Awalnya Shafa cuma iseng nulis nama Prima, dosen muda di fakultasnya yang terkenal killer, di sebuah jurnal yang ia dapatkan sebagai hadiah dari pembelian donat seharaga 25k perbiji. Namun, Shafa harus cosplay jadi abang-abang yang habis minum miras...
Prima tidak tahu mengapa Shafa mengatakan hal itu padanya sebelum pergi dengan lelaki lain. Yang pasti Prima yakin betul, wanitanya tidak akan melakukan hal yang membuatnya kecewa. Prima telah menyerahkan seulurh hidupnya pada salah satu mahasiswinya yang paling berisik. Seorang gadis cantik dengan suara melengking yang asik nangkring di kedai Bi Ani. Saat semester 3 Prima baru tahu nama gadis itu. Shafa Yuandari.
Sejak pertemuannya satu semester dengan Shafa, Prima selalu mencari-cari kelas mana yang diambil oleh Shafa selanjutnya. Beruntung lelaki itu merupakan bagian dari staff administrasi, jadi ia dapat mengetahui rencana studi gadisnya itu dan menyamakan dengan miliknya.
"Anjir dapet bapak lo lagi Ji!" Prima dengan wajah datarnya menyerahkan Krs yang baru saja dicetak pada Jihan dan Shafa. Dlam hati Prima tersenyum lebar melihat wajah masam gadisnya. Shafa mengusak-usak rambutnya hingga berantakan lalu bertanya, "Kok bapak masuk lagi?"
Prima menelan ludahnya, menetralkan senyum dalam hatinya sejenak lalu menjawab dengan congkak, "Lah, mana saya tau. Yang buat jadwal kan pusat informasi."
Maka setelah menjawab pertanyaan itu dengan angkuh Prima berbalik ke dalam ruangannya. Ia tinggalkan perempuan yang saat itu duduk bersama sahabatnya sambil memukul-mukul kertas berisi perjalanan studinya.
Prima tidak pernah lupa seberdebar apa dia saat Shafa menjawab pertanyaan yang ia ajukan di kelas. Prima juga tidak mungkin melupakan bekas liur yang ia dapati setelah membangunkan mahasiswinya yang ketiduran itu karena sejujurnya semua hal yang menyangkut Shafa adalah kesempurnaan bagi Prima.
Pecel lele dan cah kangkung, nutrisari jeruk nipis, atau sekedar bengbeng max yang selalu Shafa beli jika tidak punya uang. Sesederhana itu Prima mencintai seorang Shafa.
Prima bukan seorang lelaki yang tidak pernah jatuh cinta. Lelaki dengan wajah sepertinya mana mungkin tidak memiliki seorang pacar. Jika boelh dikata, Prima itu termasuk si pemain ulung. Namun, ia tidak tahu mengapa kali ini jatuhnya semakin dalam semakin hari.
Ya, Prima jatuh pada Shafa setiap hari.
<<<<<<<>>>>>>>
"Bukan kamu 'kan?"
Prima menatap langsung ke manik yang penuh sorot kesedihan itu. Ia tidak tahu dimana letak kesalahan yang ia buat hingga harus merasakan siksaan. Pagi itu air mata Shafa meluruh dengan bebas di pipi gembulnya sambil terus menekankan bahwa Prima bukan orangnya.
"Yang ...." Prima dengan sigap meraih tubuh Shafa yang meluruh ke lantai. Wanita itu terisak dan tetap mengulang kalimat yang sama.
"Shafa, kamu kenapa?" Prima menangkup wajah wanitanya membawa wanita itu untuk ikut menatapnya.
"Kamu nggak pernah neror orang dari email 'kan?" tanya Shafa.
"Enggak lah! Emang aku segabut apa?" Prima menggeleng pasti lalu mengangkat tubuh Shafa untuk duduk di pinggir kasur.
Prima meninggalkan Shafa sendirian di sana untuk mengambil segelas air putih di dapur. Saat di dapur pun bunda terlihat curi-curi pandang ke arah kamarnya. Mungkin wanita paru baya itu mendengar suara tangis mantunya.
"Kalian berantem?" tanya Bunda.
Prima hanya menggeleng, meraih gelas yang sudah penuh dengan air purih lalu segera masuk kedalam kamarnya kembali. Shafa tampak kacau dengan kemejanya maka Prima menarik selimut mereka untuk menutupi kekacauan itu.
Shafa menegak habis air yang dibawakan Prima dengan pandangan menuju lantai. Prima juga ikut tidak bereaksi apa-apa. "Kalau bukan kamu ...." Prima menoleh kembali pada wanita yang masih mengamati putihnya lantai kamar.
"Ayah. Berarti ayah pembunuhnya."
Prima berani bersumpah bahwa ia mencintai Shafa dengan sangat. Namun, perkataan yang baru saja dilontarkan istrinya itu membuat Prima ikut terbakar emosi. Lelaki itu tidak terima hingga membentak Shafa tanpa sengaja. "Shafa!"
"Itu udah keterlaluan. Jangan bawa-bawa ayah!" ujar Prima meperingati.
"Jadi siapa? Hanya ada dua Aksero. Jadi kalau bukan kamu, pasti ayah pembunuhnya." Prima mencengkram kuat pundak Shafa menatap wanita itu dengan tajam sambil mengeratkan giginya menahan amarah.
"Maksud kamu itu apa sih?" tanyanya geram.
Shafa mendorong tangan Prima dari pundaknya lalu berkata, "Kalian itu pembunuh! Kata-kata sampah kalian yang buat Papaku memutuskan untuk bunuh diri! Aku benci sama kalian!"
"Kamu punya bukti apa?"
Prima menarik tangan Shafa hingga tubuh Shafa ikut bergeser menghadapnya. "Punya bukti apa kamu nuduh ayah sama aku?" Shafa menunduk dan kembali menangis.
"Cukup dengar aku. Keluarga kamu," bisik Prima sambil menarik wanita itu berbagi kehangatan dalam sebuah pelukan erat yang bercampur isak.
<<<<<<<<<>>>>>>>>>
Satu harian Shafa tidak keluar dari kamarnya, gadis itu bolos kerja dan kini malah asik dengan ponselnya. Prima juga ikut bolos kerja, lelaki itu sudah pasrah jika harus menghadap dekan setelah sekian banyak bolos kerja yang ia perbuat. Siang itu Prima hanya menemani Shafa yang menggulir layar ponselnya.
Sebuah pesan dari Bang Juan membuat Shafa menegakkan badannya. Wanita itu membulat lalu dengan sigap ia matikan ponselnya. Prima yang tidur di sampingnya sambil membaca buku keheranan saat Shafa malah mengelanyut manja di lengannya.
"Apa?" tanya Prima.
Shafa tersenyum lebar layaknya anak kecil lalu berkata, "Laper." Prima tidak dapat menahan senyumnya yang ikut timbul akibat wajah anak kecil istrinya itu. Prima mengusap puncak kepala Shafa pelan.
"Keluar sana, bunda udah masak."
"Nggak mau," tolak Shafa.
"Kenapa nggak mau?" tanya Prima lagi.
"Malu sama bunda." Dan kali itu Prima tidak dapat menahan tawanya. Lelaki itu tertawa lebar saat Shafa menyembunyikan wajahnya di dada bidang milik Prima.
Shafa membenamkan wajahnya di dada Prima cukup lama hingga lelaki itu menarik pundaknya menjauh. Lelaki itu tersenyum manis lalu berkata, "Terus mau beli apa? Biar aku beliin."
Sesuai dengan pesanan istrinya Prima segera bersiap-siap untuk menuju warung bakmi yang disebutkan Shafa. Pria itu keluar dengan kaos hitam dan celana pendek.
Setelah dipastikan Prima sudah pergi Shafa langsung menelpon Bang Juan dan berhasil terhubung dalam waktu singkat.
"Dek, Are you okay?" tanya Bang Juan pertama kali.
"Apa abang tau soal email-email yang diterima papa?" Bukannya menjawab, Shafa malah balik bertanya pada lelaki yang lebih tua enam tahun darinya.
"Ya. Tapi email terakhir yang jadi alasan Papa bunuh diri cuma Shafa yang tau," sesalnya.
Shafa menghela nafas frustasi, sayup-sayup Shafa dapat mendengar suara mobil Ayah yang memenuhi halaman. Wanita itu kembali tersentak dan mengajukan pertanyaan kembali pada lelaki di sebrang sana.
"Masalah proyek jembatan. Apa Ayah merupakan salah satu saingan Papa?"
Juan diam sebentar laki-laki itu menggumam tak jelas lalu setelah sebuah helaan nafas panjang Juan menjawab, "Iya."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.