Shafa menggulir layar ponselnya lagi. Hari sudah pukul sepuluh tetapi Shafa masih setia dengan kasur dan selimutnya. Wajahnya masih tak karuan, rambutnya apalagi. Menjadi dewasa menciptakan ideologi baru bagi Shafa, salah satunya adalah angka lima stand for langsung tipes.
Jika dikehidupan perkuliahannya semester lima menjadi hal yang paling horor, kini umur dua puluh lima tak kalah teror.
Bun, waktu berjalan seperti bajingan.
Rasanya baru kemarin Shafa hahahihi bareng Jihan sambil nyari kerjaan. Sekarang hiksrot-hiksrot mikirin kerjaan kapan selesai.
Setelah menghela napas panjang akhirnya Shafa menegakkan tubuh remaja jomponya. Eh, memangnya Shafa masih bisa disebut remaja, ya? Whatever, deh. Gadis dua puluh lima tahun itu pergi ke kamar mandi dengan setengah hati lalu kembali ke kasur dengan keadaan yang lebih manusiawi.
Jarinya bergerak lincah untuk mendial sebuah nomor dengan emotikon menggelikan di belakangnya. Kemudian, kala dering mulai terdengar Shafa mengapit ponselnya dengan bahu dan kepala. Semabari menunggu panggilan itu diterima Shafa mulai membongkar lemarinya.
Jatah liburan Shafa tinggal dua hari lagi. Hari Senin akan mulai menyapa Shafa dengan setumpuk pekerjaan. Atas latar belakang itulah akhirnya Prima menjanjikan kencan satu harian untuk Shafa yang pengen tapi mageran.
"Hallo, Yang." Begitu suara Prima terdengar Shafa langsung melemparkan dress selutut yang sudah ia pilih ke arah kasur. Lalu dengan senyum paling bahagia gadis itu bersandar di pintu lemari.
"Hari ini pakai baju warna apa?" tanya Shafa.
"Hah? Aku lagi pake kemeja warna hijau yang kamu beli kemarin."
"Hijau army?" Shafa kembali membuka lemarinya, tangannya dengan cekatan mendorong beberapa potong baju yang digantung sewarna.
"Pokoknya yang itu, deh. Kamu mau ngapain, sih?"
"Lagi milih baju biar nanti kalau kita mau foto cantik hasilnya," jawab Shafa.
Shafa tak langsung mendapatkan jawaban. Dari sambungan telepon itu samar-samar Shafa dapat mendengar percakapan beberapa orang. Dahinya mengernyit heran. Ini masih pukul sepuluh pagi, dimana pacarnya itu berada?
"Iya, kuesionernya tinggal dua lagi, Pak. Hari ini selesai, Pak. Saya tinggal ambil data dan analisis. Sebelum mahasiswa baru orientasi penelitian kita clear."
"Hallo, Yang? Buat apa tadi?" Prima kembali mengulang pertanyaannya. Tampaknya lelaki itu tengah sibuk.
Shafa menghela napas malas. Seperti pesimis yang datang mengelabui, Shafa bak sudah mengerti apa yang akan terjadi selanjutnya. Kata maaf. Shafa yakin sekali akan mendengar kata itu lagi hari ini dari mulut Prima. "Hari ini jadi jalan 'kan?"
"Jalan ke ma--. EH! YANG MAAFIN AKU."
Shafa menarik ponselnya menjauh dari telinga saat pekikan Prima terdengar. Susah payah ia menelan ucapannya sendiri agar tidak meledak saat ini. Di sebrang sana Prima masih terus menyuarakan permintaan maafnya.
"Hari ini aku harus ngambil data penelitian. Tinggal dua kuesioner lagi, kok. Besok aku ke rumah, ya," bujuk Prima.
"Bukannya kamu ada seminar sampe jam tiga?" tanya Shafa dengan nada datar. Entahlah, Shafa hanya terlalu lelah untuk menanggapi permintaan maaf dengan alasan yang sama berulang kali.
