5. Alergi

4.5K 422 117
                                        


Shafa pernah baca qoutes di salah satu blogspot waktu dia lagi menjelajahi dunia perjurnalan. Katanya, waktu akan bergerak sesukanya hingga kita tak sadar sebenarnya banyak hal yang sudah terjadi pada kehidupan. Jangan tanya siapa yang memposting kata-kata itu karena sejujurnya Shafa sendiri lupa.

Sudah hampir satu bulan ia hidup dimasa depannya, entah itu sementara atau permanen Shafa tidak perduli. Padahal kalau diingat-ingat, Prima pernah menjadi alasanya berdoa untuk tidak bangun di tiap malam Selasa.

"Ganti baju sana, yang." Shafa yang sedang menulusuri aplikasi belanja online itu membalikkan badannya. Jarum jam masih menunjukkan angka sepuluh karena itulah Shafa enggan bangkit dari kasurnya yang makin empuk makin siang.

"Mager, ah. Aku dikamar aja," jawab Shafa. Wanita itu menatap suaminya yang tengah memilah kaos di lemarinya. Lihat 'kan? Shafa sudah terbiasa. Bukti seperti saat ini, Shafa tidak akan malu-malu kucing atau salting gak jelas ketika seorang Primaraka dengan terang-terangan menunjukkan lekuk tubuhnya yang terpahat indah.

Prima menyemprotkan parfum di kaosnya lalu tersenyum bangga di depan cermin. Sabtu pagi kali ini Prima mengalah pada para mahasiswanya. Setikar tujuh mahasiswa dan mahasiswinya akan berkunjung. "Yang ...." Prima melemparkan badannya ke samping Shafa yang kembali menggulir layar ponselnya.

Prima merapatkan dirinya, menyelipkan tangan kanannya dibawah tubuh ramping Shafa yang masih terbungkus selimut. Ah, jika sudah begini Prima rasanya ingin mematikan ponselnya, menutup seluruh tirai yang ada dan cuddle seharian.

"Asem banget." Shafa menekan perut Prima dengan sikunya. Tindakan itu membuat Prima yang sedang asik diceruk leher Shafa terkekeh pelan dan semakin mengeratkan pelukannya setelahnya.

"Yang datang mahasiswi, ya?" tanya Shafa.

"Hm?"

"Cuma bimbingan di rumah, kok, pakai parfum?" tanya Shafa lagi.

Prima kembali terkekeh lalu berkata, "Kata siapa aku pake parfum buat bimbingan?" Shafa menyerit heran lalu wanita itu mendorong dada Prima menjauh. Shafa meletakkan ponselnya lalu berbalik untuk menatap Prima dengan lebih jelas.

"Aku mah pake parfum biar kamu betah cuddle," lanjut Prima.

<<<<<<<>>>>>>>>

"Kamu itu sudah jadi mahasiswa tapi tanda bacanya masih berantakan. Huruf kapitalnya juga gimana. Kamu dulu waktu pelajaran Bahasa Indonesia bolos ya?" Mahasiswi berjilbab itu menunduk ketakutan, menggigit bibir bawahny agar tidak ada isakan yang lolos dari bibir tipis itu.

Belum lima menit setelah Prima menggencarkan rencana cuddle-nya, dua buah sepeda motor telah terpakir rapi di depan pagar rumahnya. Empat orang wanita muda sudah mangkir disana. "Nih, kamu revisi lagi."

Prima melepas kacamatanya sejenak, menyeruput secangkir teh yang baru saja disajikan oleh Shafa. Senyum tipisnya kembali terukir kala mengingat kembali wajah marah Shafa setelah mengetahui bahwa Ranti, si ayam kampoes, juga datang ke kediaman mereka.

"Bapak biasanya sarapan pakai apa pak?" tanya Ranti. Prima mengacuhkan pertanyaan gadis itu dan kembali fokus pada lembar-lembar skripsi yang ada di tangannya.

"Dibimbingan selanjutnya, saya bawain sarapan, ya, pak?"

"Pak Prima, mah, sarapannya beda," sanggah Shafa yang kembali dari kamar mandi. Keempat mahasiswi itu menatapnya sambil bertanya-tanya. Tak hanya para wanita, Prima sendiri diam-diam melirik kearah Shafa yang sudah berpakaian lebih rapi. "Pak Prima sarapannya saya," bisik Shafa sambil tersenyum bangga.

PRIMADONAT |Mark lee|Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang