran masih lama, nggak ada maaf-maafan. Sekarang juga lu berdua cabut, deh. Eneg gue liatnya," seru Shafa menggebu-gebu sambil menunjuk-nunjuk kedua gadis yang hanya mampu menunduk setelah sesi keciduk.
"Iya. Pasti Nana kasih hukuman, kok, buk. Tapi jangan sampe dipecat, buk. Kasihan mereka, cari kerja itu susah," jelas Narendra dengan tuturnya yang lembut. Kedua gadis itu mengangguk menimpali perkataan Nana.
"Udah tau, cari kerja susah, kok, banyak tingkahnya."
"Maafin kita buk," ujar Icha.
Shafa menggeleng pasti lalu berkata pada Narendra, "Jangan lupa kasih pesangon ya Na. Saya mau pergi dulu." Narendra menghela nafas berat lalu menyusul Shafa keluar dari toko.
Narendra sudah tidak berani jika Shafa sudah mengatakan tidak. Mau tidak mau, suka tidak suka ia tetap harus melaksanakan perintah dari bosnya. Sebuah mobil berhenti di depan toko, tetapi yang membuat Nana bingung mobil itu bukan milik Prima.
"Sini neng geulis!" pekik seseorang berjaket denim yang baru saja keluar dari mobilnya. Shafa tersenyum simpul saat lelaki itu melangkah mendekat.
"Ih, samaan lagi kita. Pake jaket denim." Shafa melirik ke arah tubuhnya dan benar saja jaket denim milik Nana masih menjadi kain yang menghangatkan tubuhnya. Shafa cepat-cepat menanggalkan kain itu dan memberikannya pada Nana sambil mengucapkan, "Makasih ya Na."
Narendra tersenyum singkat lalu kembali menatap garang pada lelaki asing yang asik senyam senyum nggak jelas. Nana menarik lengan bosnya dengan pelan dan membisikkan sesuatu ditelinga wanita itu, "Cowok mana lagi nih buk?"
Shafa memukul lengan Narendra keras hingga lelaki itu melangkah mundur. "Ngomong lo kayak gue ganti cowok terus!" Narendra meringikih mundur dan menjauh dari Shafa sambil menatap tajam ke arah Hasbi.
Ya, lelaki itu adalah Hasbi. Pagi tadi setelah mendapati karyawannya yang kalau kata Shafa 'bacot bener' ia menghubungi Hasbi untuk menjemputnya di kantor. Awalnya lelaki itu bertanya-tanya mengapa Shafa jadi teleportasi ke kantor, padahal tadi malam Hasbi jelas-jelas mengantarnya hingga depan rumah Prima.
Bukannya apa-apa, Hasbi, kan, jadi merinding sendiri membayangkan yang ia antar malam itu bukanlah Shafa melainkan makhluk yang tidak ingin Hasbi sebutkan mereknya.
"Nyabu dulu?" tanya Hasbi pada Shafa yang sedang mengatur posisi duduknya. Saat ini Shafa setuju sama steatmen yang mengatakan, sebagus apapun tempatmu tidur, kasur dirumah tetap juaranya. Eh, tapi Shafa udah nggak sudi nyebut rumah itu rumah. Kesimpulannya badan Shafa sakit semua.
"Gak dulu," jawab Shafa setelah tubuhnya terbaring nyaman.
"Ngapa?"
"Enek gua liat bubur gara-gara dua curut itu." Hasbi yang tidak mengerti duduk perkaranya hanya mengangguk kaku lalu menghidupkan mesin mobilnya menuju sebuah tempat yang Hasbi yakin tidak akan di tolak oleh Shafa. "Nasi uduk Bi Ani, gas nggak?"
"Gas!" pekik Shafa dengan mata tertutup.
<<<<<<>>>>>>>>
Shafa tidak tahu mengapa Hasbi bisa kepikiran mengajak ia makan nasi uduk Bi Ani yang sangat Shafa rindukan. Ia jadi ingat bagaimana riwehnya Shafa dan Jihan saat masuk kelas pagi. Maka berterima kasihlah pada Bi Ani yang punya kekuatan membungkus nasi uduk dalam 3 detik.
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONAT |Mark lee|
RomanceAwalnya Shafa cuma iseng nulis nama Prima, dosen muda di fakultasnya yang terkenal killer, di sebuah jurnal yang ia dapatkan sebagai hadiah dari pembelian donat seharaga 25k perbiji. Namun, Shafa harus cosplay jadi abang-abang yang habis minum miras...