"Iya juga. Aduh gimana, ya, yang. Kalau aku pergi hari ini kasihan dosen baru yang ikut penelitian sama aku."
"Yaudah. Aku mau keluar dulu beli kopi," kata Shafa.
"Yang, pagi-pagi, kok, minum kopi. Yang lain ajalah. Aku pesenin pake driver online, ya?"
Tawaran terakhir Prima itu tak Shafa jawab. Bibirnya kelu. Memangnya lelaki itu masih perduli, ya? Shafa hanya punya lima hari untuk liburan, tapi Prima bahkan tak bisa menyisihkan satu hari saja untuknya. Prima sibuk bukan main, tanpa tahu rasa rindu Shafa untuk menghibur diri dengan bermain.
Tanpa sadar pipi Shafa basah. Ia lelah, penat dan penuh. Dunia kantor dan kesibukan Prima yang tak kenal waktu buat hati Shafa bak ditekan dari berbagai arah. Ia lelah. Tubuh dan fisiknya mulai lelah menghadapi kehidupan usia dua puluh lima tahun yang banyak menuntut.
"Bentar, Pa!" Shafa mengusap air matanya cepat saat suara Papa terdengar dari bali pintu kamarnya yang terkunci rapat. Setelah mastikan bahwa wajahnya baik-baik saja, Shafa mengulas senyum dan membuka pintu kamarnya.
"Papa boleh masuk?" tanya laki-laki yang terduduk di kursi roda itu.
"Boleh dong!" Shafa mengambil alih dua potong roti lapis yang ada di pangkuan sang Papa. Lalu dengan tangannya yang bebas, Shafa membantu Papa mendorong kursinya masuk.
Kemudian keduanya saling memandang satu sama lain. Takut tangis sebelumnya akan terungkap Shafa jadi orang pertama yang mengalihkan pandangannya dari sang Papa. Gadis itu mengambil sepotong roti lalu melahapnya dengan cepat.
"Capek, ya? Maafin Papa, ya." Rambut Shafa dihadiahi usapan lembut dari tangan keriput Papa. Senyum Shafa tiba-tiba berkedut. Tangis yang sempat ia sembunyikan mendesak keluar kembali.
"Bukan salah, Papa. Aku aja yang nggak bisa apa-apa. Semua yang aku kerjain pasti ada revisinya. Seberantakan itu ya, Pa?" Air matanya tumpah ruah. Tangisnya memekik saat kecupan berkali-kali hadir di puncak kepalanya. "Aku capek."
"Istirahat sayangnya Papa. Rumah yang berantakan memang perlu waktu untuk merapikannya. Tapi rumah yang rapi akan jadi tempat ternyaman untuk pulang 'kan? Duduk dan minum kopi itu perlu agar aroma rumahmu nggak cuma bau keringat. Istirahat yang banyak lalu kerjakan dengan layak."
Holaa! Chabysunflow di sini. Terima kasih kepada teman-teman yang masih memberikan dukungan buat Prima dan Shafa. Oh iyaa, ini cuma what if, yaa. What if ini akan aku bagi menjadi tiga chapter. InsyaAllah bakal kelar sebelum libur lebaran selesai, kok.
Ah, iyaaa. Selamat hari raya idul fitri buat teman-teman yang merayakan. Minal 'Aidin Walfaizin, mohon maaf lahir dan batin. Selamat hari kemenangan semuanyaa! <3
Medan, 01052022
KAMU SEDANG MEMBACA
PRIMADONAT |Mark lee|
RomanceAwalnya Shafa cuma iseng nulis nama Prima, dosen muda di fakultasnya yang terkenal killer, di sebuah jurnal yang ia dapatkan sebagai hadiah dari pembelian donat seharaga 25k perbiji. Namun, Shafa harus cosplay jadi abang-abang yang habis minum miras...